Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
"Lagi Baca Apa?"
"Lagi baca apa?", saat ini pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang jauh lebih bergengsi daripada "Lagi ndengerin apa?". Jadi kutu buku saat ini bukanlah hal yang memalukan. Kata orang-orang setengah tua, pada tahun 70an, slogan yang paling keren untuk anak muda adalah "buku, pesta, wanita". Ya setelah itu, pada tahun 80-90an dunia perbukuan di Indonesia memang sempat lesu. Berbagai kontrol, sensor dan ketakutan dibreidel yang dijalankan pemerintah Indonesia saat itu telah membuat para penerbit tidak punya banyak pilihan. Hal ini tentu berimbas pada budaya membaca. Tidak semua orang cocok dengan pilihan bacaan yang dibolehkan pemerintah bukan?
Kita memang harus bersyukur atas berbagai perubahan yang telah Dia ijinkan terjadi pada bangsa ini. Tak hanya dalam hal kebebasan bersuara saja, perkembangan teknologi terutama internet juga telah membuat kita semakin banyak pilihan dalam membaca. Setelah tahun 1998, dunia perbukuan memang sempat mengalami masa jaya dan lebih menggembirakan lagi bahwa hal itu juga mendapat sambutan luas dari masyarakat. Memang sih, karena berbagai hal sekarang mulai ada tanda- tanda lesu dan jenuh lagi, tapi semoga itu hanya sementara.
Anyway, yang jelas hobi menghabiskan waktu dengan membaca, bukan lagi ciri khas anak yang kuper. Malah sebaliknya, anak muda yang tidak banyak baca akan terancam dipandang remeh, jadi katak dalam tempurung, yang hanya bisa bergaul dalam lingkungannya saja. Mungkin ia selalu berdandan modis, pintar olahraga, hafal jadwal acara di MTV, tapi dia tidak bisa menjelaskan kenapa satu olahraga bisa jauh lebih populer dibanding olahraga lainnya, atau bahkan tidak tahu dimana toko buku yang paling murah atau perpustakaan paling lengkap di kotanya.
Aktivitas membaca saat ini juga tidak hanya bisa dilakukan di kamar atau di perpustakaan yang sepi, yang hanya diisi bangku-bangku dan meja dari kayu keras dengan sejauh mata memandang cuma ada orang-orang berkacamata dan berpakaian kuno. Perpustakaan yang nyaman dan sejuk, dan bahkan bisa dijadikan tempat cuci mata kini begitu banyak. Toko buku dan rumah baca atau bahkan kafe kini makin banyak yang juga membuat fasilitas dimana kita bisa membaca di tempat tanpa beli (ada juga yang boleh rental buku yang benar-benar buku, bukan komik/majalah), semua itu bahkan bisa dilakukan sambil ngopi, ngobrol dll. Bahkan tak jarang tempat-tempat komunitas baca itu membuat acara pertunjukan band atau nonton film bareng. Jadi semakin tak ada alasan untuk menganggap hobi membaca bikin kita tidak bisa bergaul dengan sebaya.
Lalu apa yang kita baca? Tentu saja itu terserah minat dan selera masing-masing. Seperti halnya memilih teman ngobrol, demikian juga sikap kita dalam memilih buku/bacaan. Tidak ada yang melarang kita suka mengobrol dengan anak-anak, dan tidak ada yang melarang kita membaca komik anak-anak (karena ada juga komik yang untuk orang dewasa, mis: komik seri tokoh untuk pemula dsb), tapi tentu kita tak akan hanya bergaul dengan anak-anak terus bukan? Demikian juga tak ada yang melarang kita mengobrol dengan lawan bicara yang mungkin tidak selalu sejalan dengan kita, ambil saja poin-poin positifnya, maka cakrawala pikir kitapun tentu akan makin lengkap.
Pada akhirnya, inti dari tujuan membaca sendiri adalah supaya kita bisa membaca. Artinya, semakin banyak referensi bacaan kita, akan makin memampukan kita untuk membaca (memahami) apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekitar kita. Setelah mengetahui secara mendalam dan mampu menjelaskannya, maka tak tertutup kemungkinan bagi kita untuk merumuskan solusi/jalan keluar dari masalah itu. Tentu ini bukanlah kemampuan yang bisa didapat secara instan, (meski ada buku-buku yang mengklaim diri bisa memberi solusi instan namun seringnya tanpa penjelasan) karena belajar sekali lagi adalah sebuah proses. Kritis, itulah yang kita perlukan dalam membaca. Jadi, tanpa kecuali, tulisan ini pun sangat memungkinkan untuk dikritisi. Silakan.. :)
- y-control's blog
- 5270 reads
Buku ku Guru ku
Lagi Baca Buku
Hasrat untuk membeli dan membaca buku sebenarnya sudah ada pada saya ketika berada di semester lima. Dorongan untuk melalap sejumlah literatur ketika itu dikarenakan mata kuliah Analisis Wacana yang diasuh oleh dosen wali saya yang cenderung keras.
Kemudian, racun itu pun semakin menyebar ketika saya dipaksa untuk lebih banyak lagi melahap buku guna memperluas wawasan (yang saya akui belum luas-luas juga).
Ada dua pihak yang saling berbeda yang mendorong saya untuk semakin bergiat. Dorongan pertama saya peroleh dari gerakan Reformed. Ketika menikmati ibadah bersama mereka, saya akui bahwa saya terpaksa pusing dengan berbagai istilah yang asing di telinga saya. Mereka mengupas banyak hal mengenai filsafat maupun budaya yang tidak saya pahami. Hal itu tentu saja membuat saya berpikir, "Kalau begini terus, saya tidak akan mengerti apa-apa kalau tidak mulai mempelajari hal-hal yang disebutkan."
Dorongan kedua datang dari pendeta saya. Meski terkesan liberal, beliaulah yang dengan jelas memompa saya. Ketika mengetahui bidang yang sedang saya tekuni di universitas, beliau berkata, "Kamu harus baca banyak buku." Demikianlah ia pun menyodorkan begitu banyak buku sembari menjelaskan secara singkat isinya, siapa penulisnya, dan di mana ia membeli buku-buku tersebut. Alhasil, setiap berjumpa, setidaknya kami menghabiskan satu jam untuk berbincang-bincang.
Itulah awal mula dari investasi yang saya lakukan hingga saat ini. Bahkan, saya pantang untuk tidak membeli buku bagus, apalagi di saat pesta buku yang biasanya diiringi diskon-diskonan, tanpa memikirkan untuk apa uang sedang di kantong. Pembelaan saya selalu, "Ah, ini namanya investasi. 'Kan lebih baik dijadikan aktiva tetap?"
Alhasil, buku-buku yang tidak (baca: belum) terbaca sudah menumpuk. Dari buku komik, yang menjadi kegemaran utama saya, bahasa, sastra, filsafat, teologi, budaya, ada semua, meski tentunya tidak lengkap. Tapi, jangan ditanya apa yang saya dapatkan dari buku-buku tersebut selain investasi jangka panjang.
Jujur saja, akibat kegemaran yang pernah menghabiskan Rp 600.000 sebulan ini, saya sangat terbantu ketika menulis skrpsi. Bisa dibilang bahwa sayalah satu-satunya mahasiswa di kampus kami yang tidak tergantung dengan perpustakaan. Seluruh bahan yang saya butuhkan untuk menulis skripsi ada di rumah. Kalaupun saya meminjam buku di perpustakaan, bahan-bahan tersebut benar-benar bahan sampingan belaka.
Nah, saat ini saya sedang berjuang untuk menyelesaikan "What the Buddha Taught". Buku berbahasa Inggris yang tidak banyak saya pahami isinya mengingat saya tidak begitu bagus dalam bahasa Inggris. Tapi beberapa hal yang penting telah saya warnai sehingga mudah dicari kembali.
Buku yang lain? Antri dulu deh.
Jadi, kalau ditanya lagi baca apa, ya baca buku dong!
"Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.