Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Immanuel? : "Adakah Allah di tengah-tengah kita?"
Keluaran 17:1-7 menceritakan babak kesekian dari perjalanan bangsa Israel di padang gurun setelah mereka lepas dari tangan Mesir. Bagian ini menceritakan bahwa ketika Israel tiba di Rafidim, mereka tidak memiliki air untuk mereka minum. Dan hal ini membuat mereka mengeluh terhadap Musa. Musa, kemudian, membawa masalah ini kepada Allah dan Allah, sekali lagi, bertindak.
Guys...
luar biasa ya!?
Cerita ini menunjukkan kepada saya betapa luar biasanya bangsa Israel, betapa luar biasanya... kekerasan hati mereka. Jika kita perhatikan ayat satu perikop ini, dengan jelas disebutkan bahwa banga Israel berjalan mengikuti pimpinan Allah. Allah, ketika itu, memimpin mereka dalam wujud tiang awan (waktu siang) dan tiang api (waktu malam). Dan Kel 13:22 memberikan komentar tentang penyertaan Allah dalam wujud ini, bahwa tiang awan dan tiang api itu tidak pernah beralih dari bangsa itu. Dengan demikian, (saya pikir Kel 17:1-7 punya setting waktu pagi-siang hari) tiang awan itu ada di hadapan Israel saat itu, penyertaan Allah ada di depan mata mereka saat itu. Ketika penyertaan Allah bisa mereka lihat dan rasakan, mereka masih bisa bertanya "Apakah Allah di tengah-tengah kita atau tidak?" Gimana nggak luar biasa coba!?
but...
saya pikir... tidak jarang kita pun seperti bangsa Israel bukan!?
um...saya berpikir bahwa sikap Israel itu bisa muncul karena penyertaan Allah sudah tidak lagi memiliki arti bagi mereka.Perhatikan bahwa generasi Israel dalam teks ini adalah masih generasi yang sama dengan yang dipimpin Musa waktu mereka masih di Mesir. Artinya, mereka sudah melihat, merasakan dan mengalami begitu banyak penyertaan Allah dalam hidup mereka (10 tulah, air Laut Teberau terbelah dan tertutup, air pahit menjadi manis, manna dan burung-burung) Semuanya itu mukjizat! Tetapi semua mukjizat itu hanya membuat mata mereka melotot dan mulut mereka ternganga, tapi tidak membuat lutut mereka bertelut kepada Allah!!! Hal ini, pada akhirnya, membuat semua penyertaan Allah itu menjadi tidak ada artinya bagi Israel.
Ketika penyertaan Allah menjadi hal yang biasa-biasa saja, bahkan menjadi tidak ada artinya lagi dalam hidup kita, saya yakin hal ini akan mulai menghilangkan rasa takut kita kepada Allah.
Jika kita melupakan siapa Allah, bagaimana mungkin kita dapat mengingat karya-karya-Nya yang besar yang sudah DIA anugerahkan bagi kita?
Jika kita tidak mengingat karya-karya-Nya, bagaimana mungkin kita dapat bersyukur kepada DIA?
Jika kita tidak bersyukut kepada-Nya, bagaimana mungkin kita bisa mengabdi dan melayani DIA?
Guys...
Hidup seorang percaya pada dasarnya merupakan respon dari karya Allah atas diri orang percaya tersebut. Ketika Allah berkarya dalam hidup kita (start with your salvation), bukankah respon yang tepat adalah dengan tidak menyia-nyiakan karya-Nya? Kita meresponi karya-Nya dengan melayani dan mengabdi kepada DIA. Dengan demikian, hidup kita, seutuhnya, milik Allah.
Kalo kita, seutuhnya, adalah milik Allah, kenapa khawatir? Allah adalah Imanuel! Sekalipun kita tidak merasakannya, IA tetap Imanuel! Jangan khawatir, dan lakukan saja tugas panggilan-mu! Karena Allah ada di tengah-tengah kita, selama-lamanya.
Amin.
gRaCe
- Novitrip's blog
- 5195 reads