Submitted by Risdo M S on

Katanya (dan memang benar katanya) menyindir itu bagian dari budaya Jawa. Bentuk dari ketidakenakan untuk berkata terlalu frontal. Sekaligus bentuk menghargai manusia sebagai makhluk yang bisa berpikir sendiri lantas bisa berubah dengan kesadaran sendiri. Itu menurut orang yang memaknai sindiran secara positif.


Ada lagi orang yang menilai sindiran itu sebagai bentuk sifat pengecut. Tidak berani terang-terangan menyatakan kesalahan. Orang yang suka menyindir menurut mereka adalah orang yang punya kebiasaan ngomong di belakang. Mereka mungkin melakukannya karena mereka juga terlibat dalam kesalahan yang disindir itu.
Dua pandangan tadi adalah dialektika dalam kebiasaan dan ajaran para pemimpin gereja/pelayanan Kriten Indonesia jika berbicara soal tegur-menegur. Ada yang bilang teguran seharusnya penuh kasih (dengan keragaman nilai timbang soal kasih). Ada juga yang bilang teguran harusnya tegas menyatakan kesalahan (juga dengan keragaman bentuk soal tegas yang dimaksud).


Serba salah memang, niat hati menegur penuh kasih dan penuh kelembutan, eh… yang ditegur tidak kunjung sadar. Giliran tegas malah disalah arti sebagai kekejaman dan penghinaan. Itu kalau kita yang menegur. Di sisi lain saat kita berharap diingatkan, orang malah segan dan sungkan, sampai akhirnya banyak kesalahan yang tidak perlu terjadi. Tahu-tahu tatkala kita sudah merasa cukup bisa, ada saja orang rewel dengan teuran-teguran klisenya yang terkadang kelewatan. Urusannya akan semakin runyam jika ini berkaitan dengan pemimpin pelayanan. Nah, disitulah sindiran bisa memainkan tempat tersendiri yang terkadang, atau bahkan keseringan, memang sangat asyik.


Sindiran itu sendiri bisa beragam bentuknya. Ada yang diucapkan langsung di depan orangnya, ada yang dijadikan idiom bawah tanah dalam komunitas itu, ada pula yang disebar di luar komunitas. Ada yang menyudutkan obyek sindiran, ada pula yang membuat penyindirnya sebagai bagian dari sindirian itu. Yang menyindir juga beragam. Mula dari yang sekedar iseng sampai yang sakit hati. Ada yang justru sudah berkali-kali menegur namun tak digubris, ada pula yang memang tidak berani (entah karena kurang rohani, kurang ilmu atau kurang uang), terutama jika menyangkut pimpinan pelayanan yang dibawahnya kita mengabdi. Lewat sindiran, si penggubah sindir bisa menyalurkan uneg-unegnya tanpa terlalu berisiko bahkan dengan harapan orang yang tersindir bisa berubah.


Tapi bukan pemimpin pelayanan Kristen namanya kalau semua sependapat soal sindiran. Sekedar contoh, baru-baru ini di jaringan pengicau Twitter (“pengicau” ini artinya dekat dengan “pengigau” atau malah “pengacau”) ada akun gokil bertajuk @Gereja_Palsu. Isi kicauannya, sudah sama kita tahu, banyak menyindir praktik-praktik dalam gereja-gereja besar, khususnya gereja besar bercorak kharismatik. Dengan santainya si pemilik akun ini menyebut dirinya sebagai gereja palsu lalu mengidentikkan praktik-praktik gerejanya yang terkadang mirip dengan praktik gereja yang disindir. Lantas ia menambahi dengan motivasi yang menurutnya sungguh mendasari praktik tersebut.


Hasilnya tentu saja banyak yang merespon. Ada yang bersimpati serta menyatakan itu adalah otokritik yang baik dan kreatif, ada pula yang mencak-mencak bilang bahwa pemilik akun adalah penyesat dan punya kepahitan dengan gereja yang disindir. Ah, memang akan selalu begitu…


Sebagai orang yang cukup lama bersentuhan dengan gereja-gereja bercorak kharismatik, saya sebenarnya salut dan ngakak atas kedalaman pemilik akun @Gereja_Palsu menukil pemikiran dan kritiknya. Satu contoh yang paling kocak adalah saat dia bilang : “Puji Tuhan persiapan buat Ibadah besok sudah beres| Pulang lihat tukang becak… skeremanaremana *doa tumpang tangan sambil lewat*” Saya tertawa, sebab saya sendiri juga pernah melakukan hal yang sama, dengan kepolosan yang juga sama. Namun tentu banyak yang tersinggung, entah itu soal ejekan bahwa mereka cuma bisa doa tanpa karya, entah soal sindiran bahwa ritus keagamaan telah mencabut orang dari kepeduliannya akan sekitar atau bahkan sekedar ejekan karena berdoa dengan berbahasa roh.


Nah, selaku orang yang rindu Tuhan memulihkan umat-Nya, tentu banyak yang tergerak untuk menegur ketimpangan dalam gereja dan lembaga pelayanan. Sindiran mungkin jadi senjata ampuh, apalagi jika ketimpangan-ketimpangan yang ingin ditegur masih sangat nisbi nilai timpangnya. Ada yang begitu menolak ada pula yang sangat gigih mempertahankan. Untuk kasus seperti ini, khotbah dan pendalaman Kitab Suci terbaik, yang mencoba meneggali secara seimbang, tidak akan lebih didengar ketimbang sindiran yang mengena. Tapi sindiran juga sering menjadi pupuk penyubur untuk begitu banyak cap dan kebencian yang sering membutakan orang untuk memahami yang lain. Tinggal pilih saja, keduanya menawarkan tingkat keasyikan yang sama. Yang satu untuk hiburan, sedang yang terakhir untuk saluran emosional. Kombinasi keduanya mungkin lebih asyik.


Pertumbuhan kekristenan  juga tak lepas dari sindiran. Kata “kristen” sendiri awalnya sebuah sindiran. Sama seperti “protestan” untuk kaum Reformis, atau  frasa “Londo Wurung Jawa Nanggung” untuk umat Kristus di Jawa, atau “Angka Sisean Si Bontar Mata” untuk pengikut Nomensen. Reaksi sejarah atas hal itu mencuatkan bermacam pemecahan. Pengikut Al-Masih di Antiokhia menerima kata “kristen” dengan bangga, sebab mereka memang mengamini bahwa mereka memang “budak Kristus”. Sebaliknya pengikut Luther di Eropa malah mengartikan “protestan” sebagai “pro-testament (pendukung Kitab Suci)” dan bukannya “tukang protes” seperti maksud sindiran. Kyai Sadrach ingin membuang sindiran “Londo Ireng” atau “Londo Wurng Jawa Nanggung” dengan memperkenalkan kepercayaan Al-Masih yang khas Jawa, bukan Belanda.


Berkaca dari hal tersebut kita bisa memecah kebuntuan. Bahwa reaksi atas sindiran tidak melulu harus mendiamkan atau balik menyerang. Kita bisa saja tidak berubah dan membenarkan sindiran, kita bisa mengartikan sindiran dengan makna baru, atau kita bisa merubah diri hingga tidak disindir seperti itu lagi.
Kita bisa tetap ngotot pada suatu keyakinan bahkan mengamini sindirian yang disematkan pada kita. Misalnya saja orang biasa ibadah gede-gede bilang : “Iya, memang kami Gereja Besar Indonesia, terus mau apa? Toh Tuhan berkenan.” Atau gereja yang keseringan memunculkan pendeta penyangkal doktrin soteriologi bilang: “Iya memang kami Gereja Kurang Iman, toh semua orang percaya juga masih perlu menambahkan iman.” Atau yang suka ribut bilang: “Memang kami ini Himpunan Keributan Besar Protestan, sebab bukan Protestan namanya kalau tidak suka ribut”. Ups…


Pemaknaan lain atas sindiran juga bisa dilakukan. Misalnya saja orang yang sering disindir ‘tidak reform’ boleh membela diri dengan berkata: “Memang benar kami bukan reform, sebab kalau ‘re-form’ melulu kapan ada bentuknya?” Atau kaum yang dibilang kuno bisa bilang :”Katolik itu kan artinya satu sekaligus universal. Lah kalau di luar katolik artinya di luar yang satu itu, donk.” Kaum yang dituduh pewaris doktrin Belanda bisa saja berdalih dengan bilang: “Kami memang Gereja Penjual Inventaris Belanda, sebab kami menjual karena kami mencintai Indonesia.”
Cara Kyai Sadrakh, dengan mengubah diri sehingga tidak lagi disindir sedemikian, mungkin adalah solusi yang kita kira paling waras atas sindiran yang benar. Tapi toh dalam praktik memang kebanyakan orang kristen di Indonesia tidak selalu waras. Nah, saya sudah mulai ketularan asyiknya menyindir… Ups…

Submitted by joli on Sun, 2011-03-13 20:56
Permalink

halo ito, apa kabar? kemana aja si garing? ha..ha..ha..“Puji Tuhan persiapan buat Ibadah besok sudah beres| Pulang lihat tukang becak… skeremanaremana *doa tumpang tangan sambil lewat*”emang ada apa dg tkang becak kok di abrakadabra??itukah bahasa roh? artinya apa?

Submitted by Risdo M S on Sun, 2011-03-13 21:02

In reply to by joli

Permalink

Masih idup deh yg penting Ito (ah berasa gak pantes manggil Angelina Jolie dengan sebutan, Iot, hehe)Wah karunia penafsiran bhsa rohnya kurang nih... perlu di kasih urapan dulu, hehehe

Submitted by manguns on Mon, 2011-03-14 00:49
Permalink

Berkaca dari hal tersebut kita bisa memecah kebuntuan. Bahwa reaksi atas sindiran tidak melulu harus mendiamkan atau balik menyerang. Kita bisa saja tidak berubah dan membenarkan sindiran, kita bisa mengartikan sindiran dengan makna baru, atau kita bisa merubah diri hingga tidak disindir seperti itu lagi.

Awalnya saya juga mengira bangsa Indonesia dan khususnya kristen banyak yang tidak waras:

Tapi toh dalam praktik memang kebanyakan orang kristen di Indonesia tidak selalu waras.

Dekade berikutnya, sejalan dengan pengalaman, simpulan itu berubah menjadi hypocrite.Pemahaman dekade berikutnya, dua tahun belakangan ini, terpaksa saya merubah simpulan itu, bahwa sesungguhnya,..sama sekali bukan hypocrite .... tetapi split personality disorder.  

Submitted by manguns on Tue, 2011-03-15 02:01

In reply to by Risdo M S

Permalink

Menyindir tentunya bermaksud mengingatkan secara tidak langsung (halus), agar berubah kembali ke arah yang diinginkan. Tentu saja efektif bila yg disindir punya kesamaan nilai kebaikan atau kehendak Tuhan.Tapi pada kepribadian ganda, percuma disindir, karena yang bersangkutan memegang beberapa nilai yang saling kontradiktif.Mis: Mengantungi persembahan sekaligus berkeyakinan itu berkat Tuhan. Korupsi dikantor dan memaki orang lain yang korupsi. Kita ini satu tubuh tapi tidak saling peduli.So... biarkan saja generasi ini berlalu, nggak usah dipikirin.

Submitted by jee eiych on Tue, 2011-03-15 12:43
Permalink

Hi Risdo, Di Alkitab tertulis: "(Kol 3:16)  Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu."Menurut kamu bagaimana? Apakah menyindir sejalan dengan "menegur"?Salam kenalJee   

Submitted by Rusdy on Tue, 2011-03-15 14:41
Permalink

Saya malah belum ketemu contoh Yesus menyindir dengan 'halus' (mana sih si Samuel Franklyn, the walking Bible Concordance?). Adanya nyindir dengan 'kasar' (sarkastik?), maksud saya, yang tersindir jelas dan dibikin nggak enak. Salah satu contoh di Lukas 11:46.Jadi, mulai hari ini, kita semua harus sindir2an dengan keras, jangan tanggung2. Kalo mao, langsung tonjok, jangan tampar, gitu kali yah? :P 

Submitted by jee eiych on Tue, 2011-03-15 16:37

In reply to by Rusdy

Permalink

Sindir 'Halus', Sindir 'Kasar', tonjok, tampar. Jadi pointnya apa?@Rusdy: Contoh lukas itu apa masih bisa dibilang sindiran? Kan itu jawaban langsung ke mukanya Farisi.Emg ada contohnya Tuhan Yesus nyindir?

Submitted by HASLAN on Tue, 2011-03-15 14:56
Permalink

 ASIK GAK ASIK..!!!                                                             (Ngacir)     ......                                                             !!!!!!!!                                                             ???? 

Submitted by tonoutomo on Tue, 2011-03-15 21:18
Permalink

kata siapa Yesus tidakpernah menyindir. hidup dan karya Yesus penuh sindiran dan ironi. ia melakukan itu untuk adanya pertobatan dan pembaruan. lain soal dengan Yesus, kita menyindir untuk kepuasan diri sendiri. Dan terhadap orang yang demikian Yesus juga pernah berkata: bila ditampar pipi kananmu berikan pipi kananmu. ARTINYA buat yang menyindir tidak mampu lagi menyindir. bukan membiarkan kita disindir terus menerus.

Submitted by jee eiych on Wed, 2011-03-16 15:02

In reply to by tonoutomo

Permalink

tonoutomo:"... hidup dan karya Yesus penuh sindiran dan ironi. ia melakukan itu untuk adanya pertobatan dan pembaruan." -- hidup dan karya Yesus yang berupa sindiran dan ironi yang bagian mana ya? Sorry bro, ngk ngerti aku. "... kita menyindir untuk kepuasan diri sendiri" -- ini kan generalisasi ke semua orang, jadi sindir-menyindir itu salah?Tuhan Yesus pernah menyindir siapa? 

Submitted by Miyabi on Wed, 2011-03-23 11:17

In reply to by tonoutomo

Permalink

Saat dunia perkomikan Indonesia terkena demam superhero, lahirlah karakter-karakter komik Indonesia yang ganteng dan berbadan tegap dan kekar a'la superhero Amerika, antara lain Godam, Gundala, dan Si Buta dari Goa Hantu.Untunglah kemudian hadir antidot (penawar racun) terhadap demam ini. Orang pun tersenyum simpul, sadar kalo jagoan Nusantara itu bertubuh liat kayak pesilat, dan bukan berotot berbonggol-bonggol kayak binaragawan. Antidot ini bernama Panji Tengkorak. Tidak kekar dan tidak ganteng. Badannya biasa dan malahan mukanya jelek dan ditutupi tengkorak.Begitu pula, Yesus tidak datang dalam gemerlap yg diharap-harapkan oleh banyak orang pada masa itu (dan masa sekarang?).

Submitted by tonoutomo on Thu, 2011-03-17 21:44
Permalink

kalau bicara khatam atau belum aku sendiri malu karea aku juga belum khatam. wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkkwkwk

Submitted by KEN on Fri, 2011-03-18 19:21
Permalink

Bla bla bla bla... Bla bla bla bla... Bla bla bla bla... Coba baca kalimat saya di atas. Siapakah yang saya sindir?Ada seorang blogger (mungkin ada beberapa, hanya saja, satu orang ini sudah kebelet) yang sudah pernah mengatakan (menyindir) terang2an bahwa ia sebal (muak) terhadap saya. Sebaliknya, sebelum ia mengatakan hal itu saya sudah muak terhadapnya terlebih dahulu.Jadi, siapakah yang paling benar muaknya di antara kami berdua?Mengapa hal itu bisa terjadi dalam dirinya? Jawabannya hanya satu, dengki!

Submitted by KEN on Sat, 2011-03-19 00:33
Permalink

Ini bukan masalah sabar atau tidak. Tapi masalah "pedang" yang tak akan pernah usai sampai kapanpun di dalam kekristenan.Hanya satu pertanyaan buat anda:"Kenapa 'mereka' boleh, saya tidak boleh?"

Submitted by teograce on Tue, 2011-03-22 07:58
Permalink

salah satu budaya yang populer di kampung ss adalah ketika ada blog tentang x, lalu datang si a nimbrung, lalu ada si b, ada si c ikut komen, dst, entah kenapa, dari pembicaraan tentang x tadi, tau-tau jadi ngomongin diri sendiri ato  pribadi laen yang "dikeselin"..wah gila.. nanti g ikut ah budaya ini.. kalo ga, ntar dicap ga gaul..wakakakakkaa..

Submitted by KEN on Tue, 2011-03-22 18:56
Permalink

Hahahaha... ingatkah dengan apa yang dikatakan PlainB tentang smile dan teograce? Hahahaha... "Masih labil..." Hahahaha...Jadi, bagi yang merasa masih labil dan kekanak-kanakan, pelajarilah kata-kata itu dengan baik (sombong mode on) hahahaha...

Submitted by lapan on Wed, 2011-03-23 08:39

In reply to by KEN

Permalink

Tau donk gw kan fans PB. masa iya gw gak tau dia ngomong apa aja.Waakakakkaka kalo uda salah tuh sadar diri, jangan malah maki-maki.malu-maluin eui.wkwkwkkw ada juga elu yang buktiin PB pernah ngomong teograce labil. Kan elu yang bikin statement begitu. Ini yang namanya pembuktian terbalik bukan ya? wkwkwk

Submitted by teograce on Wed, 2011-03-23 08:49
Permalink

mana buktinya pb bilang g labil? kalo ngomong doank ga pake bukti, anak tk juga bisa.. kalo mo fitnah, fitnah sekalian, jangan nanggung, ngomong sedikit ga pake bukti sama ngomong banyak ga pake bukti dosanya sama gedenya kq.. rugi kalo nanggung.. :pg ga inget pb pena bilang gitu.. gini-gini g ngefans ma pb.. :p jadi g sedikit banyak inget dia ngomong apa..kalopun pb bilang g labil, gpp, g terima, daripada bebal.. labil masih bisa brubah.. karena g mau berubah.. daripada bebal.. beh kek ngomong ma tembok (read:k*n).. wkakakakakaka...g kaga nantangin brantem kq diusik2.. gelo emang..yang waras ngalah ah.. :p