Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Natal Sejati Adalah Ketika Kita Mau Berdamai dan Mengampuni

iraika's picture

 

Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah,

yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan.

Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah

hendaknya dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.

Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain,

penuh kasih mesra dan saling mengampuni,

sebagaimana Allah di dalam Kristus

telah mengampuni kamu.

Ef 4:30-32

 

Memasuki Bulan Desember spirit Natal mulai terasa. Saya sering terbawa pada kenangan Natal masa kecil dulu ketika saya dan adik saya tidak sabar menunggu hadiah Natal dari Sinterklas. Kami sibuk menyiapkan rumput kuda dan yang ditaruh di dalam sepatu bekas, juga air di dalam wadah kecil. Konon, pada malam hari, saat kami semua lelap tidur, Sinterklas akan datang dan jika ada rumput dan air untuk kudanya, maka kami akan dianggap sebagai anak yang baik dan akan mendapatkan hadiah. Tentu saja hadiah itu dari Bapak dan Mama. Dulu setiap menjelang Natal, Bapak dan Mama sibuk mempersiapkan rumah untuk menyambut keluarga, teman-teman yang datang bertamu. Saya paling senang ketika pohon Natal mulai dipasang untuk menghiasi rumah. Mama mempunyai koleksi hiasan berupa rusa-rusa kutub dengan sinterklas, Malaikat berbaju putih yang selalu berada di puncak pohon Natal, bola-bola cantik berwarna warni, dan tentunya tak ketingglan hiasan lampu Natal. Yah, entah kenapa pada saat Natal suasana terasa lebih bahagia, apakah karena momen perayaannya? Apakah kebahagiaan itu karena spirit sukacita dan damai Natal benar-benar kami rasakan? Ataukah hanya ritual Natal dari tahun ke tahun?

Spirit Natal pertama 2000 tahun yang lalu, ketika bayi Yesus lahir di kandang yang hina, dalam suasana malam yang senyap dan situasi yang begitu sederhana. Dia, Allah, Raja di atas segala raja, memilih dilahir dari keluarga tukang kayu yang miskin. Tidak ada gegap gempita kemeriahan kembang api atau hadiah-hadiah. Berita Natal pertama justru dikabarkan oleh Malaikat kepada orang-orang sangat sederhana dan terpinggirkan, yaitu para gembala. Tetapi merekalah yang dipenuhi sukacita besar ketika mereka mencari dan menemukan Bayi Kudus itu yang terbungkus kain lampin, dan dibaringkan di dalam palungan. Bala tentara sorga mengumandangkan berita kesukaan itu: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi, di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14).

Spirit Natal seharusnya selalu membawa sukacita dan damai sejahtera bagi setiap kita yang menyambutnya. Tetapi jika kita mau jujur dengan diri kita, apakah spirit itu masih ada dan terasa menggebu-gebu di hati kita saat ini? Ataukah Natal hanya sebatas kesibukkan menjelang libur, ketika kita padat dengan rencana-rencana, atau sibuk mempersiapkan perayaan Natal di gereja, ketika kita mengejar deadline laporan pekerjaan, deadline paper dan ujian-ujian bagi yang sedang studi, mungkin kita tanpa sadar sedang merasa kesepian dan kelelahan di tengah-tengah hiruk pikuknya kesibukkan Natal? Kita hanya berpikir tentang diri kita sendiri dan lupa dengan kehadiran orang-orang terkasih yang ada di dekat kita. Bagaimana relasi kita selama ini dengan mereka?

Sukacita dan damai sejahtera apa yang sesungguhnya kita rayakan saat Natal? Natal adalah bukti kasih Allah yang begitu besar kepada manusia dan dunia yang berdosa (Yoh 3:16). Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia dan semua ciptaan menanti-nantikan kapan datangnya Penyelamat yang dijanjikan Allah (Kej 3:15), yang akan membebaskan kita dari hukuman dosa, yaitu maut. Nubuat-nubuat tentang kedatangan Sang Mesias telah menjadi suatu misteri penantian sejak jaman purbakala (mis: Kej 12:1-3; Gal 3:16; Luk 1:67-75; Yes 7:14).  

Sehingga peristiwa Natal yang pertama adalah penggenapan dari janji Allah akan datangnya Sang Mesias, Penebus dan Juruselamat dunia. Ia adalah Allah yang maha tinggi dan mulia, tetapi karena kasih-Nya, rela mengosongkan diri-Nya, berinkarnasi menjadi manusia Kristus. Kedatangannya bukan dalam kemegahan, tetapi dalam kemiskinan, Ia, Allah yang menjadi sama dengan manusia (Fil 2:5-8). Sehingga Natal adalah sukacita karena datangnya penggenapan atas penantian kedatangan Sang Mesias. Sukacita yang diekpresikan oleh Simeon dan Hana ketika melihat Anak itu di Bait Allah. Mereka memuji-muji Allah oleh karena mereka telah melihat keselamatan yang datang dari Allah (Luk 2:21-40). Ia adalah Terang yang datang ke dalam dunia yang gelap (Yoh 1:9). Kedatangan Sang Mesias adalah membawa pesan perdamaian dari Allah kepada manusia berdosa. Hakekat manusia berdosa adalah seteru Allah (Rm 5: 10-11). Kedatangan Sang Mesias, yaitu Kristus, adalah untuk melepaskan belenggu-belenggu dosa yang mengikat manusia.

Belenggu-belenggu dosa yang membuat kita tidak sukacita dan damai sejahtera menjalani kehidupan ini. Belenggu-belenggu yang mengikat kita menjadi budak dosa untuk memuaskan nafsu dosa, membuat kita saling menyakiti, dan rentan untuk disakiti. Kita mudah kecewa, merasa diri tidak berdaya dan berharga, atau bersikap egois dan hanya mementingkan diri sendiri, kita bahkan tidak mampu untuk berdamai dengan diri kita dan dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang yang terdekat dengan kita.

Sehingga sebagai orang yang sudah ditebus oleh Kristus, kita sebagai orang Kristen harus memaknai hidup yang baru di dalam Kristus. Hidup kita terus dimaknai dengan adanya perubahan yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam seluruh aspek kehidupan kita. Proses sanctification, yaitu pengudusan kita adalah untuk membentuk kita sehingga hidup kita mencerminkan Kristus, hidup yang semakin menyerupai Kristus.

            Roh kudus bekerja dalam hati kita, untuk menghasilkan buah-buah Roh yang akan nyata dalam perbuatan-perbuatan kita sehari-hari. Perbuatan-perbuatan baik ini merupakan buah-buah dari hati kita yang mengalami proses permurnian dari Roh Kudus. Sehingga kita dimampukan untuk mengasihi Allah dan mentaati-Nya. Panggilan kita adalah untuk menjadi serupa dengan Kristus dalam segala hal (Rm 8:29-30). Sehingga di dalam hati yang terus menerus mengalami proses pengudusan, kita mampu untuk membuang segala kejahatan, kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah.

            Merenungkan hal ini, jika kita meresapi bahwa Natal adalah perayaan akan pesan perdamaian Allah dengan manusia, maka kita yang sudah diperdamaikan dengan Allah di dalam Kristus, kita juga terpanggil untuk hidup berdamai dengan orang lain. Berdamai berarti kita mampu untuk mengampuni satu dengan yang lain. Sukacita dan damai Natal akan benar-benar dapat hadir dalam hidup kita ketika kita mampu untuk berdamai dan mengampuni. Karena kita pun telah didamaikan dan mengalami pengampunan dari Allah.

Tetapi dalam realita kehidupan, berdamai dan mengampuni bukanlah hal yang mudah untuk kita lakukan. C.S Lewis berbicara tentang pengampunan seperti ini, “Everyone says forgiveness is a lovely idea, until they have something to forgive,…”.[1] Seolah-olah hal ini ingin berkata kepada kita, yah benar bahwa saya sudah menerima perdamaian dengan Allah melalui Kristus, itu sungguh indah dan saya sangat bersyukur, akan tetapi itu tidak membuat saya untuk dapat dengan begitu saja bisa berdamai dan mengampuni orang lain yang sudah sangat melukai hati saya, merugikan hidup saya, mengkhianati kepercayaan saya, dll. Kita lupa bahwa pengampunan merupakan tema utama dari iman Kristen.

Kebencian, amarah, pertikaian, dendam begitu mudah menguasai hidup kita sehingga kita tanpa sadar sedang menolak hadirnya “Terang” Allah di dalam hidup kita. Kita tidak memberikan ruang kepada Roh Kudus untuk memulihkan hidup kita. Hati kita menjadi keras karena kita tetap menyimpan luka-luka kekecewaan, kemarahan, kesedihan, dan lain sebagainya. Sehingga pertanyaan yang harus berani kita jawab adalah apakah benar kita adalah orang yang sudah menerima pengampunan Allah dalam hidup kita?

Firman Tuhan dalam Mat 18:21-35 adalah ajaran Tuhan Yesus mengenai pengampunan. Tuhan Yesus dengan jelas mengatakan bahwa dosa kita yang diampuni dan dtebus oleh-Nya itu sangat besar, kita tidak mampu melepaskan diri kita dari ikatan belenggu dosa. Hanya oleh kasih Allah yang melampaui segala akal kita, Ia telah memberikan diri-Nya untuk menanggung segala dosa kita, sehingga kita yang tadinya hamba dosa, setelah ditebus oleh-Nya kita kemudian disebut anak-anak Allah. Sehingga kita pun dituntut untuk mampu memberikan pengampunan dengan segenap hati.

Apa yang seharusnya kita sadari sehingga kita dapat belajar untuk memberikan pengampunan kepada orang lain? Pertama, ketika kita mengampuni maka kita sudah meneladani Allah yang di dalam Kristus telah mengampuni kita. Tuhan Yesus bahkan mengajarkan hal pengampunan itu ketika Ia mengajarkan Doa Bapa Kami kepada murid-murid-Nya, “…dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;…” (Mat 6:12); kedua, ketika kita mengampuni kita telah melakukan hal yang menyenangkan hati Allah, bukti ketaatan dan kasih kita, sebagai respon akan kasih Allah yang sudah kita terima. Dan juga kita mengasihi sesama kita seperti yang Allah kehendaki; ketiga, ketika kita mengampuni sesungguhnya kita sudah mengasihi diri kita karena mau melepaskan beban berat yang kita pendam atau kita pikul selama ini, sehingga kita bisa melangkah maju; keempat, dengan mengampuni berarti kita mengakui bahwa Allah yang berotoritas untuk mengadili dan menghukum manusia (Rm 12:18-19); kelima, dengan mengampuni kita akan bisa hidup lebih sehat dan bahagia. Kita melepaskan rasa stress, deperesi, kepahitan yang selama ini membuat tubuh dan jiwa kita lemah; keenam, dengan mengampuni orang lain, maka kita sedang memuliakan nama Kristus. Dengan mengampuni kita sedang menyaksikan kasih Kristus kepada orang lain. Pengampunan yang kita berikan dapat menjadi jalan kita memperkenalkan Kristus kepada orang lain.

Dengan demikian kita seharusnya menyadari betapa pentingnya sebagai orang Kristen hidup kita adalah hidup yang mampu untuk berdamai dan mengampuni orang lain. Hati yang mengampuni adalah hati yang mau mempersilahkan Roh Kudus untuk menerangi dan memulihkan hidup kita. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang ajaib dan memuliakan Bapa-mu yang di sorga” (Mat 5:16).

Dengan demikian dalam menyambut Natal ini, kita kembali mengingat bahwa Natal adalah pesan perdamaian dari Allah kepada kita. Dan Allah juga agar kita hidup berdamai dan mengampuni orang lain. Sebelum kita terlalu sibuk dengan semua kegiatan-kegiatan perayaan Natal, atau sibuk dengan merencanakan liburan Natal. Sebelum semuanya itu, mari kita melihat ke dalam hati kita masing-masing, apakah di dalam sana kita menemukan ruang-ruang yang gelap di mana kita menyimpan kemarahan, kebencian, dendam, kekecewaan, iri hari, luka-luka batin yang membuat kita tidak dapat merasakan sukacita dan damai sejahtera Natal yang sejati, seperti yang dirasakan oleh para gembala di Natal pertama.

Jangan kita tenggelam dengan kesibukkan dan melewatkan berkat Natal yang selalu dilimpahkan Kristus bagi kita semua. Sukacita dan damai sejahtera yang sejati tidak hanya untuk kita rasakan pada momen perayaan Natal saja, melainkan berkat Natal itu akan terus memenuhi hidup kita dalam setiap jalan kehidupan yang kita tempuh, dalam setiap tantangan kehidupan yang harus kita lalui.

Merayakan Natal dengan hati yang sudah diperdamaikan dengan Allah dan dengan sesama adalah hadiah berkat Natal terindah yang dapat kita terima dan rasakan. Sehingga sukacita dan damai sejahtera yang kita rasakan, baik kita merayakannya bersama keluarga, bersama saudara seiman di gereja, atau bersama sahabat dan teman-teman, atau bahkan mungkin kita berada di antara orang-orang yang tidak kita kenal sekalipun, namun  keberadaan diri kita di tengah-tengah mereka itu seperti lilin yang sinarnya menerangi sekitarnya.

Perayaan Natal bukan hanya sekedar perayaan ritual tahunan saja. Ketika semua kemeriahan perayaan Natal itu berakhir, dan libur Natal pun usai. Ketika kita kembali kepada rutinitas hidup kita sehari-hari. Kita akan merasakan ada perubahan dalam diri kita, ada hati yang semakin dimampukan untuk mengasihi Allah dan juga mengasihi orang lain, khususnya orang-orang terkasih yang ada dalam kehidupan kita. Kita merasakan bahwa bahwa hidup ini menjadi lebih berarti karena kasih Kristus selalu hadir dalam kehidupan kita.



[1] C.S Lewis, Mere Christianity: Broadcast Talks (Canada: Zamizdat, 2014), 64.