Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah Dua Buku

anakpatirsa's picture
Pantun Jenaka

Disini kosong di sana kosong
Tak ada batang tembakau
Bukan saya berkata bohong
Ada katak memikul kerbau

Jual bayam pembeli tali
Tali hilang di atas atap
Sejak ayam menjadi polisi
Banyak elang yang tertangkap

Pohon limau ditepi rawa
Tempat orang mengadu banteng
Nenek menangis sambil tertawa
Melihat kakek main kelereng

Aku tidak pernah bisa melupakan pantun ini. Nenek menangis sambil tertawa//melihat kakek main kelereng, membuatku melihat kakek bermain kelereng. Elang dan ayam ada di belakang rumah, bahkan pernah kulihat elang menyambar anak ayam. Juga sudah kulihat induk ayam melindungi anak-anaknya dengan sayap, sehingga tidak bisa kulupakan bait-bait itu.

Hanya batang tembakau dan banteng saja yang tidak pernah kulihat.

Mengingat pantun ini, pikiranku mengembara ke masa lalu.

***

ini budi
ini ibu budi
ini bapak budi
adik budi bernama iwan
bapak budi pergi ke pasar
ibu budi memasak di rumah
budi pergi ke kali

Kalimat-kalimat itu ada di papan tulis. Kami harus mengucapkannya sambil mengikuti gerakan penggaris panjang Ibu Ira. Kami bersama-sama mengucapkan i-n-i bu-di itu sekeras-kerasnya. Suatu hari, kuperhatikan ketukan di atas huruf-huruf itu bukan sembarang ketukan. Bunyinya selalu sama dengan 'tekanan' suara kami yang mengucapkan kalimatnya.

Ibu Ira berhenti, menyebut namaku, lalu berkata, "Kepala kamu tidak usah ikut digoyang-goyang seperti itu. Kamu ini, dulu belajar membaca sambil memasukkan tangan ke mulut. Sekarang kamu punya kebiasaan baru lagi, menggerakan-gerakkan kepala kalau lagi membaca."

Padahal aku hanya menggerakkan kepala mengikuti ketukan penggarisnya.

Suatu hari, hari yang tidak bisa kulupakan, Ibu Ira masuk sambil membawa setumpuk buku. Warnanya seperti warna langit yang kelihatan dari kawat di atas dinding kelas. Ia pergi ke mejanya. Berdiri di belakangnya lalu memukul meja, kami berdiri. Sekali pukul, kami berteriak, "Selamat pagi Bu Guru." Sekali pukul lagi, kami semua--termasuk dirinya--duduk.

Ia berkata, "Hari ini kalian mendapat buku. Kalian boleh membawanya pulang, asal jangan merusaknya."

Ia beranjak dari kursinya, berjalan membagikan buku itu satu persatu.

Kuperhatikan bukuku. Gambarnya bagus, bukunya sendiri sudah kotor, bahkan punya Ikong, teman sebangkuku, sudah sedikit robek. Aku sudah bisa membaca sedikit, bisa kubaca apa yang tertulis di sampul depan, "bahasa indonesia" tertulis di kiri atas; "belajar membaca dan menulis 1a" tertulis dalam bingkai kuning; "MILIK DEP. P DAN K" yang tidak kumengerti dan "TIDAK DIPERDAGANGKAN" tertulis di kanan bawah.

Ada gambar tiga anak. Anak yang paling kecil berkepala gundul, hanya ada sedikit rambut di bagian depan. Anak yang perempuan berkepang, sedang membaca buku. Satu anak lagi sedang membaca sambil tiduran. Senang melihatnya, karena ibu melarangku melihat gambar-gambar di buku ketiga kakakku sambil tiduran.

Akan kutunjukkan gambar anak membaca sambil tiduran padanya.

Seekor ayam dan seekor kucing mengapit ketiga anak. Di depan kucing ada bola. Kucing kami suka bermain bola, pasti kucing yang ini juga suka. Ada papan tulis di belakang mereka. Tulisannya "abc". Ada gambar bunga matahari di sampingnya. Di depan kelas kami juga ada papan tulis, tetapi tidak ada bunga di sampingnya.

Hanya ada bendera di samping papan tulis kami.

Ibu Ira menyuruh kami membaca keras-keras tulisan yang ada di bagian belakang buku. Ia ajari kami membacanya, lalu setelah semua bisa, bersama-sama kami ucapkan, "Rawatlah buku ini baik-baik, tahun depan adikmu yang akan menggunakannya."

Ia bertanya siapa  yang punya adik di rumah. Kami semua mengangkat tangan. Ia mengatakan, tahun depan adik kami akan memakainya juga. Jangan sampai kami merusaknya, juga jangan mencoret-coretinya. Kami juga tidak perlu membawanya ke sekolah setiap hari, takut cepat rusak.

Aku pulang bangga membawa buku ini, merasa kaya. Sama bangganya seperti ketika berangkat ke sekolah dengan tangan yang terbalut karena terjatuh dari tangga; tidak sabar memamerkan balutan luka itu. Aku tidak sabar menunjukkan buku ini pada ibu, ayah dan kakak-kakakku yang siang nanti pasti pulang.

Gambarnya sangat bagus, aku menyukainya.

Siang itu juga, ibu menyampul bukuku. Sampulnya berwarna kuning. Sisa kertas yang ayah pakai untuk membuatkan layang-layangku dan Dein, adikku. Sambil menyerahkan buku itu kembali, ibu berpesan, aku harus membaca bukunya, bukan hanya melihat gambar-gambarnya.

Itulah harta pertama yang kumiliki. Tentunya selain tiga buku tulis tipis bersampul hitam dan sepotong pensil yang ujung penghapusnya sudah habis kugigit. Aku tidak punya peraut sendiri. Pernah punya, tetapi karena pensilku hanya tersisa secuil setelah itu, aku harus merelakannya tersimpan di atas lemari.

Sejak mendapat buku ini, aku tidak boleh lagi sembarang menyimpan buku. Aku harus menyimpannya di laci bawah lemari kamar. Satu tempat dengan buku-buku punya kakakku. Aku belum bisa membaca buku mereka, tulisannya kecil-kecil. Tetapi aku boleh melihat gambar seperti gambar tiga anak menggunakan galah memetik jambu. Senang melihatnya, kami juga punya galah seperti itu. Kami juga punya jambu biji di samping kanan rumah, bahkan dahannya sampai menyentuh atap teras.

Buku mereka tidak seperti bukuku. Punyaku melebar, punya mereka seperti buku biasa. Warnanya seperti warna buah kelapa muda. Judulnya juga sama, "bahasa Indonesia", Dari buku merekalah, aku melihat pantun kakek yang bermain kelereng itu.

Maria, kakakku yang kelasnya paling dekat dengan kelasku menjelaskan, anak yang paling besar itulah Budi. Anak perempuan itu Wati dan yang paling kecil itu Iwan. Setelah tahu siapa mereka, aku tidak lagi mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama pukulan penggaris di papan tulis. Aku mulai suka membaca setelah mengetahui, bukan hanya gambar-gambar itu saja yang bisa bercerita, huruf-hurufnya juga bisa bercerita tentang pohon kelapa ataupun tupai.

Pohon kelapa juga tumbuh di samping dan di belakang rumah kami. Setiap hari kulihat tupai melubangi buah kelapa yang masih hijau. Memasukan kepalanya ke sana sehingga hanya ekornya yang kelihatan. Bila mendengar suara kami, mereka langsung melarikan diri, meloncat ke pohon lain melalui pelepah kelapa.

Jadi, aku tidak pernah bisa melupakan pantun ini:

ada tupai di pohon kelapa
tupai makan kelapa
budi melihat tupai
tupai itu lari

***

Suatu hari kembali Ibu Ira membawa setumpuk buku, warnanya biru. Aku senang, pasti kami mendapat buku baru lagi. Buku yang dulu kudapat gambar-gambarnya sudah bisa kulihat tanpa melihat bukunya lagi. Tadi pagi kakak sudah bilang, aku tidak usah membawa buku tulis. Minggu depan libur seminggu sehingga hari ini boleh bermain di tanah lapang sepuas-puasnya.

Ibu Ira berkata, hari ini kami mendapat buku lagi. Bukan seperti buku yang ia pinjami dulu. Buku yang ini akan menjadi milik kami selamanya.

Aku sangat senang mendengarnya.

Heran, ia tidak mendatangi bangku kami masing-masing. Kami harus maju ke depan satu persatu untuk mengambil buku itu.

Ia langsung memanggil namaku. Nama lengkap yang baru kuketahui setelah sekolah.

Senang bisa melihat buku itu lebih dulu dari teman-teman. Bukunya kelihatan masih baru. Kujulur tangan mengambilnya. Aku mau berbalik ketika Ibu Ira menyuruhku menyalaminya.

Setahuku, orang bersalaman kalau bertemu orang yang baru ia kenal, atau orang yang baru ia jumpai lagi setelah beberapa lama.  Sekarang aku harus menyalami guru yang mengajariku setiap hari. Tetap kujulurkan tanganku dan langsung memperhatikan bukunya sambil berjalan ke bangku.

Senang membaca nama lengkapku ada di sampulnya. Ada gambar yang mirip gambar di topi kakak-kakakku.

Saat duduk di bangku, halamannya kubalik-balik. Aku tidak menyukai buku ini. Isinya hanya garis-garis kosong. Hanya satu halaman yang garis-garisnya ada isinya, itupun tulisan pulpen. Aku ingin buku yang ada gambar Budi, Wati, Iwan dan kucing atau tupai. Bukan garis-garis.

Buku yang banyak garisnya aku sudah punya, namanya buku menulis indah.

Saat keluar kelas, kakak-kakakku juga keluar. Kudengar Tiara, kakak tertuaku memanggil.

"Lihat ya, Dik," pintanya sambil memandangi buku jelek yang kupegang.

Ia juga memegangi buku tipis. Punya dia ada sampul kertas layang-layangnya. Mengapa ia ingin melihat punyaku juga? Kakakku langsung menciumku setelah melihat buku itu. Padahal waktu melihat buku yang ada gambarnya, ia hanya bilang, "Jangan dicoret-coret ya?"

Kami, aku dan ketiga kakakku, pulang bersama-sama.

Di rumah, ibu langsung melihat buku-buku kami. Ia mengambil punyaku duluan dan membacanya. Heran mengapa orang ingin melihat buku jelek itu.

"Coba kamu kasih lihat kakekmu," kata ibu sambil menarik pipiku. Ia menarik pipiku bila aku tidak nakal atau bila mau menemani Deni, adikku yang juga masih kecil.

Aku masuk ke kamar kakek. Ia yang sedang membersihkan lampu semprong berkata, "Sini coba kulihat."

Aku berikan buku jelek itu, lalu aku bermain di kamarnya. Kakak-kakakku juga masuk ke kamar kakek, menyerahkan bukunya masing-masing.

Jarang kakek mengijinkanku bermain dengan barang-barang aneh di kamarnya. Aku di sana sampai ayah pulang bersama Dein yang sejak aku sekolah, tidak punya teman bermain lagi. Ia sering ikut ayah ke SMP, atau menyusulnya kesana. Hanya sekali ia menyusul sampai kelasku. Langsung melarikan diri setelah Ibu Ira yang melihat kepalanya nongol di depan pintu, menyuruhnya masuk. Hari pertama aku ke sekolah, ia memang ikut, tetapi besoknya tidak mau lagi.

Kakek menyuruhku menunjukkan buku jelek itu kepada ayah. Ayah membacanya. Sambil mengangkatku, ia mengatakan akan menyimpan bukuku. Aku tidak keberatan. Ayah juga bilang, kalau sudah punya seragam, aku akan berkodak supaya ada gambarku di buku itu.

Libur seminggu, selama liburan, ibu mengukur tubuhku. Menjahit untuk membuatkanku seragam. Ketika kembali ke sekolah, bukan hanya aku yang berangkat sekolah dengan seragam. Teman-teman sekelasku memakai seragam juga.

***

Buku, beberapa mempengaruhi kehidupanku. Di sekolah dasar, buku yang paling aku sukai adalah buku bacaan bahasa Indonesia. Banyak kata-kata baru yang tidak kumengerti, atau tidak kutemui di pedalaman sana. Tupai, pohon kelapa, dan buah jambu selalu kulihat dari jendela kamar begitu bangun tidur. Tetapi laut biru, gunung berapi, kereta api, dan orang membajak sawah, sama sekali belum pernah kulihat. Sehingga sampai sekarang, setiap kali melihat kereta lewat, aku selalu teringat keluarga Budi yang pergi ke kota.

 

Mikhael Romario's picture

@AP

membaca blog AP yang ini, membuat saya ingat masa kecil saya sewaktu masih di kelas I SD.

Pantun Jenaka, salah satu pantun yang masih bisa saya hafal di luar kepala. 

Pohon limau ditepi rawa
Tempat orang mengadu banteng

Nenek menangis sambil tertawa

Melihat kakek main kelereng
membaca paragraph terakhir pikiran usil saya timbul kenapa si nenek nangis sambil ketawa  melihat si kakek maen kelereng, mungkin nenek pikir apa dengkul si kakek masih kuat?

 

Damai Kristus

__________________

Damai Kristus

anakpatirsa's picture

Kelereng di Lutut

Berarti cara main kelerangnya sama ya?

Siapa yang kalah mendapat hadiah tembakan kelereng di lutut.

Mikhael Romario's picture

kelereng

Di tempat saya kalau kalah maen kelereng mendapat hadiah tembakannya di tangan. Si nenek ketawa sampe nangis mikirin si kakek apa masih kuat dengkul-nya digunakan untuk jongkok-berdiri-jongkok-berdiri.

 

Damai Kristus

__________________

Damai Kristus

ebed_adonai's picture

@AP: tentang bukunya..

Saya juga ingat buku itu bro AP.....

Formatnya memanjang ke samping bukan?

Haha, jadi bernostalgila, eh, nostalgia masa-masa SD dulu, dimana buku-buku pelajaran masih bisa diwariskan turun-temurun dari sang kakak kepada sang adik, sampai kumal dan lecek,.....

Shalom!

(...shema'an qoli, adonai...)

__________________

(...shema'an qoli, adonai...)

anakpatirsa's picture

Jadi Bungkus Kacang

Ya, memanjang ke samping, kawan.

Ya, dulu diwarisi turun temurun. Sekarang melimpah, dan menjadi bungkus kacang setiap akhir tahun

hai hai's picture

Jaman saya ...

Jaman saya, Budi itu selalu anak tetangga, tokoh utamanya adalah Amir, Tuti dan Hasan.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

anakpatirsa's picture

Amir, Tuti, Hasan

Kalau generasi yang memakai kurikulum 1975 disebut generasi Budi atau generasi Ini Budi, mungkin generasi yang memakai kurikulum sebelumnya bisa disebut generasi Amir.

Generasi setelah itu tidak tahu lagi. Terlalu banyak kurikulum.

Tentang Amir dan teman-teman, hanya mendengar cerita.

Judul bukunya, "Bahasaku."

Tokohnya:

Amir, anak petani
Tuti, anak paman Amir, ayahnya Tuti pegawai
Hasan, anak pedagang kelontong
Muntu, tidak sepintar Amir dan Tuti dan Hasan, suka tertidur di kelas
dll.

Tentang pantun zaman itu, hanya pernah dengar pantun ini:

 

Rawamangun jalan berliku
Penuh onak makanan badak
Gelak tersenyum rupa kakekku
Melihat nenek duduk berbedak...

 
Anak El-Shadday's picture

buku itu

saya anak guru di desa, karena di desa, umumnya perputakaan SD hanya ala kadarnya, jadi buku2 pemerintah seperti itu jadi koleksi pribadi kami sekeluarga.

banyak banget.. mulai buku pelajaran sampe buku2 bacaan yang mirip2 novel gitu. tapi buku jaman sekarang lebih bagus, full colour dan daftar pustakanya banyak yang dari internet.

jaman memang cepat berubah..............

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

anakpatirsa's picture

Karena Tinggal di Desa

        Karena di desa, perpustakaan SD hanya ala kadarnya.

Benar, itulah masalahnya.

Bukan karena murid-murid tidak suka membaca, tetapi buku-buku itu tidak pernah sampai di tangan mereka.

Hanya karena mereka tinggal di desa, apalagi di pedalaman sana.
sihotang's picture

Anak saya nanya waktu saya

Anak saya nanya waktu saya sekolah ada budi dan wati kah atau ada amir dan tuti . Saya bertanya tahu darimana anak saya itu. Ia menjawab dari sabdaspace. anak saya itu bilang seperti itu. Ia menunjukkan kepada saya komputernya dia

Saya ingat ketika saya masih bersekolah dasar, saya ingat tentang togap yang saya kira orang batak.

saya ada pantun yang saya suka waktu sd

Terbit liurku melihat kolak
Dijual orang di tepi jalan
Untung teringat nasihat emak
Disitu aku dilarang makan....Terus kupergi menoleh tidak
Ubi kubeli serta cempedak
Kubawa pulang untuk emakku...Kolak sekarang dimasak emak
Kami menanti tidaklah lama
Hidangan murah makan bersama...

anakpatirsa's picture

Terima kasih pantunnya

Terima kasih atas pantunnya.

Selamat bergabung di SABDA Space, sepertinya disini berkumpul bukan saja orang-orang dari berbagai pulau, tetapi juga orang-orang dari berbagai 'generasi'.

 

isaacadam's picture

Hahaha.... saya teringat filem2 tamil yang saya tonton masa keci

Ibu Ira berhenti, menyebut namaku, lalu berkata, "Kepala kamu tidak usah ikut digoyang-goyang seperti itu. Kamu ini, dulu belajar membaca sambil memasukkan tangan ke mulut. Sekarang kamu punya kebiasaan baru lagi, menggerakan-gerakkan kepala kalau lagi membaca."

 

Salam.....

Hahaha.... saya teringat filem2 tamil yang saya tonton masa kecil2 dulu. Kalau AP pernah menonton filem2 tamil dulu2... anda akan perasaan kalau mereka bercakap mesti goyang2 kepala. Hahaha....

cerita anda menceriakan

__________________