Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jaka Gledeg Vs Ujian Nasional

clara_anita's picture
Sekelompok remaja tanggung berkerumun mengepung saya. Mata mereka yang menatap penuh harap nanar – kontras dengan wajah-wajah letih layu mereka. Kemudian, nyaris bersamaan permintaan itu pun meluncur dari bibir-bibir mereka, “Bu, ajari kami jurus Jaka Gledeg biar bisa ngalahin soal-soal Ujian Nasional. Plis...!” Jurus Jaka Gledeg? Waduh, sejak kapan pula bocah-bocah berseragam biru putih itu menganggap saya sebagai pendekar? Lagipula, jurus untuk mengalahkan ujian nasional? Hmmm, tidak pernah terpikirkan .....
 
“Jurus Jaka Gledeg? Ha... ha... Maaf saya belum kenalan tuh sama si Jaka Gledeg. Seberapa sakti sih si pendekar ini sampai-sampai bisa ngalahin UN?” Jawab saya separuh bercanda.
 
”Ya ampun bu. Bukan pendekar. Itu lho, cara terobosan biar bisa jawab bener tanpa harus ngerti teksnya. Habis teks yang keluar pasti kata-katanya asing-asing,” jawab seorang gadis manis dengan intonasi agak berlebihan. Khas remaja masa kini.
 
“Ya iya lah Non. Jelas aja kata-katanya asing. Namanya juga pelajaran Bahasa Inggris. Bahasa asing kan? Masak mau ditulis pake bahasa Jawa, ” saya berseloroh meski dalam hati membenarkan juga perkataan remaja belia itu. Pelajaran yang saya ampu itu memang sudah memiliki citra menakutkan. Citra yang diwariskan dari generasi ke generasi.
 
”Ya. Pokoknya tolong deh bu. Pasti ada caranya kan? Please....,” ia masih belum patah arang juga.
 
***
Bukannya saya tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka pinta : cara praktis yang dengan instan dapat membuat mereka memilih salah satu option yang diberikan dengan akurat tanpa harus berpusing ria memahami hamparan kata dalam bahasa alien itu. Bahkan bila dimungkinkan tidak harus melampaui proses berpikir. Seperti yang sering ditawarkan oleh banyak lembaga bimbingan belajar : instan namun benar.
 
Permintaan mereka membawaku pada sebuah permenungan. Apa hakikat bahasa? Dari definisi yang kuingat, bahasa adalah an arbitrary vocal symbol used for human communication. Sebuah simbol vokal yang maknanya disepakati bersama dan digunakan manusia untuk berkomunikasi. Jiwa dari sebuah bahasa adalah komunikasi, dan komunikasi dapat terjadi bila kita memahami makna di dalamnya. Bukankah pada dasarnya segala sesuatu itu “hamil” akan makna?
 
Saya bisa saja membantu murid-murid saya dengan jurus “Joko Gledeg”, atau bila perlu jurusnya Jackie Chan sampai Si Buta dari Goa Hantu pun bisa saya kerahkan. Namun demikian, bukankah itu berarti saya telah mengebiri jiwa dari bahasa sebagai wahana komunikasi? Keterampilan bahasa tidak sekedar memilih a, b, c atau d, dan kemudian mengarsir lembar jawaban komputer.
 
Sayangnya, seringkali idealisme harus berbenturan keras dengan tuntutan praktis. Sebelum anak-anak tanggung di hadapan saya meminta saya menunjukkan jalan pintas, pimpinan saya telah lebih dahulu berpesan untuk mengerahkan segala cara agar siswa-siswa kami lolos UN. Target 100% lulus tidak bisa ditawar. Bila ada seribu jalan menuju Roma, maka pilihan harus jatuh pada jalan yang paling cepat dan mudah. Tidak peduli apakah siswa benar-benar mengerti atau tidak, yang penting jawaban yang dipilih benar.
 
UN oh UN. Kenapa ia harus menjadi momok yang begitu menakutkan? Kalau memang ia mengukur hasil belajar siswa selama 3 tahun bersekolah, seharusnya toh ia tidak sedemikian menyeramkan. Pasalnya, setiap hal yang diujikan pasti sudah dipelajari sebelumnya. Waktu 3 tahun boleh dibilang cukup. Bukankah rambu-rambu pembelajaran sudah jelas dan seragam dari Sabang sampai Merauke? Lalu mengapa ia masih saja berwujud monster mengerikan? Tapi apa mau dikata. Sekalipun selama 3 tahun belajar seorang murid selalu mendapatkan nilai baik, namun ia gagal mengerjakan UN tetap saja dia gagal. Dalam UN, taruhannya memang besar dan tidak tanggung-tanggung : MASA DEPAN.
 
Pesan pimpinan saya kembali terngiang: pilih jalan terpintas. Bila ada satu jalan yang pasti saya pilih, jalan itu adalah mengoptimalkan proses belajar mengajar dari tahun pertama. Satu hal yang pasti tujuan dari belajar bukan sekedar lulus dan mendapatkan ijasah. Belajar berarti perubahan. Seorang pembelajar tidak akan tetap menjadi pribadi yang sama usai belajar. Cara pikir, pandangan, kemampuan, perilaku, dan berbagai hal lain dalam dirinya pasti berubah – baik disadari ataupun tidak. Ujian hanyalah instrumen untuk mengukur perubahan itu. Bukan tujuan utamanya.
 
Jadi ketika seorang teman bertanya,”Ada ide bagaimana meningkatkan tingkat kelulusan, bu?”
 
”Menurut saya satu-satunya cara adalah mengintensifkan bimbingan sejak dini, Pak. Tidak hanya di kelas tiga saja,” jawab saya sambil tersenyum kecil.
 
Sayangnya satu-satunya cara itu agak terlambat dilakukan, dan mulai dirancang untuk diterapkan di masa mendatang. Singkatnya, saya harus menyerah juga dan terpaksa mengerahkan jurus ”Joko Gledeg” sampai jurus ”Wiro Sableng” sambil berharap saya dan anak-anak didik saya tidak jadi ikut-ikutan sableng.
 
***
Kini saya balik memandangi wajah-wajah polos itu, tersenyum kecil, dan mengangguk. Sejenak saya menikmati rona puas yang bertebaran pada raut mereka. Seharusnya saya tidak mengangguk karena tidak ada jalan yang benar-benar pintas. Sama halnya dengan jalan panjang yang berliku yang harus kita tempuh untuk menuju DIA.
Tante Paku's picture

Jaka Geledek = Arlek Amanca

Membaca judul blognya jeng Clara Anita ini jadi ingat komiknya Djair Warni yang berjudul JAKA GELEDEK. Jaka Geledek ini nama aslinya ARLEK AMANCA yang kepanjangannya biAR jeLEK tApi MANis CAkep, begitu kalo nggak salah ingat. Eh sekarang kok jadi idiom anak sekolah ketika menghadapi Ujian Negara.

”Menurut saya satu-satunya cara adalah mengintensifkan bimbingan sejak dini, Pak. Tidak hanya di kelas tiga saja,” jawab saya sambil tersenyum kecil.

Memberi pelajaran tambahan/les, itulah yang sekarang dilakukan para pendidik dalam mempersiapkan anak didiknya untuk menghadapi Ujian Negara. Tentu sejak kelas dini akan lebih bagus. Dan peran guru dalam memberi pelajaran tambahan ini tidak lepas dari instingnya dalam memprediksi soal-soal yang kelak akan keluar dalam ujian tersebut, ini tentu dibutuhkan pengalaman yang tidak mudah.

 

Sayangnya satu-satunya cara itu agak terlambat dilakukan, dan mulai dirancang untuk diterapkan di masa mendatang. Singkatnya, saya harus menyerah juga dan terpaksa mengerahkan jurus ”Joko Gledeg” sampai jurus ”Wiro Sableng” sambil berharap saya dan anak-anak didik saya tidak jadi ikut-ikutan sableng.
 
Yang sering dilakukan dan sering menjadi berita setiap menghadapi Ujian Negara yaitu melakukan DOA MASSAL, bahkan ada yang sampai menangis, pingsan sampai histeria lainnya. Apakah hal demikian sudah cukup?
 
 
 
 

 

__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat

clara_anita's picture

@Tante: terlalu berlebihan....

 

Yang sering dilakukan dan sering menjadi berita setiap menghadapi Ujian Negara yaitu melakukan DOA MASSAL, bahkan ada yang sampai menangis, pingsan sampai histeria lainnya. Apakah hal demikian sudah cukup?
 

Berdoa sih wajar, tapi kalau seperti yang saya sempat lihat di "tipi-tipi" agaknya terlalu berlebihan. Bukankah dengan berdoa seharusnya jiwa menjadi tenang, bukannya menjadi makin kalut. Kalau sampai reaksinya berlebihan begitu, saya jadi sangsi bahwa doa itu bukan murni untuk meminta pertolongan Yang Punya Hidup, tapi hanya pelarian dari kecemasan, Hasilnya ketakutan yang meraja.

Hanya dekat TUHAN hatiku tenang..

 

Bukan begitu tante?

dReamZ's picture

belajar make mikir

dulu gw jg gitu sih klao belajar, suka maen hapal aja, rada males mikir lama2. Ampe suatu hari gw sadar klo ternyata dibalik semua itu ada "story" nya, n baru de gw mulai nikmatin yg namanya belajar.