Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Energi pengganti kompor gas
Shalom, selamat siang saudara-saudari terkasih dalam Yesus Kristus. Kira-kira 2 minggu lalu ada sebuah email dalam grup kami dari seorang pakar ekonomi energi.
Beliau berkabar bahwa ada rencana pemerintah untuk menggantikan seluruh penggunaan gas elpiji dengan energi listrik PLN, tampaknya dengan pertimbangan bahwa penggunaan elpiji untuk kompor dan lain-lain mengakibatkan adanya defisit LNG sekitar 20-40 trilyun rupiah setahunnya (angka persisnya saya tidak tahu).
Saya bukan ahli ekonomi energi yang biasa menghitung penggunaan energi rumah-tangga rata-rata per hari. Namun, dengan logika sederhana saja, jika konsumsi gas rumah tangga akan dialihkan semuanya akan memberatkan tidak saja para ibu rumah tangga karena mesti menggantikan kompor gas dengan kompor listrik yang pasti beberapa kali lebih mahal, namun juga memberatkan PLN karena mesti menyediakan tambahan kebutuhan energi listrik per hari. Sekarang saja kapasitas listrik PLN di Jawa kabarnya hanya sedikit di atas beban puncak. Jika ini ditambah dengan konversi dari kompor gas, maka tentu beban harian tersebut akan melonjak.
Jadi melalui artikel ini perkenankan saya mengajukan usulan, mungkin baiknya pemerintah khususnya Kementerian ESDM berdialog dulu dengan kalangan Perguruan tinggi dan juga para ahli di LIPI dan BPPT, khususnya para ahli energi terbarukan, untuk mengkaji solusi terbaik akan problem defisit energi karena impor gas alam. Sebab hal ini menyangkut bukan saja keperluan jangka pendek energi nasional, namun juga ketahanan energi di masa depan.
Solusi untuk defisit energi
Pada hemat saya, solusi terbaik bagi problem defisit energi LNG bukanlah sekadar konversi ke kompor listrik (karena ini hanya memindahkan masalah), namun diversifikasi ke energi terbarukan. Untuk itu, ijinkan saya mengulas sedikit energi melalui suryakanta (solar thermal), dan energi dari sampah, sebagai alternatif dari 5 model kompor standar: kompor gas, kompor kayu bakar, kompor minyak tanah, kompor listrik dan kompor induksi.
1. Energi melalui suryakanta
a. Penerapan konvensional
Kita semua pasti pernah bermain-main dengan suryakanta (lup) atau juga disebut kaca pembesar, mungkin pernah mencoba membakar selembar kertas dengan lup tersebut. Jika gejala ini diterapkan dalam skala besar, namanya adalah solar termal.
Menurut Adi Santosa, Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronika LIPI, "Berbeda dengan hasil pengumpulan titik api sinar matahari dengan lup, aplikasi solarthermal ini menghasilkan titik api berupa garis memanjang dengan pengumpul sinar berupa talang parabola."[2, hal. 226-228]
Panas titik api pada aplikasi solar thermal inilah yang dimanfaatkan untuk menciptakan penguapan zat cair. Kemudian, penguapan itu menghasilkan sistem fluida kerja berupa efek tekanan yang akhirnya dimanfaatkan sebagai penggerak turbin.
Pusat Penelitian Telimek LIPI memulai riset ini sejak 2009 dan prototipe aplikasi solar thermal ini dipasang di Gunung Kidul, Yogyakarta. Rencananya, teknologi ini akan banyak diterapkan di Indonesia bagian timur yang merupakan daerah yang paling banyak menerima sinar matahari.
b. Penerapan non-konvensional
Jika talang-suryakanta memanfaatkan langung energi termal matahari, sebenarnya ada alternatif lain untuk memanfaatkan energi matahari. Bagaimana itu? Dengan membenahi konsep kita tentang foton (partikel cahaya). Jika kita mengasumsikan foton bukan sebagai lintasan garis lurus cahaya matahari, namun merupakan gelombang berpilin elektronagnetik (helicoidal wave), maka jika foton ini menumbuk suatu medium, misalnya itu air suling, maka akan terbentuk semacam turbulensi pada medium tersebut, dan ini berpotensi untuk membangkitkan energi listrik.
Secara ringkas dapat dijelaskan:
Talang surya: sinar matahari - titik api - panas termal - listrik
Foton helikoidal : sinar matahari - foton - titik api - listrik
Memang eksperimen skala prototipe belum kami lakukan, namun sekitar 2006 penulis sempat melakukan eksperimen sederhana di belakang rumah, dengan suryakanta dan segelas air suling, dan ternyata memang setelah beberapa menit air suling tersebut terpapar sinar matahari terik yang dipusatkan oleh suryakanta, maka teramati sekian volt arus listrik pada Avometer. Silakan lihat paper kami di [5]
Selain untuk energi, model helikoidal foton juga berimplikasi pada adanya momentum orbital sudut (OAM), dan ini dapat dikembangkan menjadi transmisi gelombang radio berkapasitas tinggi untuk menyampaikan paket data. Apakah radio soliton OAM berpotensi dikembangkan menjadi internet 5G atau 6G? Tentu memerlukan penelitian lanjutan. Lihat [6][7]
Untuk model klasikal foton, lihat misalnya [3][4].
2. Energi dari sampah (Albakos)
Gas metana memiliki dampak pemanasan global 21 kali lipat dahsyatnya dibandingkan dengan karbon dioksida. Gas ini banyak dihasilkan dari proses pelapukan biomassa di sekitar kita. Namun, daya rusaknya terhadap lapisan ozon mudah dikurangi dengan cara mengubahnya menjadi energi yang dikenal sebagai biogas.
Soelaiman Budi Sunarto, pendiri PT. Agro Makmur di kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, melakukan hal tersebut. Ia merancang alat yang diberi nama "albakos," singkatan dari alat biogas konsumsi sampah. Sampah dikonsumsi untuk menghasilkan energi. Lihat [2, hal. 79-81].
Albakos berupa tungku pembakaran tertutup atau tidak sempurna (anaerob). Bahan bakarnya harus berupa sampah organik atau disebut biomassa yang kering, seperti jerami, sekam padi, ranting pohon, kayu ataupun limbah organik lainnya (seperti kulit durian, kertas, atau potongan rambut dari tukang pangkas rambut).
Albakos, karya inovator yang pernah dianugerahi Usaha Kecil dan Menengah Award (2008), Entrepreneur Award (2006), Agrobisnis Award 2004 tingkat nasional. Alat ini ukurannya tidak terlampau besar. Tinggi albakos 95 sentimeter, berdiameter 50 sentimeter dan berbobot 60 kg.
Penutup
Artikel ini ditulis dengan harapan akan membantu para pengambil kebijakan energi nasional untuk mempertimbangkan opsi energi terbarukan. Dua pilihan di atas hanyalah sebagian kecil teknologi terbarukan yang dapat dilakukan dengan sedikit inovasi.
Sebenarnya ada banyak teknologi tepat guna lain yang juga dapat dikembangkan menjadi kompor alternatif, misalnya menggunakan frekuensi resonansi. Intinya segala hal di alam semesta ini memiliki frekuensi resonansinya sehingga jika partikel air digetarkan dengan frekuensi tersebut maka akan mendidih dengan cepat. Apakah mungkin menggetarkan air sampai mendidih dengan frekuensi yang dibangkitkan dari ponsel ? Ini merupakan tantangan yang menarik bagi para inventor (penemu). Bacalah misalnya Tintin edisi Penculikan Calculus...
Kiranya ini saat yang tepat untuk mempertimbangkan pemanfaatan energi terbarukan yang tersedia secara gratis di alam, untuk mengurangi defisit energi negeri ini. Jika kita tidak memulai dari sekarang maka akan terjadi krisis ketahanan energi yang akut dalam beberapa tahun mendatang. Lihat [1].
Versi 1.0: 25 januari 2018, pk. 12:40
VC
Referensi:
(1) Pria Indirasardjana. 2020: Indonesia dalam bencana krisis minyak nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.
(2) Nawa Tunggal. 60 inovasi pilihan Kompas. Jakarta: Penerbit Bulu Kompas, 2013
(3) Robert Brady, Univ. Cambridge. Classical model of photon. Url: https://www.lightbluetouchpaper.org/2015/02/23/maxwell/
(4) Carroll. http://www.space-lab.ru/files/pages/PIRT_VII-XII/pages/text/PIRT_X/Carroll.pdf
(5) V. Christianto & F. Smarandache. Observation of Anomalous Potential Electric Energy in Distilled Water Under Solar Heating. Paper tidak diterbitkan. Url: http://vixra.org/abs/1003.0090
(6) V. Christianto & Y. Umniyati. Four possible methods to extend Lehnert’s screw-shaped photon: Towards Soliton Orbital Angular Momentum Radio (SOAmR). Url: https://www.researchgate.net/profile/Victor_Christianto/publication/298788350_Four_possible_methods_to_extend_Lehnert%27s_screw-shaped_photon_Towards_Soliton_Orbital_Angular_Momentum_Radio_SOAmR/links/56eb915c08ae9dcdd82ad8c7.pdf?origin=publication_detail
(7) Yao, A.M., and Padgett, M.J. (2011) Orbital angular momentum: origins, behavior and applications. Advances in Optics and Photonics, 3 (2). Url: homepage.cem.itesm.mx/fdelgado/ciencia/cadi/ref12.pdf
Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)
"we were born of the Light"
Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:
http://bit.ly/ApocalypseTV
visit also:
http://sttsati.academia.edu/VChristianto
http://bit.ly/infobatique
- victorc's blog
- Login to post comments
- 3988 reads
Komentar dari Bp (Pdt.) Dr. Lolo Panggabean
Komentar dari Bp (Pdt.) Dr. Lolo Panggabean (mantan pejabat BPPT):
Energy solar thermal untuk memasak sudah banyak diuji coba. LSDE sekarang B2TE di PUSPIPTEK, SERPONG sudah banyak penelitiannya. Produk Solar Cooker sudah ada di B2TE sekarang. Nilai positif, yah murah. Kesulitannya adalah pemakaian, sebab hanya dapat digunakan jika ada matahari, dan makin terik makin baik. Pelaksanaan memasak dilakukan di luar rumah. Kemudian “kontrolnya susah, sebab belum ada teknologi untuk “solar thermal energy storage”.
Dari segi policy, seharusnya Pemerintah berhenti mengorbankan “convenience untuk rakyat” untuk mendapatkan “financial benefit”, jadi gas harus pertama-tama dipakai untuk keperluan domestic termasuk untuk households/memasak.
Kalau untuk menghasilkan listrik sudah ada desain teruji, Spanyol di Almeria dan USA sudah menghasilkan listrik dari solar thermal energy. Garis focus dipilih untuk membesarkan titik singgung sinar matahari dengan working fluid, air, jadi yang dianggap lebih efisien ialah focus berbetuk garis dengan menggunakan “parabolic through”. Prinsip ini kan disebut “Sterling engine”.
Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)
"we were born of the Light"
Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:
http://bit.ly/ApocalypseTV
visit also:
http://sttsati.academia.edu/VChristianto
http://bit.ly/infobatique