Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

KETIKA TAK MEMILIH

ely's picture
Matahari siang yang membakar tubuh kini hampir tenggelam berganti dengan tiupan angin menyabut datangnya sore, tanpa terasa waktu untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini sudah berakhir, ada perasaan lega karena sudah bisa melewati pekerjaan hari ini. Saatnya kembali ke pondok mengemas barang-barang pribadi agar tidak tertinggal di pondok karena esok hari kami tidak kembali pondok yang ini lagi. Setelah selesai berkemas-kemas satu persatu langkah kami bergegas menyusuri jalan setapak yang membelah hutan lebat, jalan yang merupakan sarana penghubung ladang petani dan sungai dimana perahu-perahu ditambat.
Suasana sekitar sungai yang tadinya hening dalam waktu sekejap berganti suara riuh gesekan dedaunan kering yang terinjak oleh kaki kami yang berjalan cepat seperti sedang mengejar sesuatu, kebiasaan bila berjalan di hutan ditambah suara masing-masing mulut membicarakan rencana esok hari dan teriakan-teriakan khas yang biasa dilakukan sekedar menyapa atau mengingatkan untuk segera pulang teman-teman yang berada pada tempat yang berada agak jauh dari kami.

Demikian aktivitas rutin petani kampung menjelang sore setelah menyelesaikan pekerjaan seharian. Suasana yang sama pun akan berlaku pada pagi hari saat akan kembali ke ladang. Terkecuali pada hari Minggu, karena pada hari itu penduduk yang mayoritas memeluk agama kristen menghentikan pekerjaannya untuk beristirahat dan meluangkan waktu ke gereja.

Gereja di kampung tidak hanya digunakan sebagai tempat beribadah, tapi juga sebagai tempat menyampaikan pengumuman, yang biasa dilakukan setelah ibadah selesai, dari pengumuman kerja bakti, rapat RT, posyandu sampai dengan pernikahan, meski terkadang ada beberapa orang yang tidak tahan menunggu terlalu lama akhirnya pulang dan menuggu kabar dari mereka yang tetap bertahan.

Jarangnya kesempatan berkumpulnya penduduk dalam jumlah banyak, membuat pengurus kampung memanfaatkan waktu pertemuan ibadah di gereja untuk menyampaikan pengumuman, maklum penduduk kampung yang seluruhnya terdiri dari enam RT ini mendirikakan rumah berderet memanjang mengikuti arah aliran sungai membuat bentuk kampung menjadi panjang, tujuannya agar setiap rumah memiliki jarak yang tidak terlalu jauh dari sungai, yang adalah kebutuhan pokok penduduk sehari-hari. Namun bentuk ini pula menjadikan jarak rumah dari ujung keujung menjadi sangat jauh sehingga jarang sekali ada pertemuan besar karena sulit untuk mengumpulkan orang-orang dikampung yang sahari-harinya selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan apabila ada pengumuman dadakan maka salah seorang warga kampung memiliki suara yang keras akan ditugaskan berteriak menyampaikan pengumuman dari ujung ke ujung kampung sambil berjalan kaki. Sampai sekarang tradisi ini belum hilang, karena bentuk kampung yang memanjang belum juga berubah.


* * *




Dengan menggunakan transportasi perahu dengan mesin ketinting diburitannya, sebagian penduduk yang memiliki ketinting sudah sangat bersyukur, mesin kecil dengan kipas dibagian belakang mesin berfungsi untuk memacu perahu, ini sangat membantu petani menjangkau ladang-ladang yang jauh, disamping itu petani juga tidak lagi mengeluarkan tenaga untuk mendayung perahu, hanya perlu mengisi mesin dengan dua liter bensin maka mesin dapat membawa kami pulang pergi ke ladang yang berjarak kira-kira lima sampai sepuluh Kilo Meter.

Namun tidak semua penduduk memiliki mesin ketinting, harga yang terlalu tinggi untuk kantong-kantong petani kecil yang hanya dapat mengahasilkan uang dari menjual sedikit dari hasil kebun hanya cukup membeli kebutuhan rumah tangga seperlunya, apalagi bila harus memikirkan bahan bakar yang diperlukan setiap hari untuk menjalankan ketinting.

Kehidupan yang terlalu simpel dan serba praktis membuat petani enggan mengumpulkan uang dalam jumlah banyak untuk memperoleh mesin mahal ini.

Berbeda dengan beberapa tahun belakangan, petani dikampung sudah mulai mengerti mengenai tanaman-tanaman yang mudah dirawat dan menghasilkan uang yang lumayan banyak, sehingga kini dapat dipastikan setiap keluarga sudah mampu memiliki mesin ketinting dengan hanya beberapa kali panen hasil kebun.


* * *




Sudah empat hari aku berada dikampung, setelah hampir enam bulan aku meninggalkan kampung untuk tinggal disebuah kota kecil di Berau, untuk melanjutkan sekolah menengah umum, kota kecil yang berjarak agak jauh dari kampung ini membuat aku harus menahan diri untuk tidak selalu pulang setiap ada hari libur apalagi liburan pendek, ongkos cukup lumayan mahal untuk membayar mobil kampung membuat aku harus berpikir tujuh kali untuk dapat pulang setiap ada hari libur.

Tapi hari ini aku tidak memikirkan kesulitan itu lagi, karena saat ini aku sudah berada dikampung, berkumpul dengan keluarga, bermain dengan adik-adik, berenang disungai sepuasnya, makan makanan kesukaanku dan pergi ke ladang bersama teman-teman, hal yang selalu aku nantikan.
Seperti saat ini, tidak berbeda dari sebelumnya, menyusuri sepanjang sungai dengan perahu kecil bermuatan delapan orang, terasa menyenangkan, rasa letih bekerja seharian menguras tenaga seperti lenyap entah kemana.

Suara berisik dari ketinting diburitan perahu pun tidak mengurangi kenikmatan berada didalam perahu, getaran-getaran perahu akibat mesin seperti turut tertawa mendengar cerita-cerita pengocok perut yang sedang beredar di perahu, cerita yang tak pernah bosan didengar meski diulang terus menerus oleh orang yang sama, seperti salah satu cerita tentang seorang ibu yang kurang mengerti bahasa Indonesia, berobat kedokter kampung, setelah mengetahui penyakit si ibu, dokter kemudian memberitahu beberapa makanan yang harus dipantangi supaya si ibu lekas sembuh, dengan masih penasaran dan takut salah makan si ibu bertanya kepada dokter dengan bahasa Indonesianya yang pas-pasan “dokter, apa saya boleh makan paku rebus?“ dengan dahi berkerut sang dokter langsung melarangnya “tidak boleh makan paku bu, karena keras”, kata dokter yang mengira ibu ini benar-benar ingin memakan paku, akibat larangan tersebut si ibu sampai sekarang tidak makan sayur pakis, karena paku dalam bahasa orang kampung berarti pakis, entah cerita ini hanya di karang atau memang cerita nyata aku tidak pernah tahu, tapi yang jelas cerita ini sudah lumayan lama dan sering menjadi bahan lucu untuk diceritakan oleh orang yang pandai menceritakannya.

Melewati arus sungai, melawan arah udara membuat keringat kering berganti dengan kesejukan angin. Pilihan yang tidak akan aku sesali meski harus letih turut melakukan pekerjaan di ladang bersama kelompok gotong royong yang biasa di sebut senguyun oleh orang di kampung.


***




Senguyun adalah pekerjaan berladang tradisi masyarakat dayak, bekerja bersama-sama secara bergilir dari ladang satu berpindah keladang salah satu anggota kelompok lain pada hari berikutnya, begitu seterusnya sampai selesai dimana setiap kelompok telah bekerja pada masing-masing ladang anggota kelompoknya. Masyarakat sangat menyukai cara ini karena pekerjaan berat sekalipun dapat diselesaikan bersama-sama disamping itu mereka juga bisa bekerja sambil mengobrol. Senguyun sebenarnya bagian dari sisa kebudayaan masyarakat dayak. Dahulu masyarakat selalu berkumpul bersama-sama pada suatu tempat untuk melakukan pekerjaan secara bersama-sama, hal ini dilakukan karena masyarakat takut berada sendirian di tengah hutan. Ketakutan yang timbul karena takut pada serangan dari suku lain yang bisa saja datang tiba-tiba untuk memotong kepala. Masing-masing suku saling menyerang dan mempertahankan daerahnya. Budaya dulu yang mengharuskan setiap laki-laki yang ingin dikatakan dewasa harus membawa sebuah kepala pulang kekampungnya, dan bila sudah berhasil maka pemuda tersebut dapat menikahi salah satu perempuan yang disukainya, dari budaya inilah menurun cara kerja berkelompok ini.

Berbeda dengan laki-laki, jaman dulu perempuan yang bisa dikatakan dewasa adalah perempuan yang berani menato tubuhnya dengan ukiran-ukiran yang biasanya memiliki makna khusus dari kepribadian perempuan itu, tato yang memenuhi seluruh kulit bagian tangan dan kakinya, demikian dengan telinga yang panjang dengan anting-anting tembaga bulat yang bergantungan disana, tembaga bulat yang setiap tahun jumlahnya akan ditambahkan itu membuat telinga perempuan kecil yang tidak panjang menjadi panjang pada saat usianya sudah bisa dikatakan dewasa.



***




Setelah perahu berjalan cukup lama, keheningan muncul, gelak tawa terhenti menyisakan suara ketinting yang terus menerus berteriak. Masing-masing penumpang didalam perahu sibuk dengan fikiran dan kegiatan kecilnya, untuk mengisi waktu kadang-kadang mereka menganyam atau meraut rotan.

Aku memilih untuk memandangi pohon-pohon besar disepanjang tepi sungai yang kami lewati, sesekali terlihat binatang hutan yang masih berkeliaran, monyet-monyet berkelompok diatas pohon, mahluk yang selalu ingin tahu ini, memandang dengan penasaran kearah perahu tanpa takut pada kami yang berada tepat dibawah pohon yang mereka panjat, kadang tak jarang bila air meluap setelah hujan deras akan ditemukan ular piton besar yang berenang menyeberangi sungai dengan tenang, mahluk panjang berkulit batik inipun seperti tak pernah menghiraukan perahu yang lewat didekatnya, berenang begitu dengan tenang tanpa peduli dengan keberadaan manusia.

Dari kejauhan terlihat sebuah perahu yang ditumpangi dua orang yang sedang mengayuh dayung, dimana tampak seorang lelaki berada dibelakang perahu sebagai pengemudi dan seorang perempuan duduk julungannya, kebiasaan yang dilakukan seperti saat mengendarai motor dimana lelaki yang biasa menjoki dan perempuan di bonceng, demikian dengan berperahu di kampung, orang kampung akan memandang aneh apabila melihat seorang laki-laki duduk di julungan perahu sementara wanita di belakang perahu.

Di tengah-tengah perahu terlihat beberapa ekor anjing yang sedang berdiri dengan tatapan lurus kedepan sepertinya sudah tidak sabar menunggu perahu menepi. Tanpa harus bertanya aku telah mengetauhi siapa kedua orang itu, mereka orang-orang yang selalu menarik perhatianku setiap akan pulang atau pergi ke ladang. Sepasang suami istri tua yang hanya hidup ditemani beberapa ekor anjing, karena tidak dikaruniai anak.

Tanpa menunggu lama perahu kami pun melewati perahu kedua kakek nenek itu, senyum yang terpancar dari kedua wajah yang sudah keriput menyapa kami seperti biasanya, kami pun balas melemparkan senyum kearah mereka, sekilas saja perahu yang kami tumpangi sudah melewati perahu kedua kakek nenek itu, menyisakan gelombang yang mengayun lembut perahu mereka, sementara perahu kami terus terpacu menggejar ujung kampung yang sudah nampak dari kejauhan.

Selang beberapa saat kemudian su
ara mesin ketinting melemah dan berhenti bersamaan dengan bersandarnya perahu pada sebuah rakit yang terdiri dari dua batang pohon besar sebagai tempat berlabuh perahu-perahu kecil. Tanpa aba-aba, para penumpang serentak keluar dari perahu, mengambil ki’ba masing-masing dan bergegas kembali kerumah masing-masing. (Ki'ba merupakan sebuah tempat terbuat dari rotan yang dianyam sedemikian rupa sehingga dapat digendong seperti tas ransel, biasa digunakan sebagai tempat menaruh hasil-hasil kebun atau kayu bakar yang didapat dihutan).


* * *




Hari masih sore, tubuhku kini terasa segar setelah selesai mandi di sungai, masih mengenakan sarung aku menyusuri jalan setapak yang merupakan jalan penghubung dari sungai kerumah, selesai berpakaian, aku berniat menghabiskan sore dengan berjalan-jalan menyusuri jalan kampung.

Menuruni anak tangga rumah, langkah-langkah ringan membawa ku menyusuri jalan semen yang dibuat beberapa tahun lalu, pemberian dari salah satu partai yang sedang berkampanye saat itu.

Suara girang anak-anak sedang bermain gasing dihalaman membuat suasana sore menjadi ramai, keceriaan mereka menghiasi setiap sudut jalan, hal seperti ini membuat aku selalu merasakan ketenangan, menandakan keadaan kampung yang tetap stabil. Langkahku terus berayun melewati rumah-rumah yang berjejer sedemikian rupa mengikuti arah jalan, kembali aku teringat kedua orang kakek dan nenek yang aku temui disungai sewaktu pulang dari ladang menjelang sore tadi. saat ini aku berdiri tepat di depan rumah mereka. Selalu penasaran dengan kehidupan mereka aku bermaksud ingin melihat kegiatan mereka dari kejauhan, menghentikan langkah untuk menaiki tangga sebuah rumah tak berpenghuni yang berada tepat didepan rumah mereka, tepat sekali pikirku, diteras rumah ada sebuah bangku panjang, posisi yang tepat untuk memperhatikan kegiatan mereka dari sini, aku kemudian duduk dibangku dengan tubuh menghadap rumah mereka, menaikkan kedua kaki dan bersandar di dinding rumah, keberadaanku tidak akan terlalu nampak karena ada sebuh pohon jeruk bali bercabang dua disamping bangku depan rumah yang menutupi sebagian tubuhku, sehingga aku dapat dengan leluasa mengarahkan pandanganku kearah rumah mereka tanpa harus merasa takut ada yang heran melihatku.

Aku mulai mengamati sekitar rumah untuk kemudian tertumpu pada sudut belakang rumah, tepatnya di serambi dapur, nampak nenek yang tadi sore menyapaku sedang memberi makan anjing-anjingnya, terlihat sambil mengumpati anjing-anjing yang memang tidak pernah diam pada saat makan.

“He’ Buang ….!!!“ , umpatan keras keluar dari mulut sang nenek, diiringi dengan pekikan seekor anjing karena mendapat pukulan rotan dari si nenek yang kesal pada seekor anjingnya bernama buang. Sesuatu yang pantas di dapat oleh si buang karena baru saja mencoba merebut makanan anjing lainnya. Buang berarti beruang, namai diberikan sesuai dengan warna bulunya yang hitam seperti bulu beruang. Di kampung orang-orang biasa memberi nama anjing sesuai dengan karakter yang terlihat dari seekor anjing, seperti nama Rambo bila anjing tersbut terlihat kekar dan berotot.

Beberapa saat kemudian nampak juga kakek yang tadi sore bersama si nenek, datang dari arah belakang rumah yang saat itu nampak terlihat gelap karena kurang cahaya akibat pohon-pohon buah yang rimbun, sudah bisa ditebak pasti kakek itu baru selesai memberi makan ternak babinya yang ada dibelakang rumah. Nampak dari ember tempat pakan ternak yang ada ditangannya dan suara-suara babi yang masih berteriak. Akhirnya kakek terlihat menyapa nenek yang masih mengawasi ketujuh ekor anjingnya yang sedang makan, sekarang nenek tidak lagi sendiri karena telah ditemani si kakek yang juga telah turut mengawasi anjing-anjing yang sedang makan, mereka terlihat bercakap-cakap entah apa yang terucap tapi sepertinya sedang mempercakapkan setiap anjing-anjing kerena mereka terlihat sambil membelai dan memperhatikan anjing-anjing itu, seperti membelai seorang anak. Selesai makan anjing-anjing tidak juga beranjak dari teras dapur, mereka sepertinya akan tidur disana karena terlihat mencari posisi masing-masing untuk membaringkan tubuh, tetap mengobrol kedua kakek nenek itu membiarkan anjing-anjing itu membaringkan tubuh karena kekenyangan, beberapa ekor terlihat tetap berdiri bersama mereka sambil menikmati belaian kedua kakek nenek itu.

Tanpa terasa hari sudah hampir malam, aku harus rela melepaskan pemandangan ini karena aku harus pulang, takut nanti kalau mama sampai mencariku. Menuruni tangga aku kembali menyusuri jalan bersemen untuk kembali ke rumah, bayangan kedua kakek nenek masih jelas dikepalaku, rasa penasaran kenapa mereka tidak mengabdosi anak yang merupakan kebiasaan orang kampung seperti terjawab sudah aku menyimpulkan mungkin anjing-anjing itulah yang membuat kedua kakek nenek tetap terhibur meski tanpa kehadiran seorang anak. Mereka tetap terlihat menikmati hari-hari dengan semangat baru tanpa kuatir dengan kehidupan mendatang padahal tidak ada keturunan yang akan menjamin untuk merawat mereka pada saat mereka sudah lemah dan tidak mampu bekerja lagi.

Pelajaran yang sangat mengesankan disuatu sore. Aku melihat bahwa kehidupan tetap dapat disyukuri dan dinikmati dengan apa yang di miliki dan tidak di miliki.


* * *



__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...

joli's picture

@3M1.. bagaimana melindungi kepala?

Elly told:

Senguyun sebenarnya bagian dari sisa kebudayaan masyarakat dayak. Dahulu masyarakat selalu berkumpul bersama-sama pada suatu tempat untuk melakukan pekerjaan secara bersama-sama, hal ini dilakukan karena masyarakat takut berada sendirian di tengah hutan. Ketakutan yang timbul karena takut pada serangan dari suku lain yang bisa saja datang tiba-tiba untuk memotong kepala. Masing-masing suku saling menyerang dan mempertahankan daerahnya. Budaya dulu yang mengharuskan setiap laki-laki yang ingin dikatakan dewasa harus membawa sebuah kepala pulang kekampungnya, dan bila sudah berhasil maka pemuda tersebut dapat menikahi salah satu gadis yang disukainya, dari budaya inilah menurun cara kerja berkelompok ini. Orang yang mencintai dengan sepenuh hatinya merasa bebas

Elly.. beneran nih cerita potong kepala? waduh jadi ngeri Ell.. Minggu depan rencana mau ikut beberapa teman ke Pampang Samarinda, katanya kampung Dayak.. rencana teman-teman mau mengadakan pelatihan untuk  kaum ibu/wanita di sana agar ber-kreasi.. membuat kerajinan dari limbah kayu..

Bagaiman nih El.. cara melindungi kepala? pakai helm?

 

ely's picture

@Tenang aja,

Halo cik Joli, Tenang aja cik, Sekarang udah gak ada potong-potongan kepala manusia, karena sudah lama hilang, Budaya ini biasa di sebut ngayau, kalo cik Joli penasaran pengen tau lebih banyak, orang-orang tua pasti masih bisa menceritakan secara detail kejadiannya, kan kebetulan cik Joli mau ke pampang. Pampang dari Samarinda waktu tempuh sekitar setengah jam, di sana ada lamin yang hari Minggu siang selalu ramai karena ada anak-anak yang belajar menari tarian daerah. Mungkin cik Joli juga masih bisa ketemu dengan nenek-nenek bertato dan bertelinga panjang, karena terakhir waktu kesana aku masih ketemu dengan mereka. Semoga cik Joli senang berada di Kalimantan ... Oia, kalo sempat, bisa kopdar nih ?
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...

ely's picture

Terimakasih,

Terimakasih untuk salah seorang teman di Sabdaspace Yang sudah memberi dorongan untuk saya memosting cerita ini. Awalnya saya tidak berani memostingnya karena merasa masih banyak kekurangannya, apalagi setiap membaca ulang, pasti ada beberapa kalimat yang ingin saya edit. Jadi saya mohon maaf apabila ditemukan beberapa kalimat yang kurang bisa di mengerti, Soalnya baru belajar menulis. Akhir kata saya ingin berterimakasih juga kepada Sabdaspace, Karena lewat komunitas blog ini saya telah bertemu banyak teman dan dapat belajar banyak hal ... GBU
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...

nobietea's picture

hiks. . .

mamie, nobie ndak bisa baca dengan jelas euy . . . mata nobie makin siweur

__________________

maaf.. bie kurang pintar

Rya A. Dede's picture

pelajaran yang indah

pelajaran yang mengesankan.

ketika tidak bisa menikmati tulisan ini karena font terlalu kecil, cobalah meng-copy-nya ke dalam Word, lalu perbesar tampilannya, dan temukan pelajaran yang indah di dalamnya.

noni's picture

Dear maminya

Dear maminya Nobie...

Ceritanya bagus euy...

Berbicara tentang Kalimantan, selalu mengingatkan saya pada Bapak. Dulu almarhum Bapak  pernah kerja di Kalimantan selama 2 tahun lebih, di daerah Pasir. Bapak bilang, orang Kalimantan baik-baik, nggak seseram yang orang suka ceritakan. Sebetulnya selepas lulus kuliah, saya berencana bekerja di Kalimantan, kebetulan saudara ada yang sudah bekerja bahkan menetap disana. Tapi rencana tersebut gagal karena saya malah diterima bekerja di kota kelahiran.

Dari ceritanya Ely, saya jadi teringat pesan almarhum Bapak. Beliau bilang begini : "Belajarlah untuk bisa berdamai dengan kenyataan, seperti apapun bentuk dan rasanya, menyenangkan maupun menyakitkan."  Ketika Bapak cuma mampu membeli motor butut Suzuki 100, Bapak bilang supaya saya berdamai dengan kenyataan itu. Caranya : belajar mengendarainya meski motor tersebut tergolong "motor cowok". (Disebut motor cowok karena pakai kopling dan tanki bensin di depan, dan biasanya motor macam itu dikendarai oleh laki-laki). Selepas Suzuki 100, Bapak membeli sebuah motor lagi, kali ini hanya mampu Vespa tahun keluaran tahun 70. Kembali saya belajar "berdamai" dengan kenyataan, meski kadang "ngiler" juga lihat teman-teman menaiki motor-motor trendi keluaran terbaru. Tapi pada akhirnya saya malah jatuh cinta beneran sama si Vespa. Dan gara-gara Vespa itu, saya jadi mudah dikenali dan punya banyak teman.

Sekarang, ketika sudah bekerja, saya bersyukur bisa memiliki motor yang "layak pakai" dari hasil keringat sendiri. Adakalanya manusia merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki dan ingin mendapatkan lebih. Ketika rasa tidak puas dan ingin lebih itu menghinggapi saya, ada saja cara Tuhan untuk mengingatkan melalui berbagai peristiwa. Dan saya jadi belajar terus dan lagi, untuk selalu mensyukuri pemberianNYA.

 

Jesus loves Us

__________________

ely's picture

@Noni, Memori

Makasih mb Noni, Salut untuk bapak mb Noni, Kenangan tentang seorang bapak memang tidak pernah akan hilang, karena merekalah salah satu orang yang paling berperan dalam terbentuknya karakter kita, Ngomong2 soal Vespa, Aku paling suka kalo dibonceng naik Vespa, jadi ingat "...", hehehehe ... Naik Vespa seperti naik becak ... Apalagi kalo jalannya santai ...
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...