Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

MBOKYAO – 2

Purnomo's picture

         Minggu 27 September 2015 usai kebaktian aku ke kantin gereja untuk sarapan. Belum selesai menyantap sebungkus nasi gudeg beberapa remaja mendekati mejaku. Mereka baru selesai menghadiri kebaktian remaja gerejaku. Mereka aku bantu uang sekolahnya lepas dari organisasi gereja.
        “Tunggu, saya makan dulu,” kataku. Selesai makan aku suruh mereka duduk semeja denganku.


        “Kamu, kamu, kamu, kamu, (aku menunjuk 4 orang di antaranya) Sabtu pertama bulan September sudah menerima bea siswa dari gereja ini,” kataku. “Jadi, kalau sampai Agustus kamu menerima dari saya 15 ribu setiap hadir di kebaktian remaja ditambah santunan dasar, maka mulai bulan ini saya hanya memberi uang transport sebanyak 10 rb setiap menghadiri kebaktian.”

        “Contohnya kamu Dwi. Bulan Agustus kamu terima dari saya santunan dasar 40 rb ditambah 4 kali hadir @ 15 rb sama dengan 100 rb. Betul? (kataku sambil menunjukkan catatanku. Dia mengangguk) Sekarang aku tidak memberi kamu bea siswa tetapi uang transport saja sebanyak 4 kali hadir @ 10 rb sama dengan 40 rb. Tetapi kamu sudah menerima bea siswa dari gereja ini sebanyak 150 rb sehingga kalau dijumlah kamu menerima 190 rb. Lebih banyak ‘kan?” Dwi di SMK dengan SPP 195 rb.

         Beberapa siswa yang aku santuni sejak beberapa bulan yang lalu – yang ortunya Kristen –  aku suruh beribadah di gerejaku dan 4 di antaranya aku alihkan ke Komisi Pendidikan gerejaku. Bagi-bagi ‘rejeki’ lah. Tadi dalam ibadah yang bertemakan Pekan Pendidikan klip video yang ditayangkan menerangkan Komisi ini menyantuni 69 siswa dengan total donasi sekitar 8 juta rupiah setiap bulan. Untuk 4 siswa ini aku tidak lagi memberi bea siswa, tetapi “uang transport”. Semester ke-2 selain “uang transport” setiap bulan mereka akan aku beri tambahan 10% SPP apabila nilai rapotnya 10% di atas rata-rata kelas yang boleh mereka pergunakan sebagai uang jajan.

         Selesai urusanku di gereja, aku pergi ke sebuah kampung kecil di daerah Kelurahan Bugangan. Ada bazar di situ yang diselenggarakan sebuah gereja kecil untuk menggalang dana pembangunan. Seorang ibu menyapaku, “Pak, mulai kapan Vika dibantu?”



        Gereja kecil ini punya komunitas PPA (Pusat Pengembangan Anak – Yayasan Compassion). Minggu lalu mentor PPA memberiku fotokopi kartu SPP dan Kartu Keluarga 10 asuhannya. Dengan melihat fotokopi kartu SPP dan mengkrosceknya di sekolah masing-masing, 5 siswa gugur karena lama menunggak membayar uang sekolah padahal menerima santunan dari PPA. Dan Vika yang SMP ada di antaranya.

       “Saya tidak bisa membantu Vika, Bu, karena syarat pertamanya adalah harus lunas SPP bulan September,” jawabku. “Saya sudah ke sekolahnya dan menurut bendahara yayasan Ibu baru melunasi SPP Pebruari. Padahal kakaknya – Lala –  yang di SMK sudah Ibu lunasi sampai September.”
       “Lala tak usah dibantu pak Pur, santunan dari AAT (Anak Anak Terang) dan PPA sudah banyak meringankan saya.”
        Aku senang dengan sikap ibunya Lala ini – yang menjadi tokoh ceritaku di Mbokyao-1.
       “Jadi, Ibu lunasi dulu SPP Vika sampai September baru saya bantu.”

       Seorang ibu yang ada di dekat kami mendadak bertanya, “Anak saya dibantu juga ya Pak.”
      “Siapa namanya?” tanyaku.
       Dia menyebut nama anaknya. Tetapi aku tak berhasil mengingatnya. Lalu dia menjelaskan anaknya baru lulus dari SD Tabita dan bertahun-tahun selama di SD itu aku santuni seluruh biaya pendidikannya – spp, uang buku, uang modul, ekstrakurikuler, uang ujian kecuali pakaian seragam. Sekarang anaknya di SMP Swasta di Jl. Mataram. Memang setiap siswa SD ini bisa mendapat santunan selengkap itu tanpa peduli tingkat ekonomi ortunya karena SOP untuknya adalah “SD Kristen Gratis”. Aku minta dia menemui aku di gerejaku hari Minggu tgl. 11 Oktober agar aku bisa dengan tenang menjelaskan “S&K” (Syarat & Ketentuan) bagi lulusan SD itu.

       Aku melambaikan tangan ke arah seorang remaja puteri yang sedang menjaga sebuah stand. Wulan siswi SMK ini tadi malam kirim sms memberitahu tidak bisa menemui aku di gerejaku untuk mengambil santunan karena bertugas jaga stand. Ibunya berjualan bensin eceran dan tambal ban motor. Aku ajak dia masuk ke ruang tamu rumah pendetanya.
      “Bawa kartu bukti hadir pertemuan PPA dan fotokopi tanda lunas SPP September?”
       Dia mengeluarkan dokumen itu dari saku celana jeannya. Aku mengeluarkan formulir yang berfungsi sebagai kwitansi.
      “Wulan, santunan September itu dihitung dari jumlah kehadiranmu di pertemuan PPA bulan Agustus. Kamu hadir 18 kali, berarti 18 x 5 rb = 90 rb. Santunan dasar 50 rb. Jadi semua 140 rb. Ini uangnya dan kamu tandatangani kwitansi ini.”
      “Bulan September ini saya hadir hanya 4 kali karena saya baru magang dan pulangnya sore sekali. Jadi tidak bisa menghadiri PPA. Bagaimana Pak? Santunan saya dihentikan?”
      “Kamu ini gimana seh, masa lupa lagi. Setiap bulan kamu harus hadir  12 kali pertemuan PPA dan apabila dalam 1 semester 2 kali santunan gugur, baru kamu tidak lagi disantuni. Kalau baru 1 kali gugur namamu belum aku coret.”
      “Ooo begitu ya pak.”

       Itulah “S&K” santunan untuk siswa asuhan PPA ini yang aku harapkan bisa mendorong mereka rajin datang ke pertemuan, bukan datang sebulan sekali saja ketika mengambil santunan PPA. Bagiku, pertemuan-pertemuan PPA itu penting karena lebih ditekankan kepada pembentukan karakter.

       Setelah Wulan pergi seorang mentor PPA datang menemui aku menyodorkan 2 buku catatan hadir anggota PPA usia SMP dan SMA. Tujuan utama aku datang ke mari memang untuk melihat buku ini. Sewaktu memberikan daftar 10 nama asuhannya untuk aku santuni dia mengatakan “anak-anak ini rajin hadir di PPA”. Sekarang aku mau melihat bukti tertulisnya seberapa rajin mereka.



        Sewaktu aku menyalin data dari buku itu seorang lelaki berbadan gempal masuk dan duduk di dekatku. Aku menyalaminya. “Selamat siang pak Pendeta. Wah, kalau pakai kaos seragam expo Bapak terlihat lebih muda daripada usianya.”
       “Ha ha ha nyindir, nyindir,” jawabnya sambil ngakak.
        Bagaimana tidak nyindir. Dia tidak sungkan menemui aku bertelanjang dada, padahal di kedua lengannya ada tato, sampai istrinya mengomel. Dialah pendiri gereja ini ketika daerah bekas tegalan ini dibenahi menjadi pemukiman.

       “Bagaimana dengan proses pembangunan gereja? Sudah habis berapa, Pak?”
       “Sementara berhenti dulu karena kehabisan dana. Sampai sekarang sudah habis 870 juta.”
       “Anak-anak jemaat Bpk yang saya santuni pernah cerita ada rombongan tamu dari luar negeri meninjau gereja Bpk. Dari mereka dapat sumbangan berapa, Pak?”
       “Mereka datang sudah 3 kali tetapi sumbangannya belum pernah datang.”
        Kali ini aku yang ngakak.
      
       “Pernah juga datang rombongan dari gereja terbesar di Semarang. Foto sana foto sini dan janji mau kirim uang 100 juta. Sudah lewat beberapa bulan uangnya juga belum dikirim. Tetapi saya tidak apa-apa. Biarlah gereja ini dibangun oleh anggota jemaatnya sendiri.”
       “Dan itu akan menjadi kebanggaan bagi mereka,” sambungku.
       “Betul. Biarpun mereka dari ekonomi lemah, tetapi mereka bisa menyisihkan uangnya sampai hampir 900 juta untuk rumah Tuhan.”
       “Tadi saya bertemu dengan seorang guru SD Tabita. Walau rumahnya sudah jauh dari sini, dia tetap setia datang beribadah di gereja ini.”

        Pernah suatu malam ketika bertamu ke rumahnya dia sedang ketamuan sepasang muda-mudi. Mereka akan menikah tetapi mengalami kesulitan dalam mengurus surat-surat di kantor kelurahan. “Sudahlah, tenang saja. Besok kamu berikan semua berkas surat-surat itu kepada saya biar saya yang mengurusnya,” katanya.

        Dia mengayomi jemaatnya dan sikap inilah yang membuat saya senang membantunya walau kadang juga kami ramai berdebat.