Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Melongok Exposigns 2009

Indonesia-saram's picture

Pada tanggal 25-30 November lalu, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengadakan pameran seni bertajuk Exposigns. Diadakan di Jogja Expo Center, pameran ini sekaligus sebagai peringatan 25 tahun ISI Yogya. Mungkin karena itu pulalah pameran ini diembel-embeli pameran besar dalam promosinya.

Kehadiran saya ke pameran tersebut sudah tentu bukan sebagai seorang kurator. Tidak ada pendidikan seni yang mumpuni yang membuat saya berada dalam kapasitas tersebut. Saya juga tidak hadir karena embel-embel besar tadi. Malah saya mungkin tidak akan ada di sana jika seorang teman tidak mengajak saya.

Tiket Exposigns 2009
 
Belakangan, saya baru tahu bahwa pameran ini pantas dijuluki pameran besar.  Sejumlah 551 seniman berbagian dalam gelaran ini, plus 600 karya seni. Jumlah demikian sangat cukup untuk didaftarkan ke Museum Rekor-Dunia Indonesia. Namun, ketua panitia pameran tersebut, Indro Kimpiling Suseno, tidak berminat mendaftarkannya. Alasannya, karya-karya yang ditampilkan tidak sebanding dengan rekor apa pun (Kompas, 28 November 2009).

Melampaui Seni Rupa
Dulu, saya memahami seni rupa sebagai seni yang mengayomi tiga seni lainnya, yaitu seni lukis, seni pahat, dan seni patung. Keliru memang karena yang benar adalah seni lukis, seni patung, dan kriya. Akan tetapi, para pengunjung Exposigns tidak hanya menemukan tiga jenis seni tersebut, tetapi beragam seni lainnya.

Selain ketiga seni tadi, Exposigns juga memamerkan seni grafis, seni fotografi, desain komunikasi visual, desain interior, dan seni media rekam (perhatikan lembaran tiket di atas). Tidak mengherankan memang, mengingat yang berkembang tidak semata urusan teknologi informasi. Dunia seni juga berkembang sangat pesat. Itulah sebabnya panitia mengusung tema visual. Mikke Susanto, seorang kurator, menyebut seni visual merupakan seni tontonan yang sulit dibatasi, jadi sesuatu yang jelas jauh lebih luas daripada seni rupa.

Kreativitas sebagai Bukti Eksistensi: Abstrak atau Konkret?
Pameran seni seperti ini memang menjadi ajang eksistensi para seniman. Maka dalam mewujudnyatakan eksistensi tersebut, mereka memeras kreativitas, menuangkan ide dalam berbagai bentuk. Goresan kuas, pahatan, polesan, bentukan, berbagai teknik disajikan. Sejumlah media diramu sedemikian rupa. Ada yang memakai bahan polyester, kanvas, perunggu, baja tahan karat (stainless steel), dan sebagainya.

Yang lebih seru lagi, karya-karya itu beragam dalam hal komunikasi yang diungkapkan. Ada yang terkesan abstrak (setidaknya bagi saya yang terlalu mudah untuk tidak terlalu paham), ada juga yang terasa konkret, pesan yang disampaikan jelas. Yang abstrak membuat pikiran melanglang liar. Yang konkret membuat otak menafsirkan bentuk komunikasi yang diwujudnyatakan sang seniman.

Salah satu karya yang menarik dan membuat saya bertanya-tanya ialah seni instalasi ruang berikut ini. Delapan kursi kecil disusun agak berantakan, dengan fokus berupa televisi yang hanya menampilkan segaris ”gambar”. Sementara itu, di setiap kursi dan televisi, tumbuh jamur. Sayangnya, saya lupa mendokumentasikan judul karya, media yang digunakan, dan seniman yang menghasilkan karya ini.

Berikut ini merupakan salah satu favorit saya dalam pameran tersebut. Karya berjudul Amongrogo yang dibentuk oleh Noor Ibrahim ini merupakan salah satu yang menggunakan perunggu. Perunggu apa yang dimaksudkan? Perhatikan foto di sebelahnya.

AmongrogoAmongrogo dari dekat

Mengingat saya penggemar seni lukis, kesempatan berkunjung sehari sebelum penutupan Exposigns ini benar-benar memanjakan mata. Di dekat pintu masuk, saya dibuat kagum oleh detail kayu-kayu pohon yang dilukis dengan sangat teliti (dan tentu saja dengan telaten) oleh Nisan Kristyanto, senimannya. Lukisan berikut ini berjudul Nyanyian Air Mata. Pada sebelah kanan (kiri lukisan), terdapat kutipan lagu ”Padamu Negeri”.

Nyanyian Air Mata
Nyanyian Air Mata

Lukisan tersebut merupakan salah satu yang relatif mudah dipahami. Nisan Kristyanto tampaknya ingin menggambarkan ironi negeri ini. Ketika para pendahulu negeri ini bertekad memberikan jiwa raganya bagi bangsa, para penerus negeri ini malah menjadikan negeri ini sebagai ladang eksploitasi besar-besaran. Tidak ada kepedulian terhadap generasi berikutnya. Inilah salah satu ironi terbesar yang terjadi di negeri kita.

Karya yang lain seolah menyentil pandangan banyak orang perihal batasan kecantikan. Lukisan oleh Nana Tedja di bawah ini terkesan agak mengerikan, begitu setidaknya pendapat seorang teman. Dengan judul Cantik adalah Kurus, karya ini memang terkesan menakutkan. Seolah ditujukan kepada mereka yang menganggap kelangsingan menjadi salah satu kriteria cantik. Maka saya teringat akan salah seorang dari The Carpenters yang konon meninggal karena diet berlebih. Mengutip celetuk seorang teman lainnya, ”Cakepan gemuk lagi!”

Cantik adalah Kurus

Percikan Religiositas
Sejumlah lukisan memilih tema religius. Sejumlah seniman memperlihatkan kebolehannya menciptakan karya kaligrafi yang indah. Sementara seniman lain mewujudkan religiositasnya dengan menggambarkan sosok-sosok religius. Salah satu contohnya dihasilkan oleh Titoes Libert lewat Sang Penebus.

Sang Penebus

Karya Indria Maharsih berikut ini pun bolehlah kita anggap mencerminkan religiositas, meskipun bagi saya terkesan sulit menafsirkan maknanya.

Fenomena Spiritual "Pergulatan Abadi"

Mayoritas karya dihasilkan pada tahun 2009. Tidak mengherankan apabila beberapa seniman memberi penghormatan kepada Sang Raja Pop, Michael Jackson. Salah satunya hadir dalam lukisan berikut ini.

 King of Pop


Karya-karya Lain

Kita benar-benar bisa menikmati kreativitas para seniman ISI dalam Exposigns ini. Sebut saja karya berikut ini. Menurut Anda, dengan bahan apa sang seniman menghadirkannya bagi kita?
 
 IllusionIllusionIllusion

Karya berjudul Illusion ini ternyata berbahan dasar kawat kasa, peniti, tutup botol, kelereng, dan mote. Tidak benar-benar jelas kecuali kita melihat dari dekat. Nah, ada yang berminat untuk mengenakannya pada hari pemberkatan nikahnya?

Sementara itu, I Wayan Gawiartha menggunakan karung goni dan resin untuk karyanya. Kaki kiri berikut ini diberi judul Tetap Melangkah. Pemilihan tersebut terkesan menunjukkan adanya semacam dobrakan terhadap tradisi yang selama ini mengedepankan melangkah dengan kaki kanan terlebih dahulu. Apakah ia hendak mendukung seruan kondektur Metro Mini yang selalu berujar, ”Kaki kiri, kaki kiri,” kepada setiap penumpang yang hendak turun? Entahlah.
Tetap Melangkah

Karya Tanpa Identitas
Memang ada begitu banyak karya seni dipamerkan. Sayangnya, beberapa karya malah tidak disertai dengan identitasnya. Tidak ada keterangan judul karya, nama seniman, dan teknik yang digunakan untuk mewujudkannya. Maka tidak heran apabila pengunjung benar-benar berpikir jauh lebih bebas untuk menikmati karya yang tanpa keterangan ini.

Sebutlah salah satunya lukisan berikut ini. Gaya lukisan ini terbilang populer di kalangan remaja. Karakter yang ngartun seperti ini cukup banyak kita jumpai.

Tidak ada informasi

Empat Kategori
Sebagaimana dikemukakan Kompas (28/11), pameran ini memiliki empat kategori. Pertama, mereka yang pernah eksis sebagai seniman pada masanya. Kedua, mereka yang termasuk alumnus berprestasi. Ketiga, mereka  yang memiliki konsep yang kuat. Dan terakhir, mereka yang aktif selama dua tahun berturut-turut.

Keunikan lain, pameran ini juga menyertakan karya para almarhum seniman. Ada 29 seniman yang sudah almarhum yang karyanya disertakan di sini. Sayangnya, saya lupa memfoto karya-karya mereka. Yang saya ingat, salah satunya membuat kartun dengan pensil.

 

Catatan akhir: sejumlah karya lainnya dapat dilihat di http://picasaweb.google.com/indonesiasaram/YOGYAKARTA#; semua karya diambil dengan menggunakan kamera ponsel Samsung SGH Z240.

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.