Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Marilah Bersyukur

andryhart's picture

Kita sering bersyukur dengan rejeki dan kesehatan yang dianugerahkan
Tuhan kepada kita dan mengatakannya sebagai mujizat. Tetapi, apakah
kita masih bisa bersyukur jika kemalangan menimpa hidup kita? Kisah
nyata berikut ini membuat penderitaan yang pernah saya alami menjadi
tidak berarti dan selalu mendorong saya untuk berdoa serta berbuat amal
bagi sesama yang membutuhkan.

 

 

Kisah Bu Padmi

Bu Padmi merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Dia dilahirkan dari
keluarga petani yang tidak mampu. Orangtuanya bertani di daerah tandus di
Gunung Kidul. Karena kemiskinan keluarganya, setamat SMP pada tahun 1973, Bu
Padmi sudah harus bekerja di sebuah rumah sakit sebagai tenaga pesuruh. Dia
bekerja dengan bersepeda onthel dari Bantul ke Yogyakarta karena setelah
berumah tangga, dia tinggal bersama suami dan satu-satunya anak mereka pada
sebuah desa di Bantul. Dengan setia, dia mengayuh sepeda beberapa kilometer
sehari menuju tempat kerjanya di kota selama 32 tahun.

Di tengah kebahagiaan dan
kegembiraan yang dialaminya bersama keluarga, tiba-tiba sebuah malapetaka
terjadi. Pada tanggal 27 Mei 1996 pukul 5.52 pagi terjadi sebuah gempa dahsyat
di wilayah Yogyakarta. Ketika itu, suami Bu Padmi sedang melayani ibadah misa di
gereja Kristus Raja Baciro. Pada saat gempa pertama terjadi, suaminya sempat
lari keluar. Tetapi, karena merasa bertanggung jawab, dia masuk kembali ke gedung
gereja. Celakanya saat dia sudah di dalam gereja terjadi gempa susulan yang
membuat bangunan gereja runtuh. Suami Bu Padmi meninggal dunia karena
keruntuhan bangunan gereja. Dengan demikian, kepala keluarga yang selama ini
menopang kehidupan mereka sekalipun secara pas-pasan telah tiada. Bu Padmi
terpaksa tinggal bersama anak satu-satunya di sebuah rumah kontrakan karena
rumah mereka pun runtuh akibat gempa Yogya. Runtuhnya rumah mereka merupakan
kemalangan kedua yang mereka alami setelah kematian kepala keluarga.

Di sekitar tahun 2002, Bu
Padmi tertimpa kemalangan ketiga. Dia menderita sakit seperti kesemutan,
patirasa pada salah satu sisi tubuhnya, sering pusing dan demam, dan jari serta
kuku tangannya berwarna biru. Awalnya sakit itu tidak dipedulikan tetapi karena
bertambah parah, dia pergi berobat. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
kenaikan semua sel darah dan kadar Hemoglobinnya mencapai angka 20 mg%. Dia
didiagnosis menderita polisitemea vera, suatu kelainan darah dengan ditandai
oleh kenaikan semua sel darah. Dari tahun 2002 sampai 2004, Bu Padmi harus
minum obat-obatan yang harganya mahal. Bulan Desember 2004 dia menjalani
operasi pengangkatan limpa karena terjadinya pembengkakan limpa sebagai akibat
dari penyakitnya. Setelah operasi, keadaannya semakin parah dan angka trombosit
serta sel darah putinya sangat tinggi sehingga harus mengonsumsi obat Agrilin
yang harganya sangat mahal. Satu bulan dia harus mengeluarkan uang Rp.
1.350.000.- untuk membeli obat tersebut padahal gajinya sebagai pesuruh rumah
sakit hanya sekitar Rp 900.000.- Rumah sakit tempatnya bekerja tidak bisa
mengganti harga obat tersebut karena obat-obat untuk
penyakit langka tidak termasuk ke dalam formularium karyawan mereka. Karena
itu, Bu Padmi hanya mampu membeli separuh dari takaran obat yang seharusnya
diminum.

Dengan sisa
uangnya, Bu Padmi masih harus membayar uang sekolah anaknya dan uang sewa rumah
mereka sehingga hanya ada uang Rp. 250.000.- per bulan untuk membiayai
kehidupan mereka berdua. Dia terus mencoba bertahan hidup dengan berpasrah,
berdoa dan berupaya agar Tuhan berkenan menganugerahkan rejeki dan kesehatan
kepadanya. Dia berharap untuk dapat membesarkan anaknya sehingga menjadi orang
yang berguna bagi negara serta masyarakat dan berkenan di hadapan Allah. Dia tidak
ingin mengemis sekalipun bersyukur bila ada orang yang dapat meringankan
bebannya. Dan dia tetap percaya akan janji Yesus bahwa semua kebutuhannya akan
dipenuhi sebagaimana tercantum dalam Injil Lukas 12:24 dan 27, “
Perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur dan
tidak menuai dan tidak mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi
makan oleh Allah. Betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu!
” “Perhatikanlah bunga bakung, yang tidak memintal dan tidak menenun,
namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak
berpakaian seindah salah satu dari bunga itu.

Kisah
ini ditulis berdasarkan cerita Bu Padmi kepada saya (andryhart) tanpa
cucuran air mata karena dia di dalam penderitaannya ingin tetap gembira
dan bersyukur atas hidup yang dianugerahkan Tuhan. Jika ingin membantu
atau menghiburnya, anda dapat menghubungi:

Nama : Th Sri Supadmi

Alamat: Sanggerahan UH I Rt 08/Rw 03 Semaki Umbulharjo Yogyakarta

Pekerja: Pekarya Rumah Sakit Panti Rapih, Jl. Cik di Tiro 30, Yogyakarta

 

__________________

andryhart