Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
TEAM HOYT : KASIH BAPA
Bagi seorang anak yang broken home seperti saya, figur seorang bapa yang baik itu tidak pernah tercetus dalam pikiran saya. Anak-anak harus memilih ikut salah satu. dari kedua orangtuanya, ikut papa atau ikut mama. Sebagian besar tentunya memilih ikut ibu mereka, demikian juga pilihan saya. Sementara kakak laki-laki saya memilih tinggal bersama papa dan istri barunya. Kejadian ini saya alami waktu kelas 6 SD.
Memang papa masih membiayai sekolah kami berdua, tapi tidak tinggal serumah dengan saya dan mama saya. Tinggal bersama mama yang beralih profesi dari seorang ibu rumah tangga menjadi wanita karier lumayan berat. Dia harus bekerja untuk memberi saya makan dan membayar keperluan rumah tangga. Bayar listrik, air, memasak, dan bayar telepon. Saya tidak terlalu ingat kesengsaraan mama saya. Yang saya tau dia pernah berjualan roti, jadi supir antar jemput, dan segalanya yang bisa menghasilkan uang. Untungnya saudara mama ikut membantu sehingga kehidupan saya tidak terlalu sengsara. Pokok'e bisa makan 3 kali sehari.
Yang hilang dalam masa kecil saya adalah figur seorang ayah. Bagaimana cara mencari uang, menafkai keluarga, mendidik seorang anak laki-laki untuk berpikir sebagai seorang pengusaha, dan keberanian untuk mengambil resiko. Pendeknya, saya tidak mengenal bapak saya dan hal ini benar-benar menjadi black hole dalam kehidupan saya. Jika dirohani-rohanikan, saya tidak pernah merasakan Kasih Bapa !
Untungnya, karena internet, saya menemukan kisah nyata yang benar-benar menggambarkan Kasih Bapa. Mereka adalah Dick dan Rick Hoyt yang dikenal sebagai Team Hoyt. Tim bapak dan anak yang cacat sejak lahir (cerebral palsy; kerusakan otak).
Waktu mengetik kisah mereka, air mata saya mengalir terus menerus..... he....he....he.... Mungkin karena dalam hati kecil saya benar-benar merindukan Kasih Bapa ini. Harapan saya, semoga anda yang kehilangan figur seorang ayah yang baik bisa memperoleh pemulihan melalui kisah hidup Team Hoyt ini.
KISAH HIDUP DICK DAN RICK HOYT : KASIH BAPA
Ketika Rick Hoyt dilahirkan pada tahun 1962, orangtuanya memiliki harapan yang biasanya dimiliki oleh orang tua yang baru pertama kali memperoleh anak. Namun kemudian mereka menyadari bahwa menjelang kelahirannya, tali pusarnya melilit leher Rick sehingga mengurangi pasokan oksigen ke otaknya. Rick didiagnosis menderita kelumpuhan otak. “Ketika ia berusia delapan bulan,” Kenang ayahnya Dick, “para dokter menyarankan agar kami membiarkannya meninggal saja – karena hidup anak itu tidak akan berguna.” Namun orang tua Rick tidak mau melakukan itu. Mereka bertekad membesarkan anak itu seperti anak-anak lainnya.
Kadang kala itu sulit. Tangan dan kaki Rick lumpuh. Ia pun tidak bisa berbicara karena kemampuannya untuk mengendalikan lidah terbatas. Namun orang tua Rick berusaha mengajarinya sebisa mungkin dan melibatkannya dalam kegiatan keluarga. Ketika Rick berusia sepuluh tahun, kehidupannya berubah. Para insinyur dari Tufts University menciptakan sebuah alat yang membuatnya bisa berkomunikasi dengan komputer. Kata pertama yang ia ketik dengan susah payah adalah “Go Bruins”. Saat itulah keluarganya, yang sudah mengikuti permainan tim Boston Bruins NHL, menyadari bahwa Rick adalah seorang penggemar olahraga.
Pada tahun 1975, setelah perjuangan yang panjang, keluarganya akhirnya mampu menyekolahkan Rick di sekolah umum, di mana ia berhasil sekalipun kemampuan fisiknya terbatas. Dunia Rick pun berubah. Bahkan dua tahun kemudian, ketika Rick mendengar bahwa akan diadakan pertandingan lari sejauh lima kilometer untuk mengumpulkan dana demi membantu seorang atlet muda yang lumpuh karena kecelakaan, ia memberitahu ayahnya bahwa ia ingin ikut.
Dick, seorang pensiunan Letnan Kolonel dalam Air National Guard berada di akhir usia tiga puluhan dan kebugarannya payah. Namun ia setuju untuk berlali sambil mendorong putranya dengan kursi roda. Ketika mereka melewati garis finish (posisi kedua dari terakhir), Dick ingat bahwa Rick menunjukkan “senyuman terlebar yang pernah anda lihat seumur hidup anda”. Setelah perlombaan itu, Rick menulis pesan sederhana ini, “Ayah saya merasa saya bukan anak cacat.” Semenjak hari itu, kehidupan mereka tidak pernah sama lagi.
Apakah yang dilakukan seorang ayah ketika putranya, yang tidak pernah lepas dari kursi roda, mengatakan bahwa ia ingin mengikuti perlombaan? Ia menjadi tangan dan kaki bagi putranya. Hari itulah “Tim ayah dan Anak Hoyt” lahir. Dick membelikan kursi roda balat yang lebih canggih untuk Rick. Lalu remaja lumpuh dan ayah yang tidak begitu bugar ini pun mulai lari bersama–sama, tidak asal-asalan. Tidak lama kemudian, mereka berlatih dengan serius dan pada tahun 1981, mereka berlari bersama di Maraton Boston untuk pertama kalinya. Semenjak hari itu, mereka selalu mengikuti Maraton Boston selama 20 tahun.
Selama empat tahun mengikuti maraton, keduanya memutuskan bahwa mereka siap menghadapi tantangan lainnya : trialon, yang menggabungkan renang, bersepeda, dan lari. Itu bukanlah sebuah tantang kecil, khususnya karena Dick harus belajar berenang! Namun ia melakukannya juga. Dick menjelaskan, “Dialah yang memotivasi saya karana jika bukan karena dia, saya tidak akan mengikuti perlombaan. Saya hanya meminjamkan tangan dan kaki saya pada Rick agar ia bisa ikut berlomba seperti anak-anak lain.”
Dari semua pertandingan yang ada di dunia, yang paling dianggap berat adalah Triatlon Ironman di Hawaii. Lombanya terdiri dari tiga babak: renang sejauh 3,8 Km, Balap sepeda sejauh 180 Km, dan lari maraton sejauh 42,1 Km. Itu adalah ujian stamina yang benar – benar berat. Pada tahun 1989, Dick dan Rick mengikuti lomba ini bersama – sama. Untuk bagian renang, Dick menarik sebuah perahu kecil yang dinaiki Rick. Lalu ia bersepeda sejauh 180 Km sementara Rick duduk di stang kemudinya.
Ketika tiba saatnya untuk berlari, Dick kelelahan.
Namun dalam situasi – situasi seperti itulah Hukum rasa percaya diri dan antusiasme yang tinggi berlaku. Dick terus mengingat kata-kata putranya,
“Ketika sedang berlari, sepertinya cacat saya hilang. Inilah satu-satunya tempat di mana saya merasa sama dengan orang lain. Dengan segala umpan balik positif yang saya terima, saya sama sekali tidak merasa cacat. Malah saya merasa sebagai orang cerdas tanpa keterbatasan apa pun.”
Ketika anda menang, sakitnya tidak terasa. Dengan terus berlari, Dick meraih kemenangan demi putranya dan itulah yang menjadikan semua latihan serta rasa sakitnya layak dilalui.
Dick mendudukkan Rick di atas kursi rodanya dan mereka pun berangkat untuk menyelesaikan lomba Ironman itu. Keduanya menyelesaikan lomba dalam 13 jam 43 menit – catatan waktu yang sangat baik.
Semenjak itu, Rick telah meraih gelar universitasnya dan bekerja di Boston University, membantu merancang sistem komputer bagi orang – orang cacat. Tentu saja ia tetap berlomba bersama ayahnya, yang saat buku ini ditulis sudah berusia lebih dari 60 tahun. Sejak Maret 2001, Tim ayah dan anak Hoyt telah mengikuti 731 perlombaan. Mereka mengikuti 53 maraton dan 135 triatlon, termasuk 4 perlombaan dengan jarak Ironman. Mereka akan terus berlari. “Tidak ada hal di dunia ini yang tidak bisa kami lakukan bersama,” kata Dick. Memang sudah sepantasnya Dick menyadarinya.
Klik di sini untuk melihat Video Team Hoyt di Youtube.
- Wapannuri's blog
- Login to post comments
- 6642 reads