Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

The Imago Dei: Mandat Budaya dan Dominasi Atas Semua Ciptaan-Nya

iraika's picture

 

Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang yang Kau tempatkan:

Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; Segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya:

 

Mazmur 8:3-6

 

            Pujian dalam Mazmur 8 secara keseluruhan adalah untuk mengagungkan dan memuliakan TUHAN, Allah pencipta bumi dan semesta jagad raya. Daud menggambarkan kebesaran TUHAN yang seolah-olah dengan jari-jari-Nya, Ia meletakkan bulan dan bintang – bintang di angkasa.  Lalu Daud meresponi kesadaran ini dengan ungkapan yang penuh dengan kerendahan hati, Daud menyadari betapa hinanya manusia di hadapan TUHAN. Begitu kecil jika dibandingkan dengan bulan dan bintang – bintang. Namun manusia hina itu dimahkotai-Nya dengan kemuliaan, hormat, dan kuasa, diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah.

            Apa arti manusia sebagai gambar dan rupa Allah? Herman Bavinck menuliskan demikian, “But among creatures, only man is the image of God, God highest and richest self-revelation and consequently the head and crown of the whole creation, the imago Dei and the epitome of nature, both microtheos (microgod) and microkosmos (microcosm)”.[1]

            Narasi penciptaan dikisahkan dalam Kitab Kejadian 1 dan 2. Allah menciptakan bumi dengan firman-Nya, Ia menata, menghias bumi dan alam semesta, dengan firman-Nya ia menciptakan segala jenis tumbuh – tumbuhan dan binatang – binatang untuk memenuhi bumi, dan Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Kemudian, Allah (Tritunggal) berkehendak untuk menciptakan manusia, maka dibentuk-Nya lah manusia itu sebagai gambar dan rupa-Nya, diciptakan-Nya manusia itu dari debu dan tanah, lalu dengan kasih dihembuskan-Nya nafas hidup sehingga manusia itu pun hidup. Allah memberkati manusia dan memberikan perintah untuk bertambah-banyak dan berkuasa atas bumi dan atas semua ciptaan lainnya. Kejadian 1 diakhiri dengan suatu pernyataan yang begitu indah, “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”.

            Narasi penciptaan ingin menyatakan kepada kita bahwa tujuan dari penciptaan adalah “indwelling of God” di antara ciptaan-Nya. Manusia (the imago Dei, man’s divine likeness) diciptakan untuk memuliakan Allah dan menikmati hidup dalam relasi yang intim dengan Allah.  Manusia sebagai gambar dan rupa Allah diberi mandat untuk berkuasa atas bumi dengan memelihara, mengelola dan bertanggung jawab atas semua ciptaan lainnya.

            Mandat budaya Allah berikan kepada manusia, salah satunya untuk bertanggung jawab dalam mengelola kelestarian alam yang telah Allah ciptakan dengan sangat baik. Manusia diberikan otoritas dan kuasa, namun dalam dominasinya atas semua ciptaan lainnya, manusia tidak diijinkan untuk merubah apalagi merusak tatanan yang sudah Allah tentukan, manusia diperintahkan untuk hidup serasi dan harmonis berdampingan dengan alam.

            Namun kejatuhan manusia dalam dosa, juga membawa kutukan pada bumi dan semua mahkluk. Dosa membuat manusia tidak lagi mengelola dan memelihara alam, melainkan mengeksploitasi alam dengan tamak dan semena-mena. Gaya hidup manusia menjadi penyebab utama terjadinya pencemaran lingkungan dan kerusakan alam. Kita hidup semakin tidak peduli dengan alam dan lingkungan di sekitar kita. Apakah kita sadar bahwa saat ini kita hidup di tengah-tengah isu ancaman pemanasan global. Bumi kita makin panas, suhu bumi saat ini diperkirakan akan naik 3,20C.[2] Apa dampaknya bagi kita? Bukankah gejala perubahan cuaca yang ekstrim akhir-akhir ini sudah mulai kita rasakan.

 Beberapa waktu lalu dunia menyaksikan aksi “heroic” remaja usia 16 tahun, asal Swedia, Greta Thunberg, yang menyuarakan kegelisahannya yang mewakili kegelisahaan generasi muda milenial saat ini terhadap kondisi bumi yang semakin rusak. Di depan para pemimpin dunia yang menghadiri pertemuan United Nations Climate Summit, di New York pada 23 September 2019 lalu, Greta dengan suaranya lantang berkata, “You have stolen my dreams and my childhood with your empty words and yet I'm one of the lucky ones. People are suffering. People are dying. Entire ecosystems are collapsing. We are in the beginning of a mass extinction and all you can talk about is money and fairytales of eternal economic growth. How dare you!”[3]

Apa yang membuat seorang anak remaja seperti Greta sampai begitu geram menyuarakan kepeduliaanya terhadap bumi tempat tinggal manusia? Ya, dalam dunia modern saat ini, kita melihat bahwa pencapaian teknologi-teknologi dalam dunia industry membawa efek samping pada lingkungan dan alam. “At the beginning of the third millennium, many global environmental problems, such as diminishing biodiversity, climate change, ozone depletion, overpopulation, and hazardous wastes, are causing significant concerns. Problems of air and water pollution and toxic waste disposal are common in all industrialized countries”.[4]  

Di dalam pesatnya perkembangan teknologi, manusia abai terhadap dampak-dampaknya pada alam dan lingkungan. Demikian pula masalah sampah yang sudah mencemari alam dengan sangat mengerikan. Victor Vescovo, seorang pensiunan perwira angkatan laut asal Texas, mencoba menyelam ke dalam palung terdalam di bumi, Palung Mariana yang berada di Samudera Pasifik. Laporan yang diberikannya mengagetkan dunia karena pada ke dalaman 10.928 meter, ia melihat sampah-sampah plastik dan logam di dalam palung tersebut.[5] Penemuan ini tentu membuat kita resah bukan? Dan tidak hanya di dasar laut, bahkan jejak sampah manusia pun bertebaran hingga ke ruang angkasa (space junk).[6]

Realita-realita di atas hanyalah secuil dari dasyatnya kerusakan alam sebagai akibat dari gagalnya manusia dari geneasi ke generasi dalam mengelola bumi dengan bertanggung jawab, sebagai salah satu tugas mandat budaya yang dipercayakan Allah kepada kita.

Bagaimana kita sebagai orang Kristen menyikapi kondisi sedemikian ini? Bagaimana kita sebagai gereja dapat berperan aktif dalam memberikan kesadaran dan pengaruh yang nyata dalam menjaga keseimbangan alam? Apakah ada gelisahan dalam hati kita melihat kondisi bumi yang semakin “sakit” saat ini?

Sebagai orang percaya yang sudah diperdamaikan dengan Allah dalam Kristus, maka kita, the imago Dei kembali dipanggil untuk melaksanakan mandat untuk mengelola dan memelihara bumi dengan bertanggung jawab. Rev. Stephen Tong menyebutkan bahwa setiap orang percaya, pengikut Kristus terpanggil untuk menjalankan dua mandat Allah, yaitu mandat budaya (Kej 1.28) dan mandat penginjilan (Mat 28:19-20).[7] Dalam menjalankan mandat budaya, kita kembali dipanggil untuk terlibat secara aktif dalam memelihara keseimbangan alam. Kita kembali disadarkan bahwa pada mulanya Allah menciptakan bumi dan alam dengan sungguh amat baik. Dan Allah telah memberikan tatanan-tatanan-Nya kepada manusia dan semua mahkluk ciptaan-Nya untuk dapat hidup dengan harmonis dan dalam keteraturan dan keseimbangannya.

Dalam Kolose 1:15-23 kita pun diingatkan tentang keutamaan karya Kristus yang membawa pendamaian, penebusan, dan penyelamatan atas semua makhluk ciptaan-Nya. Sehingga kita pun sadar bahwa bukan hanya kita yang membutuhkan pemulihan Kristus, tetapi seluruh ciptaan Allah menantikan pemulihan.  Ay. 23 berkata bahwa Injil diberitakan di seluruh alam, di bawah langit. Roma 8:22 juga menegaskan hal yang sama bahwa penderitaan karena kutuk dosa bukan hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga dialami oleh semua mahkluk.

Kepedulian terhadap bumi harus dimulai dari diri kita sendiri, sekarang dan bukan nanti. Baik kita secara pribadi, maupun sebagai bagian kolektif dari gereja. Kita bersama-sama menumbuhkan dalam diri kita gaya hidup yang ramah terhadap lingkungan, dengan mulai membiasakan perilaku-perilaku yang baik misalnya: membawa tumbler (botol minum) sendiri, jika berbelanja siap dengan eco bag untuk mengganti kantong plastik, mengurangi polusi udara dengan menggunakan kendaraan secara efisien dan memakai bahan bakar ramah lingkugan, kurangi penggunaan kertas, hemat listrik, dan membiasakan perilaku membuang sampah pada tempatnya. Gereja pun berperan aktif dan terus-menerus menyerukan kepada jemaat untuk melakukan panggilan mandat budaya. Gereja juga mulai mengevaluasi bagaimana penggunaan kertas untuk warta setiap minggu misalnya, lalu bagaimana mengurangi penggunaan plastik dalam acara-acara gereja, dan lain sebagainya.

            Peduli pada bumi dan alam merupakan wujud bagaimana kita mengasihi Allah, dan juga mengasihi sesama manusia. Bumi dan alam ini akan selalu mengingatkan kita kepada ALLAH, The CREATOR, dan kita, sama seperti Daud akan memuji dan memuliakan-Nya karena kebesaran dan keagungan-nya atas segala ciptaan-Nya.



[1] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics Vol.2: God and Creation (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2004), 531.

[4] Halit Eren, Impact of Techonology on Environment, J.Webster (ed.) Wiley Encyclopedia of Electrical and Electronics Engineering, 1999 John Wiley & Sons, Inc.