Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

KALAU AKU MEMBUSUK

anakpatirsa's picture

Kami sama-sama duduk membisu di bawah sebatang durian. Ia duduk sambil mengasah rantai gergaji mesinnya; aku menemaninya dengan menyandarkan punggung pada sebatang langsat. Nyamuk-nyamuk beterbangan di sekeliling kami, bukan hanya membuatku harus menepuk pergelangan tangan dan pipi tetapi juga membuatku menahan kejengkelan karena dengingan mereka di sekitar telinga. Pria di depanku sama sekali tidak terpengaruh, padahal kulit kasarnya sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda olesan lotion anti nyamuk. Kerasnya hutan pasti telah menebalkan kulitnya dan kehidupan rimba membiasakan telinganya dengan dengingan nyamuk.

Ia membuatku ingat pada sapi yang sedang merumput di pinggir sungai. Binatang ini menggunakan ekornya untuk mengusir lalat dari pantat dan tanduknya untuk mengusir lalat dari dekat punggung, tetapi pria di depanku ini sama sekali tidak berbuat apa-apa. Persis sapi yang tidak berbuat apa-apa pada lalat yang menempel di kepala atau di lehernya.

Aku tidak tahan lagi, gatal-gatal masih bisa kuterima, tetapi dengingan dekat telinga sudah begitu keterlaluan. Akupun bangkit mengumpulkan ranting-ranting kering dari sekitar kami, lalu berjongkok kembali dekat pohon langsat. Dedaunan yang sudah setengah membusuk aku singkirkan dari tanah di depanku, beberapa lembar daun kering aku bakar dengan korek api yang barusan kupinjam dari pria yang masih saja asyik dengan alat kikirnya. Ranting-ranting sebesar telunjuk kususun di atas dedaunan yang mulai terbakar, lalu setelah api mulai membesar, aku meletakkan ranting yang lebih besar lagi di atasnya. Beberapa menit kemudian, terdengar letupan-letupan kecil, pertanda saat menumpuk dedaunan setengah kompos di atasnya sudah tiba. Akupun akhirnya mencium bau yang menjadi bagian masa kecil, tidak seperti bau asap musim durian, namun nyamuk tetap saja tidak menyukainya.

"Banyak orang yang setelah tinggal lama di kota, lupa caranya membuat api seperti itu," kata pria di depanku.

Aku yang sudah bisa duduk tenang tanpa harus menepuk sana-sini benar-benar kaget karena perkataannya. Bukan karena arti kalimat yang ia ucapkan, tetapi karena inilah pertama kalinya ia membuka mulut bukan untuk menjawab sebuah pertanyaan. Sudah lama kami duduk saling berhadapan seperti ini, namun percakapan kami hanya seperti sebuah tanya jawab. Ia hanya menjawab apa yang aku tanyakan, jawaban seorang penebang kepada orang yang mengupahnya menebang sebatang durian, hanya itu.

Ia mengatakan sesuatu yang membuatku teringat banyak cerita. Kami membenci anak kampung yang pergi ke kota, lalu pulang bertingkah seperti orang kota dengan menambahkan kata sih, deh dan nih ke dalam bahasa ibu saat mandi di sungai. Kami akan mengucil dan mengejeknya, tetapi ia tidak peduli, merasa bangga sudah menjadi anak kota. Anak kampung seperti kami bukan lagi teman setara. Aku sudah tahu aturan main ini, rasanya tidak ada yang membuatku tampak sok orang kota. Bahasa yang kupakai adalah bahasa saat masih bermain gasing; sandal jepit yang sudah menipis ini sudah kuinjak selama setengah tahun; kaos yang melekat di tubuh, kemarin kupakai saat memanjat manggis.

Sejak awal, orang ini sudah membuatku bertanya-tanya apa alasannya menutup diri, padahal tidak ada yang salah dengan penampilan maupun bahasaku. Sekarang aku tahu, ia menutup diri karena tidak melihat sebuah bukti. Sekarang aku telah membuktikan diri sebagai bagian dari mereka dengan memperlihatkan kalau aku masih tahu caranya membuat api, itu sudah cukup baginya.

Siapapun yang tidak pernah membuat api di alam terbuka, pasti sulit mempercayai kemampuan membuat api bisa memecahkan sebuah kebekuan. Menyalakan api di atas tanah tidak seperti menyalakan kompor gas di dapur. Ini juga tidak hanya sekedar asal menumpuk ranting kering, ada caranya menyusun ranting sehingga tidak perlu meniup tumpukan kayu berasap; aku menunjukkannya dengan ranting-ranting kecil yang tersusun saling melintang di atas dedaunan kering. Ada caranya menyalakan api tanpa membakar hutan; aku menunjukkannya dengan terlebih dahulu membersihkan sekitar tempat perapian. Anggota pramuka pasti bisa melakukannya, tetapi kami lahir, bermain dan besar di alam terbuka. Kami mempelajarinya bukan karena masuk pramuka, tetapi karena sebuah kebutuhan. Duduk di bawah pepohonan tanpa kemampuan menyalakan api hanya dengan sebatang korek api dan beberapa lembar daun kering berarti siap mengalami kerusakan otak akibat malaria.

"Banyak nyamuk," hanya itu tanggapanku atas pujiannya.

Ia berumur sekitar tiga puluh lima tahun dan pasti sudah berkeluarga. Tubuhnya berukuran sedang, apakah sosok tubuhnya ideal  bagi seorang tukang kayu, aku tidak tahu. Apa yang aku tahu pasti, ia mampu mengangkat mesin gergaji layaknya seorang kuli pelabuhan mengangkat sekarung beras. Wajahnya bukanlah tipe orang Multi Level Marketing atau penjual parfum atau penjual alat pijat otomatis yang suka mengetuk pintu. Wajahnya menggambarkan orang yang tidak bisa membedakan sabun batangan biasa dengan sabun muka. Pakaiannya bukanlah jenis pakaian yang biasa dipakai penyanyi dangdut di ruang audisi. Ia hanya mengenakkan kaos tanpa kerah yang sudah kehilangan warna aslinya, bonus pembelian sekaleng cat, serta celana jeans yang warna aslinya tertutup noda oli bekas.

Aku baru mengenalnya kemarin. Saat membutuhkan orang yang bisa menebang pohon durian, tetangga memberikan alamatnya. Dapur kami telah hancur, sedangkan harga papan terlalu mahal. Ada larangan menebang pohon di hutan, anehnya tetap ada yang menjual papan dengan harga selangit. Tidak ada larangan menebang pohon durian milik sendiri, hanya saja pohon ini tidak bagus untuk bahan bangunan, tetapi tidak ada pilihan lain. Sebatang durian harus dikorbankan.

Sebentar lagi, pucuk pohon penuh kenangan ini akan mencium tanah. Padahal dulu setiap musim durian kami selalu mendirikan pondok di bawahnya dan menunggu buahnya jatuh. Aku berusaha menghibur diri dengan berkata, pohon ini memang sudah terlalu tua dan pohon durian di belakang rumah yang dulu masih kecil sekarang sudah dua musim berbuah.

“Narai gawim wayah tuh nah? sampai ikau dia puji buli," ia menanyakan pekerjaanku sekarang, pekerjaan apa yang membuatku sampai begitu lama tidak pulang kampung.

Aku tidak bisa cepat menjawabnya, bukan karena menyembunyikan sesuatu, tetapi sulit menjelaskannya tanpa menyebutkan istilah yang membuatnya menganggapku sok kota. Jika berkata programer, bukan hanya aku malu sendiri, karena bisanya cuma mengetik sesuatu yang menghasilkan tulisan Syntax Error, tetapi juga akan membuatnya menyebarkan gosip anak sok kota yang mengaku-ngaku programer. Aku tidak mau kejadian bertahun-tahun lalu terulang, saat seorang yang ikut kursus teknisi komputer dipermalukan. Salahnya sendiri memang, suka melebih-lebihkan sesuatu. Sebenarnya ia cuma bisa merakit komputer, tetapi mengakunya membuat komputer.

Aku harus berhati-hati, walaupun ini sebuah kampung di tengah hutan, tetapi parabola dimana-mana.  Bajakan VCD karaoke dangdut bonusnya VCD "The Net" sehingga semua orang akan tahu aku membual jika mengucapkan kata programer. Orang-orang ini menganggap programer itu pekerjaan orang seperti Sandra Bullock dalam film bonus VCD dangdut yang mereka beli.

Hal lain lagi yang membuatku harus berhati-hati, bisa-bisa ia mengira aku punya banyak uang. Orang yang merantau ke pulau lain, harus bisa mendapat uang yang lebih banyak. Kalau tidak, untuk apa pergi jauh-jauh. Penduduk pulau lain boleh merantau karena pulaunya penuh atau panen gagal, tetapi disini, kehidupan mungkin jauh lebih enak dan lebih santai daripada tempat manapun. Aku kesulitan menjelaskan kalau kepergianku bukan hanya karena sesuap nasi, telapak tanganku memang jauh lebih lembut daripada telapak tangannya, tetapi dompetnya jauh lebih tebal dari dompetku. Itu pasti.

"Komputer," jawabku akhirnya, jawaban yang rasanya cukup aman.

"Wow! Pasti banyak uangnya itu" balasnya.

Aku terpaksa membantahnya. Bukan hanya demi menghindari sebuah gosip baru, tetapi sekaligus mencegah kasus Jakarta terjadi di Solo. Kasus penduduknya yang bertambah setiap lebaran. Tetapi aku tidak bisa menahan godaan untuk bercerita kalau nasi ayam di Solo harganya jauh lebih murah dan di sana ada daging ayam yang tulangnya lunak. “Sayangnya mereka tidak tahu cara memasak babi kecap yang enak,” tambahku.

Ia menanggapinya dengan bertanya, kalau orang Solo bisa memasak ayam yang tulangnya bisa lunak, mengapa mereka tidak membuat babi tulang lunak juga.

Cerita kehidupanku di Solo membuatnya tertarik membicarakan kesulitan hidupnya sendiri, kesulitan hidup seorang penebang kayu. Ia bercerita bagaimana dulu waktu masih ada perusahaan kayu, hidup jauh lebih baik. Tiada hari tanpa menumbangkan dua atau tiga batang kayu besar. Lalu tiba-tiba semua di-PHK, kayu habis, dan pemerintah melarang menebang apa yang masih tersisa. Tiba-tiba saja hidup terasa sulit dan berat. Ia tetap masuk hutan, jika dulu hanya harus menebang pohon, sekarang harus mengolah dan mengangkut sendiri apa yang telah ia tumbangkan. Tidak ada lagi alat berat seperti dulu yang bisa mengangkat kayu berdiameter satu setengah meter seperti anak kecil mengangkat sebatang pensil.

Entah siapa yang memulai duluan, percakapan mengarah ke satu jenis kayu. Kayu yang terkenal karena begitu kuat. Jenis kayu yang hanya ada di tempat kami. Salah satu kayu terkuat di dunia. Orang menyebutnya kayu besi, kami menyebutnya kayu ulin atau tabalien.

Aku belum pernah melihat batang pohon ini, hanya melihatnya dalam bentuk tiang-tiang yang menopang rumah kami. Hampir semua rumah memakai kayu jenis ini untuk kerangka dan atapnya, tetapi sekarang orang harus memikirkan cara lain membangun rumah. Sudah saatnya berpaling ke pasir dan semen. Memang masih membutuhkan waktu lama, perlu jalanan beraspal untuk mengangkut semen dari kota. Sungai sudah tidak bisa diharapkan lagi, setelah hutan habis, kami telah membuatnya dangkal saat mengaduk dasarnya untuk mencari emas.

"Mencari tabalien sekarang sulitnya minta ampun,” kata pria yang sudah selesai mengasah gergaji mesinnya. “Benar-benar harus masuk ke tengah hutan, perlu berminggu-minggu untuk mengolah satu batang tabalien.”

Ia menjelaskan, begitu menemukan sebatang kayu ulin, ia dan seorang teman lalu membersihkan tempat sekitarnya, membangun sebuah pondok untuk menyandarkan kepala di malam hari sekaligus tempat menyimpan segala macam peralatan dan perbekalan. Perbekalan inilah yang menjadi alasan mengapa harus ada dua orang masuk hutan, satu orang bisa bolak-balik ke kampung jika minyak atau perbekalan habis. Tidur di tengah hutan penuh bahaya, salah satunya malaria. Membuatnya harus mengunyah sejenis tanaman merambat yang begitu pahit, hanya untuk membuat tubuhnya kebal malaria maupun gigitan serangga. Membuatku sekarang mengerti mengapa ia sama sekali tidak terpengaruh gigitan nyamuk di bawah pohon durian. Nyamuk di sini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang ada di tengah rimba.

  “Itu dulu, sekarang belum tentu berhasil menemukan sebatang tabalien di tengah hutan,” kata pria ini mengakhiri ceritanya.

"Mengapa tidak ditanam saja?" tanyaku, “Tabalien susah tumbuh ya?”

"Siapa yang mau menanamnya? Siapa yang mau menanam pohon yang baru tiga generasi kemudian bisa ditebang?" ia menjawab dengan dengan nada bertanya, "Untuk apa menanam pohon yang baru bisa ditebang setelah kamu membusuk di dalam tanah?”

Sekarang aku baru benar-benar bisa mengerti mengapa kami diam saja ketika hutan kami hilang.

***

hiskia22's picture

@anakpatirsa

Jadi inget hutan di kampung halaman...tempat main waktu kecil...he...he...he...

Hutan Kalimantan yang indah dan lebat...

GBU

__________________

GBU

anakpatirsa's picture

Hutan Kalimantan

Hutan Kalimantan yang indah dan lebat...

Sayangnya, hutan itu sudah tidak ada lagi.

ely's picture

Tabalien ...

Jadi sedih bacanya, Mungkin tidak akan lama lagi nyamuk-nyamuk ganas itu akan hilang bersama musnahnya tabalien, Dan generasi atap sirap tabalien yang membuat orang-orang di dalamnya tidak memerlukan AC bisa dipastikan telah berakhir, Padahal Tabalien adalah jenis kayu yang sangat tahan lama, kemungkinan 7 generasipun masih tetap kokoh, mungkin ini pula yang membuat orang2 enggan untuk menanamnya ... Sudah bosan dengan rumah tabalien yang tidak roboh-roboh ...
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...

anakpatirsa's picture

Atap Sirap

Kenangan atap sirap, waktu musim hujan, kakek sering mengajakku naik ke atas loteng, menambal sirap yang bocor dengan sirap kecil atau pakai seng.

ce_zixc's picture

tabalien

tulisan2 kamu selalu membuat aku merindukan kampung...yang aku bangga kan dan telah banyak kenangan indah di sana.gimana mungkin aku bisa melupakan kampung aku jika setiap hari aku membaca tulisan2 kamu.yang membuat aku hanyut di bawa arus cerita kamu.aku kangen dengan dengungan nyamuk2 itu sewaktu aku mencari rebung buat sayur dan bagai mana aku bisa keluar dari hutan karna aku tersesat.ngax hafal jalan ngx mengenalin hutan .
__________________

hm...gitu dech

anakpatirsa's picture

Sinyal Masuk Hutan

Aku juga sedang merindukan suasana itu lagi. Sekarang tidak perlu takut tersesat di hutan, sekitar satu setengah tahun lalu aku sama adikku masuk ke "hutan",  sekitar satu jam perjalanan dari kampung, masih ada sinyal. Jadi tidak perlu takut tersesat lagi.