Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
MEI
Kecantikannya sama sekali tidak hilang, sebelas tahun tidak mampu memupuskannya. Tidak hanya sekedar cantik, ia tahu. Eksotis? Dulu teman-teman mereka berkata, Mei gadis eksotis. Belum terlalu ia pahami alasannya. Banyak yang mampu menilai seorang gadis berwajah manis, cantik atau menarik, tetapi jarang yang mampu mengungkapkan alasannya dengan kata-kata.
Sekarang ia harus mengakui, eksotis benar-benar kata yang tepat untuk menggambarkan wajah cantik itu. Apakah kecantikan unik ini yang membawa penderitaan setelah hari laknat itu? Ia tidak tahu.
Mei menyambut kaku tangannya; tidak ada pelukan hangat. Bisa ia maklumi, seperti ia memaklumi tatapan kecewa itu. Ia tahu mengapa Mei kecewa. Tidak sampai sebulan setelah hari laknat itu, ia berjanji menjauhi kehidupan Mei. Berjanji membantunya melupakan hari laknat itu dengan tidak menghubunginya lagi. Mei merasa, cara terbaik melupakan malapetaka itu adalah berpisah dengan orang yang menjadi bagian masa lalunya. Kecuali keluarga tentunya, orang-orang yang bernasib sama dengannya.
“Berlebihan,” mungkin orang berkata. Tetapi persahabatan memang unik, kadang orang harus melepaskannya hanya untuk menolong seorang sahabat.
Sengaja ia tidak mengabari kedatangan ini. Seandainyapun mau, tidak tahu caranya selain datang sendiri. Bahkan sebenarnya tidak yakin masih bisa menemukan Mei disini. Sebelas tahun lalu ia ikut mengantarkannya. Setelah itu tidak pernah mendapat kabar apa-apa lagi.
***
Waktu itu ia setuju meninggalkan Mei sendirian. Syaratnya, harus menuliskan apa yang dialaminya kepada semua orang. Mei sama sekali tidak mau.
“Orang tidak perlu mengenalmu. Kita bisa menggunakan internet untuk memberitahu semua orang tanpa harus membuka identitas kita,” katanya sambil duduk di samping ranjang Mei.
Lama tubuh pucat tak berdaya itu diam. Menatapnya sebentar, lalu kembali menatap langit-langit. Ada kilatan kemarahan di mata yang sudah kehabisan air mata itu. Lalu kepala berambut indah itu sedikit mengangguk.
Tidak pernah ia sangka, orang tidak mempercayai apa yang Mei tulis. Hanya karena ceritanya beredar tidak terlalu lama setelah hari laknat itu, mereka berkata, “Tidak mungkin orang yang mengalami kejadian se-tragis itu. Tidak mungkin orang bisa bercerita begitu detil hanya beberapa saat setelah mengalaminya. Seharusnya ia masih trauma.”
Mereka salah. Mei memang tidak sanggup menuliskannya apabila tidak ada yang memaksa. Ia yang membantunya menyiapkan semua ini. Ia memaksa Mei supaya semua orang tahu apa yang terjadi di bulan laknat itu.
"Cara melupakan apa yang kamu alami adalah menuliskannya. Ingat saat kamu putus dengan Eron? Ingat bagaimana rasanya setelah menulisnya ke diary? Aku tahu apa yang kamu rasakan saat itu tidak ada artinya dengan apa yang kamu rasakan sekarang. Tetapi tulislah, setelah itu sakitnya pasti sedikit berkurang," katanya karena Mei berhenti setelah beberapa kalimat.
“Hanya sedikit,” lanjutnya.
Mei tetap diam lalu kembali menangis sambil menelungkupkan wajah putihnya ke atas bantal. Baru besoknya ia berhasil membuat Mei menulis satu paragraf.
“Kalau tidak melepaskan apa yang kamu alami, seumur hidup kamu selalu berada dalam kenangan laknat itu,” katanya saat tubuh tak berdaya itu kembali berhenti setelah menulis satu halaman.
Tubuh tanpa semangat hidup kembali menelungkup. Menangis tanpa membasahi bantalnya.
Air mata Mei sudah habis.
Ia tidak merasakan apa yang Mei alami, tetapi pernah ia alami bagaimana rasanya ingin mati saja. Tugasnya menjaga jangan sampai Mei melakukan apa yang ada dalam pikirannya itu.
Mei tetap menangis, ia biarkan tangisan tanpa air mata itu. Besoknya baru menulis kembali. Ia paksa dengan berbisik di telinga Mei, “Memang sakit, tetapi kalau kamu mampu menuliskannya, kamu pasti bisa mengalahkan sakit itu.”
***
Sepuluh tahun lebih berlalu. Orang berkata apa yang Mei tulis hanya cerita bohong tanpa bukti. “Itu hanya cerita yang dilebih-lebihkan untuk memperkeruh suasana,” kata mereka.
Itulah sebabnya mengapa ia melanggar perjanjian itu. Dulu ia memaksa Mei menceritakan kejadian laknat itu supaya dunia tahu. Supaya orang yang bertanggung jawab itu tidak bisa melenggang seenaknya di atas panggung sandiwara. Ternyata banyak yang tidak percaya cerita yang tidak jelas penulisnya.
Hatinya sedikit tersayat melihat tatapan Mei. Bisa ia rasakan, di balik tatapan kecewa itu, ada tatapan seorang sahabat. Tetapi bisa ia lihat, sepuluh tahun belum cukup untuk menyembuhkan sebuah luka.
Kedatangannya pasti bukan hanya menguak kembali sebuah luka lama, tetapi menambah sebuah luka baru.
Ia harus tetap melakukannya.
***
Ia tidak mampu berbasa basi atau pura-pura menanyakan kabar Mei. Gadis ini pasti tidak berharap ia menanyakannya. Tidak perlu ia katakan Kabarku baik-baik saja. Tidak perlu ia tanyakan apakah Mei masih ingin melanjutkan kuliah sampai S-2; tidak perlu ia tanyakan apakah Mei sanggup mengurus transfer kuliah. Tidak perlu! Hari laknat itu telah merenggut mimpinya.
Ada saat basa-basi dan ada saat membuangnya jauh-jauh. Kalau mau pinjam kemeja, boleh basa-basi, tetapi kalau mau pinjam uang, to the point saja. Ia tahu aturan ini, sehingga tidak berbasa-basi di depan Mei.
"Maaf, aku telah melanggar janjiku sendiri," katanya memulai pembicaraan ini. Tentu saja setelah memastikan tidak ada yang mendengarnya.
"Aku harus melakukannya," lanjutnya setengah membela diri.
Mei hanya diam. Mata dan kepala oriental itu bergerak sedikit, memastikan tidak ada yang mendengar. Pasti pemilik wajah cantik ini sedang berusaha keras untuk tidak menoleh kebelakang. Senang melihat Mei masih mempercayainya. Mei pasti tahu sahabatnya tidak akan berbicara jika ada orang di belakang.
Ia bingung melanjutkannya. Minta ijin dulu? Ia tidak tahu. Lama mereka sama-sama diam, tetapi akhirnya kepala berambut indah itu mengangguk lemah. Membuatnya ingat, sama sekali tidak pernah Mei berbicara padanya setelah kejadian laknat itu. Kecuali saat Mei membuatnya berjanji membiarkannya mengasingkan diri. Selain itu, Mei hanya mengangguk atau menggelengkan kepalanya saja.
Lebih dari sepuluh tahun lewat, Mei tetap memilih mengangguk lemah untuk mengatakan "Ya". Ia sedikit bisa merasakan apa yang Mei rasakan. Tetapi kalau mengalaminya sendiri, tidak tahu apakah sanggup melewatinya.
"Kamu pernah ke internet lagi?" berharap pertanyaan ini tidak membangkitkan kenangan lama. Kalaupun ya, sudah kepalang basah. Sebuah pertanyaan bodoh, namun tidak ia temukan pertanyaan lain untuk memulai pembicaraan.
Ke internet dalam bahasa masa lalu mereka berarti pergi ke warnet.
Kepala itu menggeleng tegas. Marah? Ia tidak tahu.
Ia pasti membuka kembali luka itu. Ada pilihan lain? Tidak ada. Dulu ia yang memaksa Mei memakai internet untuk menceritakan apa yang dia alami. Ia menjanjikan luka Mei sembuh setelah itu.
Ia menjanjikan sebuah janji kosong.
"Orang tidak percaya apa yang kamu tulis. Kata mereka, cerita itu dibuat-dibuat dan sengaja dibesar-besarkan," katanya tanpa ampun.
Sengaja ia pancing emosi Mei dengan berita ini.
Darah naik ke wajah yang tadinya sedikit memucat. Wajah putih eksotis itu berubah warna.
Kesempatan ini ia gunakan dengan jahat.
"Mereka tidak percaya. Menurut mereka, tokoh Mei itu hanya fiktif."
Ingin ia tambahkan, mereka tidak percaya karena Mei malu atas apa yang menimpa dirinya dan keluarga. Apa yang ia alami adalah aib yang harus ditutupi. Sikap menutup diri yang menguntungkan banyak orang. Bahkan karena begitu tertutupnya, orang akhirnya berani menuduh mereka berbohong.
Sampai matipun, kalimat itu tidak akan ia ucapkan. Seandainya jadi Mei, ia tidak tahu apakah berani muncul dan menceritakan kepada semua orang tentang hari laknat itu.
Ia tempuh ribuan kilometer hanya dengan satu tujuan, membuat Mei muncul di depan umum. Tidak seorang pun masuk ruang pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di bulan laknat itu. Sepuluh tahun lebih berlalu tanpa saksi penting berani membuka mulut. Ada yang takut karena negeri ini tidak memberi jaminan perlindungan saksi seperti di Hollywood. Ada pula yang menutup mulut karena tidak siap menjadi selebritis; tidak semua orang suka kamera yang mengejar keluarganya; tidak semua ayah atau ibu mau masuk televisi karena penderitaan putrinya.
Ia ingin Mei membuat korban lain keluar dari persembunyiannya. Bercerita pada dunia tentang apa yang telah mereka alami. Ia tidak ingin orang melupakan bulan laknat itu; ia ingin orang kembali mengingatnya. Paling tidak, orang yang mendapat tuduhan bertanggung jawab atas kejadian itu mendapat kesempatan menyanggahnya secara terbuka. Ia merasa telinganya sakit setiap kali menghidupkan televisi. Apalagi ada yang berkata, "Jangan ungkit masa lalu! Mari kita melupakannya untuk mendapat masa depan yang lebih baik bagi negeri ini. Masa depan yang lebih baik bagi orang-orang kecil tertindas."
Mei harus muncul untuk mengatakan yang apa ia tulis bukan fiksi. Apa yang mereka alami di bulan laknat itu bukan gosip murahan. Mereka telah mengalaminya dan telah kehilangan semua mimpi indah. Orang yang memancing di air keruh belum mendapat kesempatan membela diri. Alasannya, kejadian laknat itu hanya isu tanpa bukti, apalagi korban. Bahkan ada yang berkata, “Sebuah kebohongan yang terus menerus diceritakan akan membuat masyarakat mempercayainya sebagai kebenarnya.”
Mei hanya perlu muncul sekali untuk berkata, "Akulah yang menulis semua itu. Aku dan keluargakulah yang mengalaminya."
Sayang ia tidak bisa menjanjikan apa-apa lagi pada Mei. Dulu ia berjanji semuanya baik-baik setelah menuliskannya. Ternyata hanya janji kosong. Sekarang ia tidak bisa menjanjikan ketenangan bila Mei muncul. Tidak bisa ia janjikan kehidupan tanpa pemburu gosip. Juga tidak bisa ia janjikan perlindungan saksi seperti di televisi.
Sama sekali tidak bisa ia janjikan apa-apa.
Hanya berharap, kemarahan itu mengalahkan rasa malu.
Waktunya makin mendesak. Bisa-bisa semuanya terlambat sehingga semua melupakan bulan laknat itu. Lalu orang-orang itu menjadi kuat sehingga tidak terkejar lagi.
Hanya Mei-lah harapannya.
Betapa ia mengerti, wartawan sudah mengejar dan berusaha mencari para korban. Tetapi semuanya lenyap tak terlacak karena mereka sengaja menutup diri. Ini bukan masalah perampokan atau pembunuhan, tetapi melibatkan harga diri. Ada yang telah mengambil sesuatu yang tidak bisa mereka dapatkan kembali. Kalau ini hanya penjarahan atau pembakaran, hanya butuh beberapa tahun untuk mendapatkannya kembali. Tidak ada cara untuk mendapatkan kembali apa yang telah mereka jarah dari Mei.
Namun banyak yang mengejek penderitaan orang-orang seperti Mei dengan menyebutnya pembohong, pembual dan penghasut. Mereka bahkan mengejek angka korban yang jumlahnya berubah-ubah dan tidak konsisten.
“Mana sisanya?” tanya mereka, karena dari dua ratusan angka korban, hanya empat yang ada klarifikasinya. Lalu mereka menjawabnya sendiri dengan berkata, “Alakazam...! Ternyata sisanya tidak ada juntrungannya.”
Mei hanya diam mendengar perkataannya. Bisa ia lihat muka itu bertambah merah. Bahkan akhirnya mata indah itu tidak bisa lagi menahan airnya.
Ia berharap Mei punya keberanian muncul, tetapi ia tidak berani mengatakannya secara langsung. Juga tidak berani ia katakan, “Kalau kamu siap muncul, hubungi aku.”
Ia yakin, Mei mengerti alasan kedatangannya. Ia tulis beberapa angka di blocknote, Merobeknya lalu menyerahkannya sambil berkata, “Aku pulang malam ini. Kalau butuh sesuatu, ini nomorku.”
Mei mengambilnya sambil mengangguk, menatap dengan mata yang entah mau berkata apa. Sama sekali tidak bisa ia baca arti tatapan berkaca-kaca itu.
Dan sampai sekarang, Mei tetap tidak muncul.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 4950 reads