Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Dance Me to the End of Love
"Sudah tiga hari, sayang"
"Iya, tahu kok."
"Ke kuburan mana kita pergi kali ini?"
"Mungkin kita coba cari yang paling jauh. Makin sepi makin bagus"
Dia menatap mataku. Seakan memikirkan sesuatu.
Pagi ini adalah paskah pertama kami setelah menikah. Dia tahu bahwa setiap hari Paskah aku selalu pergi ke kuburan, sekitar jam tiga pagi. Sudah tiga kali paskah kami pergi berdua ke pemakaman umum, dan ini akan menjadi kali yang keempat.
Aku tidak pernah ke gereja setiap kali hari paskah dan hari natal, sudah hampir tujuh tahun.
Setiap malam natal, aku selalu pergi ke rumah sakit bersalin. Biasanya aku pergi ke rumah sakit bersalin tempat tanteku bekerja. Tetapi sejak pindah, aku pergi ke rumah sakit mana saja. Asalkan bisa melihat dan mendengar suara bayi menangis di hari pertama hidupnya, dan menyaksikan sepasang manusia tersenyum atau menangis bahagia.
Setiap pagi paskah, aku selalu pergi ke kuburan. Biasanya aku pergi ke pemakaman di mana pamanku dikuburkan. Tetapi sejak pindah, aku pergi ke kuburan mana saja. Asalkan bisa berada di pemakaman di pagi hari sekali untuk menyaksikan beberapa orang mengunjungi kuburan orang yang mereka kasihi.
Frederick M Goodman.
Dia membaca nama yang terukir di batu nisan. Batu nisan yang bagus, pikirku. Terbuat dari marmer, mengkilat dan halus. Dia terus membaca. Tanggal lahir, tanggal kematian, bahkan ada sebuah epitaph di bagian bawah:
I am His majesty's dog on a cue
I lie here for Him I answer
Please pray tell me, sir
Whose dog are really you?
Kita berdua tersenyum. Alexander Pope, nama itu seketika muncul di kepalaku.
"Bahkan orang mati masih bisa melucu, berkotbah, dan menantang orang lain."
"Ha ha ha. You've seen nothing. Pernah baca tombstone yang tulisannya I told you I was ill?"
"You're kidding, right?"
Aku menggerakkan kepalaku ke kiri dan ke kanan.
Dia tertawa.
Beberapa orang berdatangan. Membawa rangkaian bunga dan bungkusan plastik. Biasanya berisi makanan ringan, atau bahkan sarapan. Ada juga yang terlihat membawa alkitab. Bahkan sudah ada yang menyalakan lilin dan ditaru di batu nisan. Bau bunga semerbak mulai tercium. Bercampur dengan bau rumput basah terkena embun.
Kita berdua duduk di samping kuburan yang telah dia pilih. Tidak ada yang datang. Kadang memang begitu. Tidak semua orang percaya kuasa kebangkitan. Atau mungkin tidak ada keluarga dan teman lagi yang ditinggalkan, karena mereka adalah orang yang terakhir pergi. Sebelum berangkat kita sudah sepakat, kalau keluarga atau teman orang yang terkubur di situ datang, kita harus menghormati mereka dengan memilih kuburan yang lain.
Duduk di samping kuburan di hari Paskah, rasanya sungguh damai. Tidak ada yang bisa mengajari kami berdua mengenai kematian dan kebangkitan, kecuali berada di kuburan. Tidak ada yang bisa memberitahu kami artinya kubur yang kosong, kecuali kami berada di kuburan. Toh kami tidak bisa menggali sebuah kuburan, untuk menentukan kosong tidaknya sebuah kuburan. Kami juga tidak punya duit untuk pergi ke Israel, mengunjungi kubur kosong yang terkenal itu.
Sudah hampir satu jam kami berada di sana.
Merenungkan kematian.
Merenungkan kebangkitan.
Merenungkan Tuan kami.
Merenungkan kami.
Kami merenung,
berbagi hati.
Berbagi rasa.
Berbagi pikiran.
Sebelum kami memutuskan untuk pulang, kami berdua berdoa. Berdoa untuk orang tua kami, agar siap menghadapi kematian. Berdoa untuk kami, agar siap menghadapi kehidupan. Berdoa untuk mister Frederick, dan keluarga, teman atau siapapun orang yang dikasihinya.
Matahari sedang menampakkan ujung kepalanya. Indah sekali saat ini, begitu pikirku. Di sebelah selatan langit masih tampak gelap, sementara cakrawala di sebelah utara berwarna keemasan.
"Sayang .."
"Iya?"
Dia meraih tanganku, dan menaruhnya di pinggangnya. Aku mencium keningnya. Kening yang beberapa waktu sebelumnya menunjukkan goresan berbentuk salib berwarna abu-abu.
Sekarang tidak ada yang menghalangi kami berdua. Berdiri di dekat kaki mister Frederick yang terbaring di dalam kuburnya. Kekasihku menaruh salah satu ujung headset di telingaku. Salah satu lagu kesukaan kami terdengar, dimainkan lewat Ipod berwarna violet yang selalu dibawanya.
Kami melangkah teratur. Jemari tangan kananku menyatu dengan jemari tangan kirinya. Di situasi seperti ini, keempat kaki kami selalu seiya sepakat, bahkan mereka jauh lebih sering sepakat daripada pemiliknya. Dia menaruhkan kepalanya di pundakku. Suaranya pelan, menyanyikan lagu tersebut, namun terasa dekat sekali. Seakan ikut menari mengiringi langkah keempat kaki kami.
Maafkan kami, mister frederick, kalau anda merasa terganggu, tapi kami merayakan kebangkitan Tuan kami.
Dance me to your beauty with a burning violin
Dance me through the panic 'til I'm gathered safely in
Lift me like an olive branch and be my homeward dove
Dance me to the end of love
Oh let me see your beauty when the witnesses are gone
Let me feel you moving like they do in Babylon
Show me slowly what I only know the limits of
Dance me to the end of love
Dance me to the wedding now, dance me on and on
Dance me very tenderly and dance me very long
We're both of us beneath our love, we're both of us above
Dance me to the end of love
Dance me to the children who are asking to be born
Dance me through the curtains that our kisses have outworn
Raise a tent of shelter now, though every thread is torn
Dance me to the end of love
Dance me to your beauty with a burning violin
Dance me through the panic till I'm gathered safely in
Touch me with your naked hand or touch me with your glove
Dance me to the end of love*
- PlainBread's blog
- Login to post comments
- 3911 reads
Bread, ...
Bread, really inspiring.
Things u wrote in this blog, juga muncul dalam pikiran Keira seminggu terakhir ini. Haha. I dont believe in coincidence. Haha.
Seolah aku membaca Keira dalam versi cowo. ^^ Haha.
@Minmerry
Glad you like it :)