Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

GWB 3 – KOSTER Plus Plus

Purnomo's picture

          17-Agustus-2014.
          Usai ibadah Minggu tadi aku mencari teman gereja yang membantu aku sebagai penyalur santunan GWB (Guru Wiyata Bakti) untuk memberikan beberapa amplop yang berisi uang dan blangko kwitansi. Kemudian dia akan mengirim sms ke para GWB untuk memberitahu kapan santunan bisa diambil di rumahnya. Tetapi temanku tidak berhasil kutemui di gereja.



          Karena tidak ada acara lain, aku pulang. Sewaktu jalan mulai menanjak di daerah Gajahmungkur, entah mengapa mendadak saja aku ingin berkunjung ke seorang GWB di daerah itu. Aku membelokkan motorku dan mulai menyusuri jalan-jalan kecil yang naik turun. Tiba di mulut sebuah gang, aku segera merubah gigi motorku ke posisi 1. Setahun yang lalu waktu pertama kali masuk ke gang ini gigi motorku masih di posisi 3 dan aku panik sewaktu mengetahui jalan itu menurun terjal sementara motorku sudah melaju cepat. Menekan pedal rem bisa membuat aku terpelanting. Di sisi kiri ada tebing tinggi sedangkan di sisi kanan jurang. Dan rumah Pak Tukino ada di sisi kanan jalan di bibir jurang.

          Sesampai di depan rumahnya aku melihat beberapa motor diparkir. Ada apa?
          “Bapak sakit,” kata istrinya yang keluar menyambut aku. “Ini motor anak-anak saya dan teman-temannya. Tiga minggu yang lalu waktu Lebaran Bpk kena strok ringan.”
           Pak Tukino terbaring di tempat tidur kecil. Dia berusaha bangkit duduk walau aku mencegahnya. “Tidak mengapa, saya bisa duduk,” katanya. Badannya masih lemah. Tangan kanannya terlihat lunglai. Kedua kakinya tergantung tetapi ia kuat menggerakkannya.
          “Kalau untuk jalan saya pakai kursi untuk bantuan,” katanya. Cerita istrinya, dia mendadak lemas dan segera dilarikan ke rumah sakit. Tensinya 200, tapi sekarang sudah 140. Kakinya tak bisa digerakkan, juga tangannya. Seminggu kemudian baru boleh pulang ke rumah.
     

   
           Pak Tukino yang lulusan SPG Agama Kristen ini mengajar hanya di 1 SDN saja dengan honor 150 rb sebulan. Tetapi dulu, cerita istrinya, lebih dari 10 SDN dan semua dilakoninya dengan berjalan kaki. Kemudian bisa beli sepeda. Lalu bisa beli vespa. Ya, pada kunjungan pertama saya melihat vespanya yang sudah banyak las-lasannya. Lalu mengapa tempat kerjanya main susut? Karena selain itu dia jadi koster gereja dan pekerjaan di gereja makin lama makin ditumpukkan ke pundaknya. Bersama istrinya melawat dan melayat anggota gerejanya. Bahkan memandikan jenazah. Hanya itu saja? Biasanya dia menganggukkan kepala menjawab pertanyaan ini. Tetapi percakapan siang tadi menguatkan dugaanku bahwa dia koster plus plus.

          “Gereja Pak Tukino apa memberi santunan beasiswa kepada anak-anak anggotanya yang kurang mampu?”
          “Ya.”
          “Berapa anak?”
          “Tujuh. 1 siswa SD, 3 siswa SMP, 3 siswa SMA.”
          “Masing-masing anak dapat berapa?”
          “35 rb untuk yang SD, 50 rb yang SMP, 75 rb yang SMA.”
          “Santunan itu apa sudah menutup seluruh SPP-nya?”
          “Belum.”
          “Kalau begitu, masih ada pekerjaan untuk Pak Tukino. Begitu sudah dapat jalan sendiri, antarkan saya menemui pendeta gereja Bpk. Mungkin teman-teman saya bisa menambahi santunan itu. Lalu kapan anak Bpk ditahbiskan jadi pendeta?”

         “Maret tahun depan. Sekarang dia sudah vicaris,” jawabnya. Dia memanggil putera sulungnya. Puteranya lulusan UKDW Teo.
         “Di Banjarnegara kota atau desanya, Mas?” tanyaku.
         “Di kota, di alun-alun kota.”
         “Hebat. Itu gereja besar,” kataku.

         “Lalu, putera kedua sudah selesai sekolahnya, Bu?”
         “Belum. Masih kuliah di Semarang.”
         “Putera bungsu?”
         “Baru masuk kuliah tahun ini setelah 2 tahun menganggur,” jawab si bapak.
         “Mengapa?”
         “Inginnya baru tahun ini.”
         “Sebetulnya karena biaya,” koreksi si ibu yang sudah jadi PNS dengan gaji 900 rb karena hanya lulusan SPG. “Tahun ini saya masuk semester terakhir UT, sudah ringan biayanya. Jadi dia baru mau kuliah tahun ini agar kuliah saya tidak terganggu.”

         Aku merogoh tasku. Aku mengeluarkan sepucuk amplop dengan nama PakTukino yang rencananya aku serahkan kepada penyalur santunan GWB. Dari dalamnya aku mengeluarkan beberapa lembar uang, selembar kwitansi, dan menyodorkan kepada Bu Tukino.
        “Karena Bpk tangannya masih lemas, tolong Ibu saja yang menandatanganinya.”
         Setelah itu aku mengajak mereka berdoa. Aku minta Tuhan memberi Pak Tukino kesabaran, penghiburan serta kekuatan dalam menjalani proses pengobatannya. Aku minta Tuhan memberinya kesembuhan karena masih banyak orang di gerejanya yang membutuhkannya.

         Waktu aku menyalaminya untuk pamitan dia berkata, “Sepertinya gereja saya harus merubah cara membantu anggotanya. Gereja hanya memberikan uang dan tidak memantau bagaimana kemudian keadaan si penerimanya. Apakah masih perlu ditolong atau tidak. Apakah ada bimbingan tertentu yang dibutuhkannya atau tidak.”

         Aku senyum-senyum saja. Gak usah nyindir Pak. Ini kunjungan keduaku setelah hampir setahun aku ke mari. Itu pun tidak aku rencana sebelumnya. Bahkan aku tidak tahu mengapa mendadak saja aku ingin mampir ke sini padahal perutku sudah membuat bunyi-bunyian karena kelaparan.

                                                               (17.08.2014)