Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

FIKSI

anakpatirsa's picture

"Art is art because it is not nature," kata penulis besar Jerman, Johann Wolfgang von Goethe. Seni muncul karena seniman tidak hanya sekedar meniru alam secara sempurna. Mereka mengolahnya, tidak harus tepat seperti bentuk sebenarnya, tetapi membentuknya seperti apa yang mereka inginkan. Tiruan alam yang paling sempurna bukanlah karya seni. Sesuatu yang telah melewati pikiran seniman dan telah diubah, baru bisa menjadi sebuah karya seni. Dengan kata lain, seni adalah alam yang direfleksikan melalui cermin rohani. Campuran semua perasaan, pikiran, kesabaran dan keinginan hati yang merefleksikannya.

Aku tidak memahaminya, bahkan sampai sekarangpun belum benar-benar memahaminya. Hanya sesuatu yang terbenak dalam pikiran saat menyadari, cerita fiksi bisa termasuk sebuah bentuk seni. Seolah-olah mendengar seseorang berkata, “Aku baru menghasilkan sebuah seni, jika telah mengolah kejadian nyata tanpa harus tepat dengan keadaan yang sebenarnya. Aku harus mengubahnya menjadi seperti apa yang aku mau. Selama itu bukan sebuah berita atau kesaksian, aku boleh menulis sebuah khayalan dengan meminjam kejadian nyata, juga boleh membentuknya sesuai keinginan.”

Waktu mulai belajar menulis, aku mendengar nasihat ini, "Tulis apa yang kamu ketahui." Memang benar, kisah nyata memperkaya fiksi dengan detil-detil luar biasa, tetapi "Jangan jual fiksi Anda dengan berpaku pada fakta," kata Joy Nolan, seorang penulis lepas. "Semakin fleksibel dan elastis Anda memindahkan fakta dan perasaan dari kehidupan nyata kedalam fiksi, makin kuatlah tulisan Anda,” lanjutnya. “Seperti kata Marcel Proust, ‘Creative wrong memory is a source of art.’"

Setuju! Dalam menulis fiksi, aku harus lebih setia kepada fiksinya daripada fakta yang menginspirasikannya. Mengingat rasanya dikejar anjing waktu kecil memberiku perasaan bagi pencuri yang sedang melarikan diri dari kejaran polisi. Aku juga boleh meminjam rasa marah karena pukulan teman sepermainan, ketika menggambarkan perasaan orang yang sedang naik darah. Juga boleh meminjam kesedihan karena kehilangan uang seratus rupiah, saat harus kehilangan sepeda. Boleh aku pinjam rasa bingung, panik, takut, sakit, atau senang yang pernah aku alami, lalu memindahkannya ke cerita fiksi tanpa harus persis sama.

Penulis sekaliber Moctar Lubis pun mengakui, ia tidak bisa dan tidak akan pernah sanggup menulis dari khayalan atau fantasi belaka. Setiap cerita yang ia tulis, ia tulis berdasarkan kehidupan yang sebenarnya. Ia menulisnya karena pernah berbenturan langsung dengan segi-segi dalam cerita tersebut. Paling tidak, pernah melihatnya sebagai penonton, atau mendengarnya dari mulut orang lain. “Penulis menulis karena melihat sesuatu, mengalami sesuatu atau mendengar sesuatu,” katanya.

Aku boleh menulis tentang apapun. Tetapi menulis apa yang pernah aku alami, baik mengalaminya langsung atau hasil mengamati kehidupan di sekeliling, atau campuran keduanya, merupakan sesuatu yang membuatku bisa menyakinkan orang dengan apa yang aku tulis. Tidak ada gunanya aku menulis sesuatu yang tidak aku kenal. Aku harus menulis tentang kehidupan yang aku kenal serta menulis tentang manusia yang aku kenal. Ada ratusan sifat manusia, untuk bisa menggambarkannya sebagai orang jahat, baik atau bermuka dua, aku harus mengenal mereka.

Mochtar Lubis berkata, “....Saya tidak memindahkan tokoh-tokoh dalam penghidupan itu persis seperti yang sebenarnya ke dalam karangan saya. Akan tetapi dalam karangan saya, maka tokoh-tokoh yang bermain adalah tokoh-tokoh ciptaan saya sendiri, yang ada hubungannya dengan penghidupan yang sebenarnya, tetapi tidaklah sama dengan tokoh-tokoh yang ada dalam penghidupan itu. Dalam proses kreasi mengarang, maka kepada tokoh-tokoh itu aku berikan sifat-sifat mereka sendiri.”

Itulah fiksi.

***

Sumber:

  • A Brush with Life, “Doing Your Own Thing”, http://www.artistsworkshop.com/,  2002
  • Bliss Perry, “A Study of Poetry”, http://www.authorama.com/
  • Bernays, Anne. and Pamela Painter.”What If? Writing Exercises for Fiction Writers”, New York: Harper Perennial, 1990.
  • Lubis , Moctar, “Teknik Mengarang”, Jakarta: Kurnia Esa, 1981.
joli's picture

Belajar nulis fiksi

Mochtar Lubis berkata, “....Saya tidak memindahkan tokoh-tokoh dalam penghidupan itu persis seperti yang sebenarnya ke dalam karangan saya. Akan tetapi dalam karangan saya, maka tokoh-tokoh yang bermain adalah tokoh-tokoh ciptaan saya sendiri, yang ada hubungannya dengan penghidupan yang sebenarnya, tetapi tidaklah sama dengan tokoh-tokoh yang ada dalam penghidupan itu. Dalam proses kreasi mengarang, maka kepada tokoh-tokoh itu aku berikan sifat-sifat mereka sendiri.”

Itulah fiksi.

Aku boleh menulis tentang apapun. Tetapi menulis apa yang pernah aku alami, baik mengalaminya langsung atau hasil mengamati kehidupan di sekeliling, atau campuran keduanya, merupakan sesuatu yang membuatku bisa menyakinkan orang dengan apa yang aku tulis.

Begitu ya AP cara menulis..., mau belajar ah...

 

y-control's picture

merendahkan

setuju sekali AP, meski namanya fiksi, tapi itu tidak sama dengan khayalan ga masuk akal. dan kalo dilihat di kamus, fiksi atau fiction berasal dari kata latin fictio yang artinya kira-kira "membentuk, menciptakan, menampilkan sebuah situasi secara saksama dengan menggunakan keterampilan khusus." jadi senada dengan tulisan dan kutipan di atas, bikin fiksi itu tidak gampang dan tidak bisa digampangkan. sayang di indonesia ini sepertinya banyak orang masih keliru. fiksi masih dipandang sebelah mata. smentara kalo istilah 'sastra' kadang dianggap sbagai fiksi yang njelimet dan mbulet. bahkan beberapa menyamakan fiksi itu sinonim dengan sastra (tapi saya tidak hendak mengomentari soal ini).

ada juga beberapa kalangan menganggap membaca fiksi hanyalah sebagai kegiatan hiburan dan tidak menambah ilmu atau bahkan kegiatan kekanak-kanakan atau keremaja-remajaan. saya paling heran kalau ada orang bilang, "maaf ga suka baca novel, ga ada waktu, aku lebih suka buku non fiksi atau buku pengetahuan umum.., dll." menurut saya, komentar tentang fiksi yang seperti itu hanya menunjukkan kalau orang itu tidak pernah ke toko buku atas keinginan sendiri, atau ke toko buku hanya karena menemani atau karena terpaksa beli buku untuk kuliah atau semacamnya...

entah benar atau tidak, menurut pengamatan saya, orang kristen di indonesia juga relatif memandang miring atau rendah terhadap fiksi. buktinya, selain penerbit kristen di indonesia jarang menerbitkan fiksi, juga jarang pendeta yang mempromosikan buku fiksi untuk dibaca jemaatnya (malah lebih sering film, padahal itu sama-sama fiksi juga). apa mungkin mereka sealiran dengan hiskia22 sehingga kemudian mengganggap fiksi sebagai kebohongan, yang karena itu dosa :P.apalagi kondisi ini makin diperparah dengan kehebohan da vinci code. padahal mungkin juga heboh yang terlalu heboh itu terjadi karena ketidakakraban dengan fiksi tadi..
 

Jika bermasalah dengan HA HA HA!

pakailah hehehe...