Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kejutan Hari Kedua

Purnawan Kristanto's picture

Kejutan terjadi pada hari kedua Kirana masuk sekolah. Pada hari pertama, kami merasa kecewa karena Kirana  [3 tahun, 2 bulan] menempel terus pada mamanya. Padahal jauh-jauh hari kami sudah mengkondisikan supaya dia tidak terlalu asing dengan lingkungan barunya. Harapannya, dia cepat beradaptasi dan menikmati suasana bermain dalam Playgroup tersebut.

Sejak kecil kami sudah membiasakan anak kami itu terhadap pekerjaan dan pelayanan mama dan papa. Sebagai anak pendeta, dia harus mengalami siklus kerja yang abnormal. Pada waktu tertentu, mamanya bisa ada di rumah sepanjang hari. Pada hari yang lain, dia bisa ditinggal sehari penuh. Ada saatnya mamanya harus mengunjungi orang sakit pada pagi hari. Pada saat yang lain, dia harus melek sampai pukul sepuluh malam karena menunggu mamanya pulang dari rapat di gereja.
Supaya bisa memahami pelayanan yang digeluti oleh orangtuanya, maka kami kadang membawa Kirana ke acara-acara tertentu. Ketika mamanya memimpin ibadah pada hari Minggu, maka saya menemani Kirana selama kebaktian berlangsung. Jika saya mendapat tugas memimpin Persekutuan Wilayah, maka ikut mendengarkan sambil ditemani oleh mamanya. Begitulah, dia mulai bisa mengerti apa yang kami lakukan. Maka ketika kami berdua atau salah satu dari kami berpamitan untuk melakukan pelayanan, maka dia tidak kelayu [kepingin ikut]. Biasanya dia hanya minta dipeluk, kemudian berpesan, "Hati-hati ya pa" atau "Hati-hati ya ma."
Kirana juga mulai terbiasa dengan pekerjaan papanya sebagai penulis. Ketika ditinggal pergi oleh mamanya, maka saya yang menemani Kirana. Biasanya, saya duduk di meja kerja sambil bekerja di depan laptop. Sementara itu Kirana bermain masak-masakan di samping kursi sambil menggelar karpet. Sesekali dia berpura-pura menyiapkan minuman atau menghidangkan makan pada papanya. Meski begitu, dia sudah mulai tahu, bahwa kalau papanya berada di depan laptop itu artinya sedang bekerja. Kalau saya berkata, "Papa bekerja dulu, ya", maka dia sudah tahu bahwa itu artinya jangan diganggu dulu. Jika dia sudah bosan bermain sendiri, maka dia lalu mengajak bu Marni, Asisten Rumah Tangga kami, untuk bermain keluar. Biasanya dia nongkrong di tempat penjualan ikan di gang masuk rumah. Atau kalau tidak, bermain dengan teman sebayanya yang ada di dekat rumah bu Marni.
Untuk acara Sekolah Minggu, Kirana juga sudah terbiasa mengikutinya tanpa didampingi orangtuanya. Dia masuk kelas Balita yang diselenggarakan di rumah pastori, yaitu rumah Kirana sendiri. Seusai mandi dan berdandan, maka dia langsung duduk manis di samping kak Ester, Guru Sekolah Minggunya. Biasanya dia duduk berdampingan dengan Dini dan Beni, teman bermainnya sehari-hari. Namun sekarang Dini dan Beni telah pindah ke Tangerang untuk ikut bapaknya yang bekerja di sana. Saya sempat khawatir Kirana mogok Sekolah Minggu. Pasalnya, ketika mengantar Dini dan Beni ke terminal bis, dia terlihat termangu-mangu. Istilah jawa-nya adalah "semedhot" [perasaan belum rela ditinggal pergi]. Ternyata kekhawatiran tak terbukti. Hari Minggu kemarin, dia sudah bermain dengan Lidia dan Evelin, teman Sekolah Minggunya.
***
Begitulah, kami mengajarkan kemandirian kepada Kirana. Maka ketika hari pertama dia harus ditemani mamanya, maka kami bertanya-tanya bagaimana dengan hari kedua. Apakah dia masih harus ditemani?
Malam hari sebelum hari kedua bersekolah, kami mendapat kabar bahwa isteri saya harus memimpin upacara pemakaman esok hari. Itu artinya dia tidak bisa menemani Kirana bersekolah. Ini yang menjadi persoalan, apakah Kirana mau bersekolah sendiri? Atau setidak-tidaknya ditemani oleh papanya. Maka kami pun mengajak Kirana berdiskusi:
"Na, besok mama harus bekerja," kata mamanya, "Jadi mama tidak bisa mengantar Kirana bersekolah. Besok, Kirana diantar sama papa saja, ya?"
Kirana terdiam sesaat memandang wajah mama dan papanya.
"Tidak mau, Kirana tidak mau ditemani papa," jawab Kirana tegas.
"Tapi mama besok ada pelayanan. Mama tidak bisa menemani Kirana," kata mamanya dengan nada tinggi. Saya mengiyakan untuk memperkuat argumentasi mamanya.
"Aku mau sekolah sendiri, kok" jawab Kirana, "Besok Papa nganter Kirana. Setelah itu, papa kerja saja."
Kami tidak percaya pada pendengaran telinga kami.
"Jadi benar nih, Kirana tidak ditemani bersekolah?" tanya saya setengah tak percaya, bercampur girang. Mukjizat kah ini? Batin saya.
"Beneran. Aku sekolah sendiri, besok, "jawab Kirana tegas.
"Kirana berani bersekolah sendiri?" sahut mamanya.
"Mama gimana sih? Kirana berani bersekolah sendiri," jawab Kirana dengan nada jengkel karena papa dan mamanya belum percaya juga.
"Kalau begitu, segera tidur supaya besok tidak bangun kesiangan," usul saya.
Anehnya, dia menurut, tanpa banyak protes. Ini di luar kebiasaannya. Pukul sembilan dia sudah terlelap, padahal biasanya paling cepat baru tidur setelah pukul sebelas malam.
***
Keesokan harinya, saya mengantar Kirana menggunakan sepeda motor. Sebelum masuk kelas, kami bertemu dengan guru-guru TK dan SD. Mereka menyalami Kirana. Kirana pun menyambutnya dengan jabatan tangan. Padahal, dua hari sebelumnya, jangankan berjabat tangan, menunjukkan wajah pada orang lain pun dia tidak mau. Dia lebih suka membenamkan wajahnya pada tubuh mamanya.
Begitu sampai di kelas, hampir semua temannya sudah duduk di kursi. Kirana kebagian kursi di paling belakang. Saya berdiri di belakangnya. Mula-mula, dia masih terlihat canggung dan pasif. Namun lama-kelamaan, dia mulai larut dalam suasana kelas. Melihat itu, saya memutuskan untuk meninggalkan Kirana.
"Papa menunggu di luar ya?" kata saya kepada Kirana.
Kirana mengangguk. "Papa kerja saja," sahutnya.
Mendengar jawaban itu, saya merasa mantap untuk meninggalkan dia.
Saya segera keluar ruangan, duduk di bawah mangga, lalu mengeluarkan laptop. Beberapa ide yang terlintas saat itu, saya ketikkan pada papan kunci laptop. Dua jam berlalu tanpa saya sadari ketika Kirana dan teman-temannya keluar ruangan kelas. Kelas sudah usai dan Kirana berhasil melewati hari kedua bersekolah tanpa ditemani papa dan mamanya. Terimakasih, Nak. Papa dan Mama bangga kepadamu.

 

Photobucket

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Anak El-Shadday's picture

hohoho...

saya ikut merasakan hati pak wawan neh ,,,, (*sok ndukun)

dulu jaman sekolah Tk saya ga diantar oleh bapak ato ibu, cuman pengasuh saya saja yang nganterin karena kedua orang tua saya kerja pagi hari dan nampaknya dulu itu ga bisa ditinggal. jadinya yang ngenterin saya cmn Dhe Wiji (*panggilan pengasuh saya).

masih inget juga dulu pernah buang air besar dicelana waktu TK hahahahaha..

sungguh masa2 yang berat karena ga berani ngomong ama bu gurunya.

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

Purnawan Kristanto's picture

Tidak heboh

 Ha..ha..ha... kalau mengingat masa kecil, kayaknya dulu waktu aku sekolah pertama kali tidak heboh-heboh amat. Aku tidak sekolah di TK karena di gunung belum ada TK waktu itu. Aku langsung masuk SD dan sejak hari pertama berangkat sendiri, tanpa pernah diantar orangtua. Demikian seterusnya, ketika meneruskan sekolah SMP, SMA dan kuliah selalu mengurus sendiri. Tanpa campurtangan orangtua

 


 www.purnawan.web.id

__________________

------------

Communicating good news in good ways