Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Dari Bandung Ke Las Vegas
Sepuluh tahun yang lalu...
Aku berdiri di depan patung gajah. Sebagian teman-temanku menyebutnya gajah bengkak. Sebagai protes bahwa sebagian alumni dari situ tidak berguna bagi bangsa ini, malah menjadi penjahat bangsa. Sedih rasanya meninggalkan kota ini. Tapi aku harus melangkah pergi. Mau melambaikan tangan kepada si gajah, tapi aku tahu itu hanya akan memancing orang-orang untuk memandangku. Aku akan pulang. Naik Parahiyangan. Kereta yang sekarang sudah jadi sejarah.
Aku menemui advisor, menanyakan perihal status aku di sekolah. Dengan bersemangat aku menceritakan bahwa aku sudah siap untuk diterima sebagai mahasiswa mereka.
Suatu hal yang sangat mengejutkan, katanya uang belum diterima mereka. Bagaimana bisa? Jadi kalau uang belum diterima, apakah aku bisa berteduh di dalam asrama? Asramanya cukup menarik. Tadi aku sempat masuk ke dalam, dipandu oleh salah seorang mahasiswa senior yang ditugaskan dalam memperkenalkan kampus mereka. Gedung bertingkat, tidak kalah bagusnya dengan gedung-gedung apartemen yang ada di Jakarta. Yang tidak kalah menarik, laki-laki dan perempuan campur baur tinggal di situ, walaupun teman kamar haruslah sesama jenis. Bahkan setelah aku dikenalkan dengan calon teman kamarku, beberapa orang lain juga diperkenalkan kepadaku. Sebagian dari mereka sudah tinggal di asrama selama lebih dari setahun.
Tapi tidak aku sangka sang advisor bilang tidak bisa, harus menunggu uang dulu baru bisa diterima. Termasuk untuk mendaftar di asrama. Jengkel rasanya. Aku pikir cuma di Indonesia saja yang selalu pakai uang, ternyata di mana-mana sama saja.
Dengan kartu telpon yang baru aku beli tadi di bandara sesaat setelah mendarat, aku menghubungi rumah.
"Gak bisa masuk, ma. Katanya uang belum ditransfer." Semoga beliau tidak menangkap bahwa suaraku terdengar lemas di situ.
"Loh gimana sih. Duh, jadi gimana? Tuh kan udah mama bilang harusnya kita antar kamu sampai ke sana. Tapi dasar kamu keras kepala, persis seperti papa kamu." Ibu memang begitu. Kalau sudah panik, semua dibawa-bawa. Mulai dari ayahku, pak RT, presiden bahkan sampai seluruh dunia.
"Kapan kamu masuk kuliahnya?"
"Dua hari lagi. Hari senin." Aku heran. Bukankah aku sudah memberitahukannya sebelum aku berangkat?
"Sudah. Nanti kalau sampai hari Senin mereka belum juga transfer, nanti papa yang bakal kirim. Aneh banget, ****** ******* itu lembaga bagus, masa mereka belum kirim sih?" Walaupun reda dengan paniknya, beliau masih tetap bersuara dengan nada seperti itu.
"Kalau hari Senin juga belum bisa, aku telpon deh. Mungkin aku akan pulang."
"Loh kamu tuh gimana sih. Masa begitu aja nyerah?"
Aku terdiam. Sebenarnya bukan menyerah. Tap ada cerita panjang di balik itu. Kalau aku kuliah melewati lautan karena dibiayai orang tua, apa bedanya dengan orang-orang lain yang selama ini aku anggap sebagai benalu keluarga? Sejak aku lulus SMA, aku tidak pernah minta uang dari mereka. Dan mereka tahu itu.
"Ini ngomong sama papa kamu."
Ayahku lebih tenang dibanding ibuku. Tapi kalau sudah marah, tikus-tikus di parit juga akan berlari berhamburan karena ketakutan.
"Jadi gimana, memang betul belum ditransfer?"
Aku menceritakan lagi bagaimana aku diberitahu bahwa aku tidak bisa diterima dulu karena uang belum diterima. Aku juga menceritakan bahwa aku sedikit mengeluh ke mereka, mereka seharusnya tidak mengirimkan surat penerimaan ke rumahku kalau memang uangnya belum diterima. Tapi mereka bilang mereka percaya kepada lembaga tersebut.
"Ya sudah. Kamu cari hotel saja. Biar kamu gak usah ke sana ke mari bawa koper seperti orang kebingungan. Ini kan bukan perjalanan jauh pertama yang kamu lakukan."
Aku mengangguk. Lupa kalau beliau berada di ujung saluran telepon satunya lagi.
Dari belakang terdengar teriakan ibuku.
"Jangan bilang seperti itu! Baru kali ini dia jalan jauh sendirian. Sebelumnya selalu ikut kita."
"Sama saja, 'lah." Sahut ayahku dengan pelan.
Ibuku memang benar. Aku masih ingat. Perjalanan jauh pertama yang aku lakukan bersama mereka adalah ketika aku berumur sekitar lima tahun. Tapi bukan ke sini. Melainkan ke kota yang jaraknya ribuan kilometer dari kota ini. Perbedaan yang paling mencolok menurutku, kota tersebut dingin karena angin. Bertiup sampai menusuk tulang. Kota yang pernah terbakar habis tahun 1666.
Sementara kota tempat kampus ini berada sebenarnya bukan kota, melainkan desa. Setidaknya itulah pikirku pertama kali. Begitu menjejakkan kakiku, aku langsung disambut oleh turunnya salju tebal. Bukan angin. Tapi sama saja. Dinginnya minta ampun. Itulah yang aku kuatirkan selama di pesawat. Bagaimana mungkin dalam waktu kurang 24 jam, manusia bisa beradaptasi dengan turunnya suhu udara lebih dari tiga puluh derajat? Ternyata mungkin. Buktinya aku masih hidup sampai sekarang. Itulah jawabanku terhadap pertanyaan tersebut. Walaupun aku ketahui dua tiga minggu selanjutnya, bahwa kemungkinan itu harus dibarengi dengan mencret-mencret dan masuk angin. Iya, masuk angin. Suatu istilah yang tidak pernah aku jumpai selama aku tinggal di sini. Wind enters the body? Mereka mungkin akan tertawa.
Ibuku mengambil telepon yang sedang digenggam oleh beliau. Dan langsung, seperti biasa, memberikan nasihat-nasihat yang ibuku yakin bisa membantuku bertahan hidup di sini.
"Kalau kamu nanti kebingungan atau ada masalah, coba email Nissa. Mereka kan pernah tinggal di sana beberapa tahun."
Kadang-kadang aku heran kenapa ibuku bisa menjadi seorang dokter. Apa hubungannya masalahku di sini dengan si Nissa? Keluarganya memang pernah tinggal di sini, tapi bukan di kota ini. Mereka tinggal di kota di daerah timur. Aku jarang berbicara dengan Nissa. Pertama kali berkenalan dengannya, itu pun sewaktu aku dan dia masih kecil. Pertemuan keluarga kami dengan keluarganya. Kata orang-orang, ayahnya orang hebat. Jadi direktur bank. Waktu itu aku mendengar bahwa dia jadi penyiar radio di Bandung. Suatu hal yang aneh, karena istriku sekarang juga bekerja sebagai penyiar radio. Tapi bukan radio terkenal seperti tempat si Nissa kerja. Walaupun kami tinggal di kota yang sama, tapi kami tidak pernah bertemu lagi. Mungkin lima atau sepuluh tahun terakhir. Aku lupa.
Menurutku dia tidak cantik, itulah kesanku pertama kali saat dulu menjabat tangannya. Pertemuan-pertemuan berikutnya juga sama, tidak berkesan sama sekali. Tapi sewaktu aku melihat gambarnya di sebuah majalah, aku malah ragu apakah dia itu benar orang yang sama yang aku pernah temui beberapa kali. Ternyata orang yang sama. Tapi make-up, ilmu fotografi dan teknologi memang sudah canggih. Dia menjadi seorang wanita yang cantik. Di majalah.
Sudah satu jam lebih aku berjalan kaki masuk keluar hotel. Sambil menarik-narik kedua koperku yang besarnya bukan kepalang. Kakiku sudah penat karena berjalan dengan situasi yang sama sekali aku belum pernah alami. Mungkin penat di hati juga. Semua hotel bilang mereka tidak punya kamar kosong. Kata mereka sekarang lagi peak season, dan aku seharusnya memesan beberapa minggu sebelumnya. Ngapain juga aku memesan kamar hotel kalau aku sudah berencana tinggal di asrama. Pikirku dalam hati. Mungkin seperti inilah perasaan Maria dan Yusuf sewaktu mencari penginapan.
Mau naik taksi kembali ke kota, pasti ongkosnya mahal. Itu yang tadi disarankan ibuku. Beliau tidak peduli berapa ongkos naik taksi, walaupun sudah kujelaskan jaraknya hampir dua jam. Tadi aku naik bus dari kota tempat aku mendarat. Aku belum pernah ke sini. Aku sangka kedua kota ini berdekatan, tapi ternyata memang berdekatan, hanya jika dilihat di peta. Begitu aku mendarat, aku pikir kampus yang aku tuju akan berada di kota yang kurang lebih sama besarnya dengan kota tersebut. Dugaanku salah.
Begitu bus merayap keluar dari kota itu, aku cuma bisa melihat pepohonan, toko-toko kecil, dan latar belakang pegunungan yang buatku agak mirip seperti Bandung. Kota yang dikelilingi pegunungan. Yang membuat beda, adalah sampah. Dari dalam bus aku tidak melihat seonggok sampah di jalan. Tidak mungkin mereka sengaja membersihkan jalan karena kedatanganku. Aku bukan pejabat apalagi presiden. Di dalam bus aku lihat semua kendaraan melaju kencang. Kecepatannya pasti lebih daripada kecepatan maksimum di Indonesia. Aku sempat melirik speedometer bus tersebut, karena aku duduk persis di belakang pak supir. Enam puluh miles per jam. Berarti kurang lebih sembilan puluh kilometer per jam. Dan bus ini melaju di sebelah kanan, di jalur lambat. Kecepatan mobil-mobil yang mendahului kami berarti lebih dari itu. Ah, aku seperti detektif saja. Yang membuat aku terpana, begitu masuk ke dalam daerah tersebut, semua gedung dan rumah yang tinggi, besar dan tertata rapi yang menyapaku begitu aku datang, ternyata adalah bagian dari kompleks kampus tersebut. Seperti Rawa Mangun, tempat ibuku kuliah dulu.
Berbicara soal bus, ada baiknya aku naik bus kembali ke kota tempat aku mendarat. Pasti ada jauh lebih banyak hotel di mana akan lebih besar kemungkinan aku mendapat tempat menginap sampai hari Senin nanti.
Itulah yang membuatku sekarang duduk di dalam sebuah bus lagi. Ada beberapa orang sepertinya sebayaku. Mereka memakai celana pendek dan duduk di belakangku. Aku mengetahuinya setelah aku menggunakan toilet yang terletak di bagian belakang dalam bus itu. Beberapa kali aku harus pergi ke situ. Susah memang, aku sudah kedinginan, mereka malah pakai celana pendek. Mungkin sesaat setelah brojol dari rahim ibu mereka, langsung bermain-main dengan saju, begitu pikirku. Aku lelah. Ngantuk sekali. Air conditioner di atas kepalaku yang sudah aku matikan, tetap saja masih berhembus pelan meniup rambutku.
Seseorang menepuk bahuku. Lumayan keras. Duh, aku pasti terlelap sampai ada orang mesti membangunkanku.
"Tujuan kamu ke mana?" Orang yang ternyata si supir bus bertanya kepadaku.
Aku lihat wajahnya. Sepertinya berbeda dengan wajah supir bus yang aku lihat sewaktu aku melangkah masuk.
Aku menjawab tujuanku sekenanya. Aku cuma ingin tidur, aku memohon dalam hati.
"Kamu sudah sangat jauh dari situ. Kita sekarang ada di Las Vegas!"
Hah!
Aku langsung melompat dari tempat dudukku. Rasa kantukku tiba-tiba hilang mendengar jawaban si supir bus. Bagaimana aku bisa berada di Las Vegas?
Si supir bus menjelaskan dengan panjang lebar. Katanya tadi aku sudah dibangunkan, tapi tidak mau bangun. Ah, dasar aku memang kebo. Lalu katanya koper-koper aku masih ada di kompartemen di bawah bus. Supir sudah berganti. Jadwal dan kota tujuan juga sudah berganti. Hanya nomor bus dan busnya saja yang masih sama. Begitu juga seorang penumpang di dalamnya. Masih sama. Demikian inti penjelasannya. Aku agak lega mendengar koper-koperku masih ada, walaupun tetap saja aku merasa bahwa aku seperti sudah jatuh, tertimpa tangga. Entah kenapa mereka kasihan kepadaku. Tidak dikenakan biaya tambahan karena sudah melampaui jarak dan tarif yang aku sudah bayar.
Aku melangkah lagi. Kali ini bukan di sebuah desa. Aku lihat jam di tanganku. Mesti aku mundurkan satu angka. Sudah berbeda waktu. Aku tahu itu karena aku lihat jam besar yang ada di tengah taman. Anak berumur belasan tahun mesti berjalan kaki di Las Vegas, menarik-narik kedua koper besar. Wajahku saat itu mungkin seperti wajah seorang anak kecil yang kehilangan orang tuanya. Waktu lokal sudah menunjukkan jam 4 pagi. Banyaknya hotel yang aku lihat di sini malah membuatku kebingungan, mana yang aku mesti pilih untuk tempatku menginap. Aku sudah tidak capek dan ngantuk, tapi aku merasa badanku lengket. Kota ini aneh. Tidak bersalju, tidak berangin. Sekarang 'kan musim dingin, kataku dalam hati, tapi kota ini 'kok tidak sedingin kota sebelumnya. Belakangan aku baru tahu kalau kota ini berada di tengah padang pasir.
Aku ingin mandi.
Akhirnya aku mendapatkan hotel yang cukup murah. Cukup single bed, untuk satu hari saja. Kalau mau diteruskan, aku bisa tambah uang lagi. Begitu kata si resepsionis. Tapi mesti buru-buru karena sudah hari Sabtu, kalau tidak nanti bisa penuh.
Aku tertarik untuk berjalan mengelilingi kota dengan lampu-lampu yang gemerlap ini. Tapi pikiranku terus terpaku kepada masalahku. Kepada tujuanku untuk datang ke negara ini. Setelah aku mandi dan berganti pakaian, hal pertama yang harus aku lakukan adalah mencari komputer dengan koneksi internet. Pasti tidak susah melakukannya di dalam kota sebesar ini, begitu pikirku saat itu. Tapi dugaanku lagi-lagi salah.
Aku bertanya ke pegawai hotel, mereka bilang tidak ada fasilitas internet untuk tamu. Payah sekali. Aku melangkah keluar. Langkahku kali ini jauh lebih ringan. Koper-koper aku tinggalkan di dalam kamar hotel. Kembali keluar masuk hotel-hotel. Bedanya kali ini aku mencari koneksi internet. Jawabannya tetap sama. Tidak ada koneksi internet. Gila, pikirku dalam hati. Ratusan juta dollar mengalir di dalam kota ini setiap harinya, dan tidak ada koneksi internet? Prasangkaku sudah berteriak-teriak di kupingku, bahwa sebenarnya ada koneksi internet di kota ini. Tapi aku tidak tahu bagaimana mendapatkannya. Pertanyaan yang salah tidak mungkin mendapatkan jawaban yang benar, kataku dalam hati.
Perutku sudah keroncongan. Sejak turun dari pesawat, aku tidak makan apa-apa. Aku ingin makan burger. Hahaha. Itulah yang aku bisikkan ke diriku sambil tertawa. Cepat, murah, meriah, dan kenyang. Dengan memberanikan diri, aku bertanya ke beberapa orang yang sedang duduk, di mana ada restoran yang aku maksud yang paling dekat.
"Mac Di?" Tanya mereka kepadaku.
Aku mengulangi lagi pertanyaanku. Kali ini dengan perlahan.
"Oh, maksud kamu, Mc Donald's?" Kata salah seorang dari mereka. Tampak seperti orang Korea.
Dengan cepat aku menganggukkan kepalaku. Belakangan aku baru tahu bahwa mereka tidak pernah menyingkat nama restoran tersebut. Heran. Kenapa orang Indonesia selalu menyebutnya dengan Mc Di atau Mac Di? Mungkin karena bangsa kita suka sekali dengan singkatan-singkatan.
Ternyata tidak jauh. Mereka menunjuk ke arah yang sama. Ke arah kiri. Bahkan dari tempat aku berdiri dan mereka duduk, huruf M besar dan berwarna kuning itu terlihat samar-samar. Aku langsung bergegas ke arah sana. Setelah tentunya mengucapkan terima kasih ke mereka karena diam-diam sudah mengajarkan aku bahwa Mac Di tidak pernah diucapkan di sini.
Burger di sini tidak begitu enak dibandingkan di Indonesia. Entah kenapa. Menurutku makanan seharusnya lebih enak kalau di tempat di mana makanan tersebut berasal. Tapi tetap saja aku menghabiskannya. Kata ibuku, makanan tidak boleh dibuang. Orang kelaparan jumlahnya itu mayoritas di dunia, demikian kata beliau.
Setelah makan, aku melihat ada telepon umum. Mungkin saatnya aku harus menelpon rumah lagi. Sudah menjadi kebiasaan bagi kami, bahwa setiap hari kami harus selalu menghubungi satu sama lain. Ini dibiasakan oleh ayahku. Kata beliau, supaya jika terjadi apa-apa, salah satu dari kita ada yang tahu posisi terakhir satu sama lain. Dan beliau pun konsisten. Setiap kali melakukan perjalanan jauh pasti selalu menelepon ke rumah. Setidaknya sekali sehari.
Mungkin tidak seharusnya aku menelpon rumah. Ibuku malah makin panik mengetahui aku berada di Las Vegas. Sementara aku mendengar ayahku tertawa keras di belakang ibuku.
Ayahku juga sempat menasihatiku bahwa aku harus mengirim email ke lembaga tersebut, supaya mereka bisa mengambil tindakan lebih lanjut. OK, Bos. Aku juga sudah memikirkan hal itu, kataku dalam hati. Bodohnya, kenapa aku tidak minta beliau untuk melakukannya setelah aku tidak berhasil menemukan koneksi internet di kota ini?
Sesaat setelah menutup telpon, seorang gadis menyapaku.
"Orang Indo, ya?"
Kulitnya putih, berambut panjang. Lebih cantik dari Nissa. Ah, lagi-lagi Nissa. Ini gara-gara ibuku.
"Iya, mbak. Kok tahu?"
"Jangan panggil mbak. Umur kita mungkin sama. Soalnya saya dengar kamu ngomong pake bahasa Indonesia. Maaf, saya gak sengaja mendengar."
Mukanya memerah. Mungkin takut dituduh menguping pembicaraan orang lain.
"Gak apa-apa kok." Aku tersenyum memandangnya.
Kami berjabat tangan, memperkenalkan nama. Dari dialah saya tahu bahwa koneksi internet sebenarnya tidak susah didapatkan di kota ini, asalkan tahu di mana dan bagaimana cara mencarinya.
"Bagaimana, ada perkembangan berita?" Tanya dia sambil menyeruput secangkir kopi yang ada di genggamannya.
Aku terdiam. Masih duduk dan menatap layar komputer. Aku baru saja membaca tiga buah email. Satu dari advisor sekolah yang sebelumnya sempat berbicara denganku. Satu dari ibuku. Beliau menuliskan semua nasihatnya untukku. Semua yang sudah disampaikan di telepon. Satu lagi dari lembaga yang sepertinya sudah menyusahkanku seharian.
Dia tidak sabar. Bertanya lagi.
"Jadi gimana? Kamu pulang ke Indo, atau sekolah kamu sudah dikirimkan uangnya?"
Dia tahu masalahku. Karena aku menceritakannya panjang lebar.
Aku tidak berkata apa-apa. Hanya tersenyum. Senyum yang lebar.
Dia tertawa. Dan memelukku.
Bahkan untuk seseorang yang baru saja berkenalan, kami tampak seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal.
Besok aku harus mengepak koperku. Cukup sehari aku tinggal di situ, walaupun aku ingin tinggal lebih lama lagi karena baru saja mendapatkan seorang teman yang sangat baik. Ada hal yang lebih besar yang aku harus kejar.
Sepuluh tahun sudah ...
- PlainBread's blog
- Login to post comments
- 4440 reads
@PB: sin city...
Menarik sekali membaca kisah anda ini.. Kesasar di Las Vegas..
Bro PB, mungkin pertanyaan ini terdengar agak klise bagi anda. Namun, karena bagaimanapun saya tidak pernah (dan mungkin tidak akan) melihatnya dengan mata kepala sendiri, bisakah anda menceritakan kepada saya menurut pengalaman anda selama tersasar di sana tentang karakter Las Vegas sebagai sin city?
Love to hear it from you brother..
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
Roti Nyasar
Weleh, kasian amat baru dateng udah nyasar, untung bukan bahasa Russia yah? :)
Komentar ndak nyambung:
nyonya Pb?
Bahkan untuk seseorang yang baru saja berkenalan, kami tampak seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal.
Besok aku harus mengepak koperku. Cukup sehari aku tinggal di situ, walaupun aku ingin tinggal lebih lama lagi karena baru saja mendapatkan seorang teman yang sangat baik. Ada hal yang lebih besar yang aku harus kejar.
Bila benar, agaknya itu hikmahnya ya... hehehe..
Tuhan Gembalaku
plain, keyen
gw suka, gw baca dr awal mpe akhir tanpa ngerasain bocen...
ada yg lucu, gemesin, n ada jg yg buat pnasaran *sama kyak sammy* hihihi,,, itu istri lo ga se ehehehe *wink2*
pb
itu cerita fiksi atau pengalaman pribadi yah? jadi penasaran...blog yang bagus,....ceritanya seperti speed,tiap langkah bikin penasaran,...
smile
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
Bread, Haha...
Wow... sejauh ini sudah 12 orang menyukai blog mu, Bread (include me). ^^ You gonna have fans soon or later.
Memang seru perjalanan-mu, Bread. Alone. So, gimana akhirnya ttg lembaga yang seharusnya settle semua biaya itu? Happy Ending? Hahaha...
Bahkan untuk seseorang yang baru saja berkenalan, kami tampak seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal.
Besok aku harus mengepak koperku. Cukup sehari aku tinggal di situ, walaupun aku ingin tinggal lebih lama lagi karena baru saja mendapatkan seorang teman yang sangat baik. Ada hal yang lebih besar yang aku harus kejar.
Dan eh iya leh, apakah setelah part ini... U meet umm... or find your sanke there?
Pengalaman bread bikin Min jadi teringat The Terminal bikinan si Spielberg. Kacau banget dah.
Your mum sounds familiar. Hahaha. Jadi teringat Min pertama kali have a trip only with girls gank. But my mum always said, i have to wait until i have my own baby to feel or to understand what she felt.
Nice day.
@All
1. Ebed: Las Vegas, kota yang kalo siang agak sepi kalo malam rame :) Kesannya sih banyak, Ebed. Lampu gemerlap, suara slot machines yang terus berjalan, macam2 orang dari seluruh dunia ada di situ mulai dari pake sorban sampe yang telanjang dada, mulai dari kulit item sampe merah. Atau air mancur yang dancing itu, yang sempet ada di beberapa film (kalo gak salah di Ocean 11 ada juga). Saya juga sempet nonton pertunjukkan pirates dari luar -soalnya gak punya tiket hahaha- seru juga sih kaya aksi tempur beneran karena ada kapal lautnya beneran. Las Vegas yang rame sebenarnya cuma yang di metropolitan (satu jalan lurus panjang yang namanya Las Vegas Boulevard atau disebut Strip. Pusatnya di situ. Sekeliling Strip masih agak rame. Tapi makin jauh dari situ, makin terasa sepinya walaupun masih sama2 dalam Las Vegas).
Waktu saya ada di sana pertama kali di cerita di atas, saya juga sempat main sebentar, kurang dari 1 jam. Gak banyak pake duitnya, cuma main mesin sebentar, setelah itu main kartu black jack. Yang mesin saya kurang beruntung, yang black jack saya menang 200. Buru2 saya dan teman saya itu berhenti sebelum duitnya ludes. Lumayan buat beli tiket bus :) Memang awalnya begitu saya kesasar ke sana sebutan sin city itu melekat kuat sekali di otak saya. Tapi ternyata gak seburuk yang saya bayangkan.
2. @Rusdi: Thank you komennya. Ho oh. Kalo nyasar ke Rusia abis dah cuma bisa ha he ho he ho :D
3. @Dreamz, Sammy, Min: Dia bukan istri atau calon istri. Kami tetap berkawan sampe sekarang. Istri malah saya kenalkan ke dia beberapa tahun yang lalu. Min, tulisan ini memang untuk mother's day, saya suruh beliau baca kemaren hehehe.
4. @Smile: Bukan fiksi :)
Sekali lagi buat semuanya, thanks udah baca dan komen.
One man's rebel is another man's freedom fighter
Sudah penuh.
Karena jempolnya udah penuh, aku cap di sini aja , tinggal menyeruput kopi sambil tunggu sambungannya ha ha ha ha......Ngomong-omong kopi Las Vegas apa mantap ya? Kalo di Hollywood sih mantep.
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat