Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Masalah Licensia Poetica dan Tanggung Jawab Penyair
Wewenang Penyair
Mungkin kita akan heran ketika melihat model mantra yang dibawakan Sutardji Calzoum Bachri. Heran ketika melihat bahwa karyanya terlihat seperti mantra. Mungkin tambah heran lagi kalau mengingat bagaimana ia akan mabuk terlebih dahulu sebelum membacakan karyanya. Akhirnya, tak heran bila kita merasa bingung dengan apa yang disampaikan.
Wewenang demikian ini sepertinya membuat seorang penyair tak ubahnya dengan Tuhan. Bila ingin menyampaikan sesuatu, ia tinggal mengadakan sesuatu itu dengan memakai apa yang ia inginkan. Sederhananya, deretan bilangan pun dapat dijadikannya sebuah puisi.
Itulah penyair. Ia bermain dengan kata-kata, bahkan dengan bilangan. Singkatnya, ia bermain dengan beraneka bentuk bahasa.
Tapi jangan salah. Meski kesannya tidak bermakna, sebuah puisi, sememusingkan apa pun itu, tetap mengandung makna. Hal ini bisa dilacak dari kepribadian penyairnya. Tak jarang seorang yang mampu melihat latar belakang penyair dapat memahami makna karyanya.
Puisi Saya dan Tanggung Jawab Penyair
Terus terang, saya bukan orang yang gemar berpuisi meskipun beberapa tahun yang lalu cukup banyak menulis puisi. Ketika memutuskan menulis puisi lagi di blog ini, saya teringat akan licensia poetica itu dan memanfaatkannya sebaik-baiknya.
Namun, ada hal lain yang membuat saya teringat akan hal lainnya. Ketika Love mengomentari puisi saya tersebut.
Tapi saya penasaran loh pengen tahu maksud puisi Anda ini, Bung Indonesia-saram .... :)
Komentar di atas sungguh mengingatkan saya akan tanggung jawab penyair. Seorang penyair memiliki tanggung jawab menuliskan sebuah karya. Dengan leluasa ia bisa memanfaatkan berbagai hal untuk mengomunikasikan apa yang ingin ia sampaikan. Namun, ketika ia sudah selesai dengan karyanya, itu berarti ia telah menunaikan tanggung jawabnya.
Bagaimana dengan penafsiran? Sebuah karya yang dipublikasikan tidak ditujukan untuk diri penyair. Tetapi kepada khalayak. Dengan kata lain, penyair tidak bertanggung jawab untuk menguraikan hasil kerjanya. Para pembacalah yang bertugas menerjemahkan apa yang hendak disampaikan oleh penyair. Oleh karena itu, saya kira Love, yang mengomentari karya amatiran itu, menjadi individu yang bertugas menguraikan makna yang terkandung di dalamnya, tentu termasuk para pembaca lainnya.
Jadi, kira-kira apa yang hendak saya sampaikan?
(Kesannya seperti menciptakan teka-teki, ya? Ah, itulah yang memusingkan.)
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.
- Indonesia-saram's blog
- 6377 reads
heran