Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kisah Sebatang Kayu
Pada mulanya, aku hanyalah sebuah pohon yang tumbuh dan hidup dalam komunitasku yang sering disebut dengan hutan. Dari hari ke hari aku makin bertumbuh dan kuat. Aku semakin nyaman dan enak hidupku. Semuanya serba tenang, dan setiap hari aku dapat bertegur sapa dengan binatang-binatang hutan, pohon-pohon, maupun rerumputan yang ada disekitarku. Bahkan, tiap pagi aku dengar suara burung yang berkicau, suara kera yang bercanda sambil meloncat-loncat di antara dahan pohon, dan masih banyak lagi. Pendek kata, semuanya nyaman. Bahkan aku berkata bahwa inilah hidup yang sesungguhnya, mungkin surgapun akan iri dengan kenyamanan yang aku miliki. Semuanya berubah, ketika datang manusia. Mereka mulai menyakitiku. Aku marah pada mereka, ketika mereka mengayunkan kapak dan mengergaji teman-temanku. Bahkan ketika mereka juga mengayunkan kapak dan menggergaji aku, semuanya sangat menyakitkanku. Aku mencoba untuk bertahan. Tetapi aku tidak kuat tetap berdiri kokoh, hingga akhirnya aku jatuh. Aku pikir semua telah berakhir. Tetapi ternyata tidak. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang aku alami, manusia mulai memangkas dahan-dahanku. Hingga akhirnya aku tidak memiliki dahan lagi. Tinggallah aku sebuah glondongan kayu yangtidak berdaya. Lebih kejam lagi, ketika mereka mulai memindahkan aku melalui sungai dan mengangkut aku dengan truk menuju suatu tempat yang tidak pernah aku tahu. Oh Tuhan…. Ternyata aku dibawa kesuatu tempat yang sangat berisik. Suara aneh aku dengar. Kata orang yang berlalu lalang di depanku, ini adalah tempat penggergajian. Aku juga melihat banyak glondongan yang tidak aku kenal ketika di hutan. Semuanya dikumpulkan di sini. Sungguh “biadab” manusia ini, aku dan teman-temanku yang sudah tidak berdaya, dipotong-potong lagi, hingga aku menjadi berbatang-batang kayu. Aku sangat sedih dan menangis, memohon kepada Tuhan untuk mengampuniku bila aku memiliki dosa dan akhirnya aku harus mengalami semua ini. Aku makin bersedih, ketika aku tahu bahwa mereka tidak hanya berhenti sampai disini. Mereka mengangkut aku dengan truk dan dibawa ketempat yang sangat jauh. Berhari-hari aku di atas truk, hingga tiba aku disuatu tempat. Aku hanya tahu satu hal yang pasti, bahwa sekarang aku berada semakin jauh dari komunitasku. Aku sudah melihat banyak kendaraan yang aku tidak pernah aku lihat dihutan. Manusia juga semakin banyak yang berlalu lalang. Aku diturunkan dari atas truk dan diletakkan begitu saja di antara bumi dan langit. Ketika matahari mulai bersinar dengan terik, terasa aku semakin terbakar. Ketika malam makin larut aku merasa sangat kedinginan. Setelah berminggu-minggu aku alami semua ini, mulailah manusia menindahkan aku ketempat yang teduh. Aku pikir mereka merasa kasihan terhadapku. Ternyata keteduhan itu hanya sangat sementara. Mereka memasukkan aku ke “oven” yang sangat panas. Aku pikir sekarang aku sudah ada di neraka, karena aku telah sangat berdosa kepada Tuhan. Aku hanya bisa menjerit kembali, Tuhan Ampunilah aku….. jangan ijinkan aku teruskan mengalami siksaan ini. Aku bersyukur, ketika manusia mulai mengangkatku dari oven yang panas itu dan memindahkan aku ke tempat yang teduh. Aku bersyukur juga karena Tuhan mengijinkan aku untuk tidak mengalami panasnya oven. Aku pikir semuanya sudah berakhir. Ternyata penderitaanku masih terus berlanjut. Aku sekarang dibawa pindah ketempat yang makin aku tidak tahu. Aku mulai diukur. Tetapi kemudian aku makin dipotong, digergaji, diamplas, dipaku, dipahat, dan berbagai penderitaan aku alami. Aku sudah mencoba untuk membela diri, ketika dipaku aku keraskan kayuku, tetapi tidak juga berhasil. Ketika aku makin keraskan,bor kayu yang aku hadapi. Aku juga mengalami olesan yang sangat menjijikkan. Kata mereka, itu adalah pelitur. Akhirnya aku pasrah dan hanya dapat berseru kembali kepada Tuhan, “Tuhan begitu bersalahkah aku kepada-MU, sehingga semua penderitaan aku alami Engkau ijinkan”. Dalam kepasrahan inilah aku mulai melihat bahwa mereka menjadikan aku sebuah kursi, meja, dan sebagainya. Aku mulai diletakkan ditempat yang dikelilingi kaca dan tempat yang sangat mudah untuk dilihat oleh banyak manusia. Kata mereka aku diletakkan di depan itu agar mudah dan menarik untuk dilihat. Suatu hari aku melihat ada seorang yang turun dari sebuah mobil mewah. Ia menghampiriku, mengusap-usapku, membalik-balikku, dan melihat-lihatku. Aku hanya terdiam. Yang aku tahu, ia berdecak-decak, mungkin kagum dan mungkin juga kasihan padaku. Kemudian ia pergi ke orang yang memajangku di depan. Memang aku tidak tahu secara persis apa yang mereka katakan, tetapi yang aku dengar secara sepintas ia menawarkan sejumlah uang untuk membawaku pulang. Bahkan aku terbelalak, ketika ia menyodorkan segepok uang, yang setelah dihitung-hitung sampai puluhan juta jumlahnya. Sejujurnya aku terkejut, begitu mahalnyakah aku, sehingga orang mau mengeluarkan sampai puluhan juta hanya untuk membawaku pulang. Akhirnya aku menyadari bahwa rasa sakit yang aku alami ketika aku ditebang, dibawa ketempat asing, dipoles, dipahat, dan sebagainya adalah untuk aku makin bernilai. Mungkin kita juga tidak menyadari bagaimana Allah berusaha membentuk kita. Seperti kayu itulah sesungguhnya kita akan dibentuk oleh Tuhan. Pada saat proses pembentukan itu, memang sangat mungkin dan sering kita mengalami kesakitan. Kita dipindahkan dari kenyamanan yang ada. Kita dihadapkan pada panasnya bersaingan, dan sebagainya. Tetapi semuanya itu hanyalah untuk menjadikan agar kita semakin bernilai.
- Ulah's blog
- 3597 reads