Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Fotografi dan Firman Tuhan
Kasian teman saya yang sedang bingung mau beli kamera baru. Dulu lebih gampang, pilihan belum begitu banyak. Terus, buku panduan juga masih sedikit, pilih apa aja, pasti isinya lumayan bagus.
"Sekarang, wuih, sampe mati juga nggak kelar" singkatnya kalau mau diselidiki pilihan yang ada. Ironisnya, terlalu banyak pilihan justru membuat si fotografer amatir ini makin bingung. Merk ini apa itu yah? Terus bedanya apa siiih? Terus lensanya mesti lensa apa, wide-angle, zoom, apa super zoom? ...
"Ini pasti trend baru" kata banyak orang, "Tuh, gereja juga sekarang sama, banyak merknya! Yang mana yang bener?". Sabda Space (a.k.a pasar klewer) juga nggak mau ketinggalan trend, bermacam teologi mulai dipaparkan, termasuk yang kontroversial pula.
Terus, ini trend baik atau buruk?
Yah tergantung...
Dulu, ketika saya sedang asik-asiknya belajar fotografi, saya justru belajar banyak dari perdebatan para profesional di dunia maya. Dari perdebatan tersebut, saya justru tahu, bahwa fotografi tidak sekadar asal 'ceklik' dan walah, semuanya jadi indah. Apalagi di jaman serba digital, dari ukuran dan jenis sensor yang beraneka ragam, mengakibatkan konsekuensi yang fatal kepada fotografer, yaitu mereka harus tahu perbedaanya. Tidak seperti jaman bahela ketika mayoritas fotografer hanya menggunakan satu format, yaitu format 35mm.
Maksa analoginya, mungkin mirip juga dengan belajar Firman Tuhan? Kenyataannya, Firman Tuhan nggak sekadar asal 'baca' terus langsung walah, dapet 'rhema'. Ternyata, Firman Tuhan lebih kompleks lagi dari buku fotografi.
Makanya, Amsal mencatat:
"Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan" Amsal 1:7
Jadi, kalau motivasinya dari awal bukan untuk mempelajari Tuhan, ya mana bisa maju? Bak si fotografer amatir, kalau dari awalnya memang tidak mau belajar (alias dipaksa orang lain), ya mana bisa maju?
Nah, trend selanjutnya, ketika si fotografer amatir ini sudah mulai berpengalaman dengan kemampuannya, biasanya dia mulai ngikut-ngikut menganalisa kameranya. Mulailah dia ikutan forum di internet, bersumpah serapah kamera ini kok begini-begitu, teknik ini lebih baik karena ini-itu, dan seterusnya.
Lebih lagi, seperti saya dulu, saya mulai geleng-geleng kepala kepada fotografer yang lebih amatir dari saya, "bego banget sih nih orang, gitu aja nggak ngarti", atau "Duh, kok pilih kamera yang itu, jelas-jelas ada yang lebih bagus dan lebih murah".
Tidak beda di gereja, terutama yang memiliki lebih banyak 'pengetahuan'. Mereka mulai mengkritis lebih lagi, dan menemukan banyak teologi dan praktis yang simpung siur di dunia kekristenan. Tidak jarang dari mereka pun mulai vokal dan mengkritis yang 'amatir'.
Namun sayang, banyak forum fotografi di dunia maya yang mulai kehilangan tujuannya. Mereka saling memaki satu sama lain, bersumpah serapah, dan menjelekkan pengguna kamera ini dan itu karena alasan yang tidak jelas. Bukannya membahas mengambil gambar lebih baik, hanya membahas keterbatasan peralatan dan mendebat tanpa habis.
Tidak beda di gereja, atau di Sabda Space pula (a.k.a pasar klewer), mulai banyak yang 'berteologi' ini dan itu, dan herannya (walau dinubuatkan), satu buku, pahamnya bisa lain-lain. Mulailah kita bersumpah serapah pula, dan saling komentar tak ada habisnya, hanya mengulang-ngulang point yang sama. Bukannya saling membantu bagaimana menjadi pengikut Yesus yang lebih baik, kita sibuk ber-argumen 'bagaimana caranya itu'.
Lalu, apakah ini semua salah?
Yah tergantung...
Di dunia fotografi, para produsen kamera memiliki tujuan lain dari semata-mata "memberi alat terbaik untuk fotografer", mereka juga terbatas dari segi 'praktis' dan 'ekonomi'. Jadi, tidak ada satu kamera pun yang 'sempurna'. Ini semua tergantung penggunanya, si fotografer, untuk menyelidiki fungsi-fungsi dasar apa yang dia butuhkan, lalu mencocokkannya dengan kamera yang ada di pasaran. Sukur-sukur kamera yang dia butuhkan harganya tidak terlalu mahal
Nah, herannya, di forum fotografi, mulailah mereka berdebat kusir tentang "Ooo, kamera gue lebih OK dari lu punya karena begini-begitu", padahal fungsi yang dia butuhkan belum tentu sama dengan fotografer lainnya.
lebih herannya lagi, banyak juga yang beli kamera yang super mahal dan fungsinya bisa sampe memfoto Tuhan lagi duduk di surga, cuman karena gengsi, punya alat mahal dan beken, katanya...
Lebih super herannya lagi, Firman Tuhan sendiri pun mengatakan, akan banyak yang berkoar-koar tentang ke-Tuhan-an, semata-mata karena 'kupingnya gatel', bukan karena 'ketakutan akan Tuhan':
"Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya" 2 Timotius 4:3
Banyak produsen kamera diluar sana yang hanya semata-mata untuk meraup keuntungan, bukan untuk tujuan fotografi. Makanya, banyak para pengguna ingin mengingatkan teman saya yang amatir ini, supaya tidak jatuh ke perangkap mereka.
Sama halnya di dunia kekristenan, kita memperingati sesama supaya mereka tidak jatuh ke perangkap si iblis, yang ingin menjauhkan kita dari pengenalan Tuhan yang sebenarnya.
Caranya?
Hayooo, debat lagi...
"Seluruh Kitab Suci diberikan kepada kita melalui ilham Allah dan berguna untuk mengajarkan kebenaran kepada kita serta menyadarkan kita akan apa yang salah dalam hidup kita; Kitab Suci meluruskan dan menolong kita melakukan hal-hal yang benar. Itulah cara Allah menjadikan kita siap dalam segala segi, diperlengkapi dengan sempurna untuk berbuat baik kepada semua orang" 2 Timotius 3:16-17
- Rusdy's blog
- Login to post comments
- 5242 reads
+1
Good Point!
Rusdy menulis :
Bukannya membahas mengambil gambar lebih baik, hanya membahas keterbatasan peralatan dan mendebat tanpa habis.
dan
Bukannya saling membantu bagaimana menjadi pengikut Yesus yang lebih baik, kita sibuk ber-argumen 'bagaimana caranya itu'.
bygrace berkomentar :
Analogi yang menarik. Saya suka.
Saya tidak anti tulisan pengajaran (doktrin), tetapi - menurut saya - ide dan ulasan doktrin di sini sudah terlalu canggih (overspec) untuk kebanyakan orang Kristen. Mirip seperti kamera yang hebat bisa ini bisa itu.
Mendingan, praktik dulu dengan pengetahuan Firman yang paling mendasar dan utama. Konon orang-orang yang dibolehkan masuk ke Kerajaan Surga bukanlah orang-orang yang mengenal Tuhan secara luar dalam melalui ilmu pengetahuan Alkitabnya yang hebat, tetapi orang-orang yang tak sadar sudah melayani Tuhan ketika mereka memberi makan orang lapar, mengunjungi orang di penjara, serta memperhatikan para yatim dan janda.
Sibuk membahas kamera yang canggih tanpa pernah menggunakan kamera di tangan dengan baik untuk menangkap momen yang baik, sama saja dengan sibuk berdebat soal doktrin yang hebat-hebat tapi lupa berbuat kasih kepada suami/istri/kakak/adik/ipar/tetangga/rekan kerja...apalagi Tuhan.
Saya tetap berharap SS-er terus menulis dan berdebat sesuai karunia dan lepel masing-masing, sama seperti memilih kamera yang sesuai kebutuhan.
@bygrace: Kerajaan Surga
Saya paling sebel ngeliat foto pemandangan malem yang mestinya 'wah', tapi hasilnya terlalu gelap, cuman keliatan titik-titik lampu. Lebih sebel lagi, yang ngambil foto bangga lagi dengan hasilnya yang 'cuman pas-pasan'. Padahal, andai saja mereka tahu cara mengaktifkan 'long exposure' dari kamera mereka, dibanding sekadar mengaktifkan 'flash', yang mana sama sekali tidak berguna untuk tujuan ini.
Di kehidupan kekristenan, saya juga selalu terjebak dengan masalah ini. Sekadar tahu bahwa saya sudah ditebus oleh darahNya, yah jalani hidup yang 'baik', "Nggak usah banyak cing-cong deh!" bak si 'amatir' bilang.
Ketika Yesus berkata "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku", bukankah itu berarti kita harus melaksanakan ajaranNya?
Di satu ekstrem, banyak pengikutNya yang ribut ngalor-ngidul, tapi kita juga tidak boleh terjebak di ekstrim lainnya, yaitu "daripada ribut, mending lakukan satu ayat dari ajaranNya aja nyoook"
Ya, "memberi makan orang lapar, mengunjungi orang di penjara, serta memperhatikan para yatim dan janda" memang perbuatan terpuji, dan Yesus sendiri pun melakukannya dan memerintahkannya. Tapi, kita tidak boleh lupa, itu bukan semata-mata tujuan Yesus datang ke dunia. Kalau tidak, mengapa Yesus tidak menghapus orang sakit, janda, kelaparan, yatim-piatu, dan sebagainya?
Yesus datang ke dunia dengan tujuan yang lebih mulia lagi (hah, ada yang lebih penting dari memberantas kemiskinan??), yaitu membawa manusia kembali kepada penciptaNya. Yesus tidak datang untuk hanya sekadar memberantas kemiskinan, penyakit, atau sekadar memberi pertunjukkan sirkus melalui mujizat. Bukan juga sekadar mengajar bagaimana dunia (atau malaikat, iblis, adam) tercipta.
Tujuan mulia inilah yang mengakibatkanNya memikul salib ke Golgota, mati, dan bangkit kembali, agar kita semua dapat memanggil Allah Bapa "ya Abba, ya Bapa!"
Kalau si fotografer amatir boleh puas dengan kemampuannya yang 'cuman pas-pasan', pengikut Yesus memiliki konsekuensi yang jauh lebih dahsyat dari si fotografer amatir. Ketika Yesus bercerita tentang perumpamaan talenta, hukuman si hamba malas bukanlah "Ya udah, emang lu talentanya 'dikit', jadi gue ngarti deeee...", tapi "campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap..."
Jadi:
Apa itu talenta? Wuih, topik panjang tersendiri tuh...
@Rusdy : Sekuensi - mandi dulu sebelum berpakaian rapi
Saya pikir, dua kesimpulan Rusdy di atas bisa jadi pegangan bagi kita, agar kita tidak terjebak pada ekstrim 'malas tak mau belajar lagi, yang penting action ' di satu sisi dan ekstrim 'belajar terus ala mahasiswa abadi, tak pernah action'.
Namun, saya ingin menegaskan pandangan saya mengenai pentingnya mengasihi. Mengasihi adalah tindakan fundamental di dalam Kekristenan yang tak bisa dipandang sebagai soal sepele. Sebagai suatu yang sangat mendasar, maka tanpa kasih semua Firman yang kita pelajari dan kita jalankan tidak ada artinya (Rasul Paulus paling fasih menjelaskan hal ini).
Mempelajari dan menjalankan Firman Tuhan yang lain sebelum mempelajari dan menjalankan Hukum Kasih, adalah - dalam pemikiran saya - sama dengan berpakaian rapi, mengenakan jas dan dasi sebelum mandi. Jika ada yang membalik sekuensinya (belajar dulu Firman yang canggih-canggih), baru belajar Hukum Kasih dan menjalankannya, maka saya membayangkan orang tersebut berdandan rapi dan berpakaian lengkap lebih dahulu, baru mengguyur sekujur tubuh dan pakaiannya. Runyam deh.
Intinya, sekuensi juga penting ketika mempelajari dan menjalankan Firman Tuhan. Kekuatiran saya bahwa mungkin ada di antara kita yang masuk di SS terjebak ikut 'mendalami' doktrin yang canggih-canggih sebelum memahami dan menjalankan Hukum yang Fundamental. Tapi bagi yang sudah mandi, tentu saja dipersilahkan berpakaian dan berdandan. Jangan hanya mandi....begitu 'kan,Mas Rusdy ?
kamera
lebih herannya lagi, banyak juga yang beli kamera yang super mahal dan fungsinya bisa sampe memfoto Tuhan lagi duduk di surga, cuman karena gengsi, punya alat mahal dan beken, katanya...
me:
mau donk