Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kisah Sebaskom Air
Lebih dari sepuluh tahun Bajoi telah meninggalkan kampung halamannya, sesekali ia pulang untuk melepas rindu, seperti yang dilakukannya kali ini, berkunjung untuk yang kesekian kalinya dan mendengar banyak cerita.
Tidak sampai setengah jam setelah menginjakkan kaki di rumah orang tuanya, Bajoi memperhatikan keadaan rumah mereka yang sudah sangat tua. Menurut cerita, rumah ini dibangun pada jaman Belanda. Dibangun dengan arsitektur khas daerah, memanjang dari depan ke belakang. Dengan sebuah dinding membelah rumah menjadi dua bagian. Satu bagian menjadi lorong panjang lurus ke dapur, dan satunya lagi terbagi menjadi petak-petak yang dipakai sebagai kamar-kamar tidur.
Bajoi melepas rindunya dengan memasuki kamar-kamar ini satu persatu, mulai dari dapur hingga keruangan paling depan. Ketika akan memasuki kamar paling depan ini, adiknya Aida yang setia mengikuti kakaknya dari belakang berkata:
"Jangan masuk! Itu kamar Esen."
Aida tidak perlu menjelaskan siapa Esen, kakaknya sudah bisa menebak ini pasti anak yang sudah setahun telah ikut tinggal bersama keluarga mereka.
Bajoi ingat, tahun lalu kakaknya berencana untuk mencari anak sekolah untuk membantu di rumah. Lalu setengah tahun yang lalu kakaknya memberitahu kalau ia sudah mendapatkan anak SMA untuk membantu mereka, seorang gadis yang kedua orang tuanya sudah meninggal.
"Di mana ia sekarang?" tanya Bajoi.
"Ikut les," jawab Aida, berharap kakaknya tidak terlalu kecewa karena tidak boleh masuk ke kamar ini, "bulan depan EBTANAS"
Setahu Bajoi, ujian akhir ini namanya sudah bukan lagi EBTANAS, mungkin adiknya mengira kakaknya ini benar-benar ketinggalan berita. Walaupun demikian, Bajoi sebenarnya senang adiknya menggunakan kata ini, apalagi mengingat kakak mereka, Eva lahir pada masa EBTANAS, sehingga ayah mereka yang sudah puluhan tahun menjadi guru memberinya nama Eva, dari kata Evaluasi.
Sorenya, baru Bajoi bertemu dengan Esen, gadis ini langsung menyiapkan makan malam. Semula Bajoi mengira ia akan beristirahat setelah mengerjakan tugas rutinnya, ternyata tidak. Samar-samar Bajoi mendengar Esen sedang membaca sesuatu didalam kamarnya secara berulang-ulang. Dalam hati Bajoi heran dari mana gadis ini mendapat kekuatan dan tidak mengantuk karena kecapekan, Bajoi juga merasa bersalah karena tadi tidak ikut membantu Esen di dapur, paling tidak mencuci piringnya sendiri.
Malam-malam berikutnya, Bajoi sering menghabiskan waktu bersama Aida, adiknya yang sudah berumur 24 tahun, tetapi masih manja. Kamar Aida bersebelahan dengan kamar Esen, sehingga setiap malam Bajoi bisa mendengar Esen belajar. Dari apa yang didengarnya, Bajoi tahu buku jenis apa yang dibaca atau lebih tepatnya dihafal oleh Esen, ia menghafal soal dan jawaban dalam salah satu buku persiapan ujian.
Aida juga bercerita kalau Esen belajar keras karena takut tidak lulus. Kakak Esen tidak begitu setuju adiknya sekolah, sehingga Esen akhirnya bisa sekolah dengan cara bekerja pada keluarga yang mau menampungnya. Kakaknya lebih suka ia menikah dengan salah satu pekerja kontrak di perusahaan asing dekat kampung mereka, seperti yang kebanyakan dilakukan oleh gadis-gadis disitu. Dikontrak menjadi istri selama satu atau dua tahun, tentu saja dengan bayaran yang cukup besar.
Seminggu sebelum ujian, Esen tiba-tiba sakit, pada awalnya ibu Bajoi tidak begitu memperhatikannya, ia cuma tahu Esen mengeluh pusing. Karena dikira cuma sakit biasa, Esen disuruh beristirahat saja. Wanita tua ini baru benar-benar sadar Esen sakit ketika melewati kamar gadis ini dan mendengar suara-suara aneh dari dalamnya. Ia sangat terkejut menemukan Esen sedang demam, rasa bersalah membuat nenek tiga cucu ini langsung merawat Esen, padahal waktu itu yang ada di rumah cuma ia dan suaminya serta putra mereka Bajoi. Aida dan Eva sedang pergi ke kota selama beberapa hari.
Nenek ini menghabiskan waktu lebih banyak untuk merawat Esen, termasuk membersihkan kamarnya. Ketika membersihkan bagian bawah ranjang, ia menemukan sebuah baskom berisi air yang sudah sedikit kotor.
"Untuk apa air ini?" tanya wanita yang dalam usia setengah abadnya harus merawat suami yang menderita diabetes. Sebenarnya ia sudah tahu untuk apa air di dalam baskom ini, Esen menggunakannya untuk merendam kaki sehingga tidak mengantuk waktu belajar. Dulu Esen melakukannya secara terang-terangan. Setiap malam ia membawa satu ember air, tetapi tidak berani lagi melakukannya setelah dilarang. Tidak tahunya ia tetap melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Waktu itu Esen berkata bahwa gurunya yang mengajarkan cara seperti ini, katanya supaya kuat menghafal pelajaran dan tidak mengantuk.
Tanpa menunggu jawaban Esen, wanita tua ini membawa sebaskom air itu keluar. Ia hanya berkata, "pantas kamu sakit."
"Orang bodoh mengajar orang bodoh," merupakan perkataan yang didengar Bajoi ketika ibunya membuang air tersebut di dapur. Bajoi tidak berkata apa-apa.
Tiga hari sebelum ujian, Esen sudah benar-benar sehat. Eva dan Aida juga sudah pulang. Mereka berdua juga tidak berkomentar apa-apa ketika mendengar cerita bagaimana Esen sampai bisa jatuh sakit.
Gadis ini juga sudah bisa kembali belajar, sekarang ia tidak akan bisa belajar sambil merendam kakinya lagi, setiap malam ibu Bajoi memeriksa bagian bawah tempat tidurnya.
"Karena anak ini keras kepala," hanya itu jawaban wanita tua ini ketika anaknya memprotes tindakan yang dianggapnya terlalu berlebihan, seolah-olah tidak lagi mempercayai Esen.
Makin mendekati hari ujian, Esen malah tambah ketakutan. Ia takut kalau sampai tidak lulus. Kalau orang lain takut tidak lulus karena takut dimarahi orang tuanya, maka Esen tidak punya siapapun untuk ditakuti, kecuali mungkin kakaknya yang akan menikahkannya kalau sampai tidak lulus.
Akhirnya hari ujian itupun tiba, Selasa yang sangat ditakuti oleh Esen. Bajoi tidak yakin apakah Esen bisa tidur dengan baik malamnya, yang pasti pagi-pagi Esen sudah bangun. Karena selama ujian ini ia tidak usah mengerjakan tugas rutinnya, maka begitu bangun ia langsung menghafal kembali buku bank soalnya.
Pagi itu, ketika mengantar kakaknya ke sekolah, semua anak yang berpakaian putih abu-abu berjalan sambil memegang lembaran kertas. Pemandangan yang sangat tidak biasa. Biasanya setiap pagi, jalanan kampung dipenuhi anak-anak yang ribut, sekarang semuanya kelihatan serius, bahkan mereka tidak merasa perlu menoleh ketika Bajoi dan kakaknya melewati mereka. Anak-anak ini begitu sibuk dengan lebaran kertas di tangan masing-masing.
Dalam hati Bajoi berkata, siang nanti dalam perjalanan menjemput kakaknya, ia akan melihat muka-muka kuyu. Dari lembaran-lembaran yang ada di tangan anak-anak ini sekarang, ia bisa melihat adanya sistem pembelajaran yang tidak beres. Kalau Esen sendiri yang melakukan hal seperti ini, ia akan menyalahkan Esen, tetapi semua anak melakukan hal yang sama. Dengan cara ini tidak akan mungkin mereka berhasil dalam ujian kali ini.
Dugaan Bajoi salah, siangnya anak-anak itu memenuhi jalanan dengan keceriaan yang bahkan lebih dari hari-hari biasa. Mereka sangat ribut dan tertawa sepanjang jalan. Sangat berbeda dengan sikap mereka tadi pagi, kelihatan sekali kalau saat ini mereka sedang bersenang-senang.
"Ujian mereka tampaknya sukses," kata Bajoi kepada kakaknya.
Eva, sebagai guru mereka tidak menjawab apa-apa, ia hanya diam saja.
Setengah jam kemudian, Esen masuk ke rumah dengan muka berseri-seri, raut muka yang sangat jauh berbeda dengan raut mukanya beberapa jam yang lalu.
"Bagaimana Sen?" tanya Bajoi, senang melihat Esen pulang dengan muka yang sangat cerah.
"Ya... begitulah", jawab Esen, membuat Bajoi menjadi curiga, pasti ada sesuatu.
Kecurigaan Bajoi semakin bertambah, karena setelah makan siang, Esen tidak menyentuh buku yang selama ini selalu dipegang olehnya. Bahkan siang itu tidak kedengaran suara seseorang yang sedang berusaha keras menghafal sesuatu, seperti Esen malah tidur siang.
"Kok, tidak belajar Sen?" tanya Bajoi, ketika melihat Esen menghidupkan televisi begitu listrik hidup, di kampung ini listrik memang cuma hidup kalau malam.
"Untuk apa?" jawab Esen, Bajoi tidak terlalu kaget mendengarnya, "jawabannya dikasih oleh guru dan pengawas."
Bajoi sama sekali tidak kaget.
"Jangan bilang siapa-siapa lagi Sen," kata ibu Bajoi yang kebetulan ikut mendengarkan percakapan ini.
Malam itu Bajoi bertanya kepada kakaknya, kenapa sampai guru sendiri yang menjawab untuk anak-anak, dan mengapa pengawasnya juga tidak melakukan tugas mereka dengan baik."
"Namanya otonomi daerah," jawab Eva, Bajoi tahu ini tidak ada hubungannya, tetapi ia hanya diam saja.
"Sekolah tidak mau menjadi sekolah yang muridnya paling banyak tidak lulus, kecamatan tidak mau muncul di koran sebagai kecamatan dengan tingkat kelulusan terendah, kabupaten juga tidak mau menjadi kabupaten dengan tingkat kelulusan terendah."
"Kalau masalah uang, tidak semua orang mau bekerja sama, tetapi kalau masalah harga diri, ceritanya bisa lain." lanjut Eva dengan nada sedikit mengandung sarkasme.
"Katanya ujian ini memakai standar nasional, sedangkan anak-anak di sini hanya mencatat kembali apa yang ditulis oleh guru di papan tulis. Guru juga menulis apa yang ada di buku ke papan tulis. Lihat saja si Esen, belajar saja tidak tahu caranya. Ia cuma menghafal soal-soal latihan dari bank soal yang dijual di mana-mana. Aku sudah bilang ke dia, bukan begitu cara belajar yang benar, tetapi ia cuma berkata kalau ia ingin lulus, bukan ingin belajar."
Malam itu, tidak seperti malam sebelumnya, Esen pasti tidur nyenyak. Kali ini ia tidak lagi menghafal soal-soal latihannya, dan tanpa diawasipun, ia tidak akan mau merendam kakinya lagi.
- anakpatirsa's blog
- 5043 reads
Sebaskom air berkisah
Kasihan Bajoi,
rupanya dia sudah lama tidak membaca koran, tidak nonton TV dan tidak mendengar radio. Kalau tidak, pasti dia akan tahu, orang-orang bilang anak sekarang beda dengan anak-anak dahulu. Anak-anak sekarang pinter-pinter. Kalau sudah pinter tentu tidak perlu belajar.
Orang tua sekarang juga beda dengan orang tua dahulu. Orang tua dahulu melatih anaknya untuk menghadapi dunia, orang tua sekarang menipu dunia bagi anak-anaknya. Orang tua dahulu menganggap anaknya sebagai sesama manusia, selain menyayanginya, mereka juga mendidiknya untuk menjadi manusia. Orang tua sekarang menganggap anaknya binatang peliharaan, mereka membayar orang untuk mengurusnya dan menggaji orang untuk melatihnya, supaya ketika senggang, mereka dapat mengelusnya.
Guru sekarang beda dengan guru-guru dahulu. Guru dahulu menganggap muridnya sebagai anak didik, maka mereka mendidiknya abis abisan. Guru sekarang menganggap muridnya pelanggan, maka mereka abis-abisan memenuhi keinginan pelanggannya. Tujuan sekolah adalah lulus, tandanya adalah ijazah, maka diberikanlah ijazah. Tujuan belajar adalah menjawab soal dengan benar, maka merekapun memberikan jawabannya.
Kasihan sekali nasib orang tua dahulu, guru dahulu yang hidup di sekarang, mereka dianggap ketinggalan jaman.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Ya, nasib Bajoi
Bajoi, Sahabatku
Bercerita ada seninya,Mensehati ada seninya, Mengajar juga ada seninya. Mana yang benar? Semuanya benar.
Ada yang mengungkapan cinta dengan bunga, ada yang mengungkapkan cinta dengan puisi, ada pula yang mengungkapkan cinta dengan marah. Mana yang benar? Semuanya benar.
Anda bercerita dengan cerpen, saya bercerita dengan puisi. Anda bertarung dengan pedang, menyembunyikan bahaya di balik keindahan jurus-jurus, saya bertarung dengan pistol, dipicu lalu dooor ... Mana yang benar? Jelas kedua duanya benar. anda memainkan jurus-jurus pedang anda yang indah, ketika menikmatinya, hati saya benar-benar mendidih penuh amarah, karena tak dapat mengendalikan diri, maka kutarik pistolku, dan dor ... dor ... dor ... Semoga saja, ada banyak orang yang tertebas oleh pedang anda dan tertembak oleh pistolku. Paling bgus adalah beramai ramai kita mengusung meriam dan .....
Otonomi daerah di balik ujian nasional? nampaknya anda orang pertama yang melihatnya dengan terang. Kalau Bajoi tidk bercerita, maka hai hai tidak tahu.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
dilema...
saya dulu pernah menulis... ujian nasional=bencana nasional bagi dunia pendidikan... ternyata... yang menjadi bencana justru sistemnya itu sendiri... kita lihat sekarang tingkat kelulusan... sangat tinggi... dengan catatan paling bawah sekali... kami dapat bocoran dari guru dan dari sms... weleh...weleh...weleh... sekelompok guru yang masih berpikiran waras di Sumatera Utara... dan berusaha memprotes... dianggap membangkang dan diancam dikeluarkan dari sekolah... tapi saudara hai-hai... tidak semua guru seperti itu... I am old fashioned person... Man of Old Manner.... Let us see then... mari masukkan anak anda di sekolah saya... hahaha.... dia akan jadi jempolan! Baik IQ, SQ, atau pun EQ nya... bukan sekedar angka!!!
BIG GBU!
Josua.Sekolah Kalam Kudus
Wah, Ini bukan lagi jualan sekolah lho!
Thanks josua, untuk tawarannya. Anak saya baru saja naik kelas, dia kelas 1 sekarang. Saya sangat memperhatikan pendidikannya. Pertama, dia anak saya, kedua, saya sudah mempersembahkan dia pada Tuhan.
Untuk pendidikannya, saya sudah melakukan survey sekolah-sekolah di sekitar rumah kami dan menemukan bahwa sekolah Kalam Kudus sangat cocok buat dia. Saya mempercayakan pendidikan anak saya kepada sekolah kalam kudus, bila sekolah dan guru-gurunya mempertahankan atau malah meningkatkan mutu mereka. Namun saya percaya, pendidikan terbaik di dunia adalah di rumah, guru terbaik du dunia adalah orang tua. Itu yang kami lakukan.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Kalam Kudus (Lagi)
Wah, wah. Di mana-mana kok ketemu Kalam Kudus lagi, ya? Ternyata Kalam Kudus memang sekolah yang cukup terkenal juga.
Karena bahasa Indonesia dulunya adalah lingua franca.
[OOT] re:
dah biasa tiap ujian nasional gitu
Ujian Nasional
Sama