Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

DANAU HA’I

anakpatirsa's picture

“Ayo, bangun!” seseorang menggoncang-guncangkan tubuhku. Akupun terbangun. Kaget sesaat mendengar orkes binatang malam. Kodok bersahut-sahutan di danau, burung hantu mengeluarkan suara menakutkan di kejauhan. Kantuk dan dinginnya malam membuat sulit memusatkan pikiran. Akhirnya bayangan pohon besar itu membuatku ingat sedang berada di tengah hutan. Membuatku langsung bangkit. Ada yang harus kami lakukan malam ini.

***

Ada beberapa kejadian tak terlupakan dalam hidup seorang anak kecil. Bagiku, salah satunya adalah saat boleh memegang parang. Sudah lama menginginkannya, tetapi jawabannya, “Jangan!” yang sangat tegas. Suatu kali membutuhkan parang tajam buat mengubah bambu kering yang tergeletak di samping rumah menjadi kapal-kapalan. “Pakai parang ini,” kata ayah sambil menyerahkan parang kecil tumpul yang hanya bisa memotong rumput. Begitu tumpulnya sehingga memecahkan bambu yang mulai mengering itu. Setahun kemudian, setelah banjir, melihat sebatang bambu tergeletak di samping rumah lagi. Saat ibu pergi ke sungai, aku mengambil parang dari dapur. Ibu pulang lebih cepat dari yang kuperkirakan. Sudah bersiap-siap dimarahi, tetapi ia hanya berkata dari pintu dapur, "Hati-hati, jangan sampai kamu terluka." Kelas dua SD itu, aku merasa menjadi anak yang sudah besar. Sudah boleh memakai parang tajam. Ayah yang barusan pulang sekolah hanya memandang dari jendela. Melihat anak laki-lakinya mengayunkan parang tajam.

“Jangan sampai kena kakimu," katanya.

Hanya satu orang yang keberatan. Dein, adik laki-lakiku. Ia yang sepulang sekolah langsung ke sekolah ayah menangis keras saat mengetahui hanya kakaknya yang boleh memegang parang besar. "Kamu masih kecil!" Kudengar teriak ibu yang sedang memarahinya karena mengambil parang yang tergantung dekat pintu dapur. Ia pasti ingin memotong salah satu ruas bambu ini.

Itu tahap pertama menjadi anak besar. Tahap kedua, saat boleh memancing di sungai dengan pancing benaran. Kami biasa memancing sambil menemani ibu mencuci di sungai. Memancing dengan kail dari kawat biasa yang ayah bentuk mirip mata kail. Umpannya butir-butir nasi. Kami berdua dengan bangga berjalan di depan ibu sambil membawa pancing. Duduk di pinggir lanting bergaya pemancing ulung. Suatu hari, ibu di lanting sebelah berkata, "Hebat anakmu sudah bisa memancing." Ibu mengecewakan kami karena menjawab sambil tertawa, "Tidak, mereka  hanya main-main. Kailnya dari kawat." Pernah kakek juga ikut ke sungai. Berdiri di belakang, berkata menggoda, “Coba kalian berdua langsung melemparkan umpan kalian ke air. Ikan-ikannya langsung kenyang.”

Alat pancing bisa menjadi alat yang berbahaya. Beberapa anak terlalu keras menarik tali pancingnya sehingga mata kail mengenai orang lain atau dirinya sendiri. Ayah dan Ibu tidak mau membuat anak laki-lakinya masuk Puskesmas karena salah menyentak pancing. Betapa bangganya aku ketika ayah mengganti kawat bengkok itu dengan mata kail sungguhan.

Ikan tidak bisa jauh dari kehidupan kami. Sungai merupakan bagian hidup kami. Sekali setahun, ikan berbondong ke hulu sungai. Kami menyebutnya musim bilis murik yang artinya musim “ikan kecil mudik”. Bilis memang berarti ikan kecil. Ribuan atau jutaan -- aku tidak tahu -- ikan-ikan kecil melakukan perjalanan mudik bareng. Ribuan orang menantinya setiap tahun. Kata orang, ikan-ikan kecil ini menemui rajanya yang  tinggal di hulu sungai. Kata kakak yang sudah duduk di SMP, ikan-ikan ini pergi ke hulu sungai karena mau bertelur.

Orang dewasa punya cara sendiri menangkap ikan bilis. Ada yang memakai jala atau jaring, ada juga yang menggunakan buwu -- perangkap ikan dari rotan. Kami, sebagai anak-anak, punya cara sendiri menangkap ikan yang lebih kecil. Panjangnya tidak sampai dua jari. Memakai perangkap sejenis buwu, tidak dari rotan. Dari botol plastik bekas minyak goreng. Memotong botolnya sekitar tiga jari dari ujung. Bagian kepala botol yang terpotong lalu dipasang terbalik. Leher botol sekarang mengarah ke dalam, sehingga ikan bisa masuk melewatinya. Sebagai umpan, ada nasi campur terasi yang terbungkus kain. Baunya akan merangsang ikan kecil yang bisa masuk dengan mudah, namun kesulitan keluar.

Kami lalu mandi sepuas-puasnya sampai mata merah sambil menunggu perangkap ikan. Semua aktivitas berpindah ke sungai pada musim seperti ini. Anak-anak bermain di sungai sepulang sekolah. Pulang membawa ikan-ikan kecil yang sudah masuk perangkap. Bisa ratusan jumlahnya. Tidak ada yang lebih enak selain makan ikan goreng hasil tangkapan sendiri setelah lelah berkejar-kejaran di sungai.

Ada dua danau di hilir kampung. Danau Kurik, dan Danau Ha'i. Tidak mudah mendapat ijin pergi ke danau Kurik. Tetapi akhirnya, di satu musim bilis murik, boleh ikut pergi ke sana. Berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan kecil. Satu jam perjalanan. Tidak perlu takut tersesat. Aku ikut tetangga. Ayah sendiri yang mengantar ke rumah mereka. Minta anaknya boleh ikut pergi ke Danau Kurik. Danau penuh ikan tersesat. Seharusnya mereka berenang lurus ke hulu sungai, bukannya berbelok ke sungai kecil yang menuju danau ini. Danau yang dangkal. Orang menangkap ikan dengan cara berjalan dua-dua sambil masing-masing memegang ujung jaring. Tetangga ini terlalu memegang janji menjagaku. Aku hanya boleh berjalan di sisinya sambil ikut memegang ujung jaring. Anaknya yang memegang ujung satunya.

Beberapa kali minta boleh pergi ke Danau Ha’i juga. Danau yang lebih besar dan lebih jauh. Ijin tidak pernah kudapatkan sampai duduk di kelas empat SD. Sesuai dengan namanya, Danau Ha’i yang berarti besar, danau ini lebih besar dan tidak dangkal. Harus menggunakan perahu karena terletak di seberang kampung. Katanya, dua jam lebih naik perahu. Danau yang benar-benar sepi kalau bukan musim bilis murik, karena kami tidak mengenal istilah mata pencarian nelayan. Petani mengurus ladang di hutan, memasang pancing di sungai dekat ladangnya. Tidak perlu duduk seharian menunggu ikan makan umpan.  Pagi memasang pancing atau jaring. Sorenya, sebelum pulang, tinggal mengambil ikan yang sudah terlalu lemah untuk meronta. Bukan musim bilis murik, cukup mengambil apa yang perlu untuk makan malam saja.

Mungkin aku terlalu banyak membaca petualangan Lima Sekawan. Tetap memaksa minta ijin ayah boleh pergi ke Danau Ha'i  bersama Ico, tetangga depan rumah. Setahun lebih tua dariku, duduk di kelas lima. Awalnya ayah dan ibu benar-benar tidak setuju.

“Bukan musim bilis murik,” kata ibu.

“Tidak ada orang dewasa di Danau Ha'i sekarang,” tambah ayah.

“Zaman dulu anak laki-laki malah disuruh masuk hutan sendiri supaya bisa belajar bertahan hidup di sana,” kata kakek. Membuat ayah harus memberi kesempatan anak laki-lakinya masuk hutan.

Aku merasa menjadi anak besar ketika boleh memegang parang tajam. Jalanku makin tegak saat boleh memancing dengan pancing benaran. Saat mendapat ijin bermalam di tengah hutan, sulit sekali menjaga kepala tetap berada di tempatnya. Apalagi sorenya, ayah membawa parang yang sedikit lebih kecil. Lengkap dengan sarungnya. Supaya adil, adikku juga mendapat parang. Tetapi untuk pergi ke hutan, belum saatnya.

Kakekpun naik ke loteng. Membersihkan lentera kapal yang dulu ia pakai ketika mengarungi sungai.

Libur kenaikan kelas. Aku tidak peduli dengan raport-nya. Begitu pulang, makan cepat-cepat. Berharap ayah segera pulang, supaya bisa berangkat. Tadi malam sudah menyiapkan barang-barang yang perlu. Cukup banyak, ada alat pancing, tali nilon, mata kail cadangan, senter, serta bahan makanan cukup untuk tiga hari. Kakak menitip sabut kelapa, “Untuk tempat anggrek,” katanya. Ibu memaksaku membawa selimut tebal. Kusembunyikan di bagian paling bawah lontong -- sejenis ransel rotan bundar tanpa penutup. Tidak mau ketahuan membawa selimut tebal masuk hutan.

Akhirnya bisa menuruni tangga rumah dengan seluruh perlengkapan. Lontong di punggung, lentera di tangan kiri, dan dayung di tangan kanan. Serta parang milik sendiri tergantung di pinggang. Berjalan gagah menyeberangi jalan di depan rumah. Ico pasti sudah lama berada di lanting. Menunggu dengan perahunya.

"Anakmu mau kemana?" teriak Indu Teras. Tetangga yang dulu memuji aku dan adikku ketika duduk memancing.

"Mau ke Danau Ha'i," balas ibu setengah berteriak. "Susahnya punya anak laki-laki. Pingin-nya lepas dari rumah."

"Anakku juga sama," balasnya setengah berteriak. “Nangis-nangis minta ikut kakaknya ke hulu sungai mencari rotan. Padahal kalau sampai di sana, kerjaannya nangis melulu karena gigitan nyamuk atau tusukan duri rotan."

"Aku sudah bilang ke dia, kalau nanti bosan, tidak perlu sampai besok. Sampai disana langsung pulang juga tidak apa-apa," kata ibu. Aku pura-pura tidak mendengarnya. Sengaja berjalan bergegas sampai suara mereka tidak terdengar lagi.

***

"Aku yang di belakang, ya?" kataku saat di atas lanting dan meletakkan lontong di atas perahu.

"Kamu sudah bisa menyetir perahu?” jawabnya. Orang yang duduk di belakang sekaligus menjadi pengemudi perahu. Aku sebenarnya belum benar-benar bisa. Hanya tahu, kalau mau berbelok ke kiri harus mendayung dari sisi kiri, begitu juga sebaliknya. Juga tahu, dayung bisa berfungsi sebagai sirip kapal.

"Sudah," kataku yakin. Tetapi akhirnya menyerahkan urusan kemudi. Untuk mencapai Danau Ha’i, kami harus menyusuri sungai besar lalu masuk sungai kecil yang muaranya barusan kami lewati. Sungai selebar dua meter yang berkelok-kelok. Beberapa kali membuat perahu menabrak tebingnya. Bukan hanya karena belum benar-benar bisa mengemudikan perahu, tetapi karena tidak lagi memperhatikan jalannya perahu. Terlalu asyik memperhatikan suasana sungai kecil ini. Sungai yang membawa kami ke jantung hutan.

Arus sungai kecil ini tidak terasa di musim kemarau. Sungai kecil yang mengalirkan air dari hutan ke sungai besar.  Aku menyukainya. Makin ke hulu airnya makin bening, pepohonan juga makin lebat. Kata orang, di hutan banyak binatang buas dan setan. Tetapi aku belum melihatnya. Hanya mendengar kicau burung beterbangan di dahan yang menaungi sungai. Kadang tupai berloncatan di atasnya. Tidak ada ular atau beruang seperti kata orang. Mungkin karena ini bukan benar-benar hutan rimba. Hanya hutan kecil. Banyak orang membuka ladang. Perahu-perahu mereka tertambat sepanjang sungai. Pancing-pancing tertancap di dekatnya. Kadang perangkap ikan sedikit tersembul di sudut sebuah lekukan. Menjadi alasan menyerahkan kemudi kepada Ico. Jangan sampai menabrak perahu atau kail orang.

Hari hampir sore ketika akhirnya sampai di Danau Ha'i. Dari kejauhan tadi kusadari sungainya sedikit melebar. Di depan terhampar danau seukuran dua kali lapangan bola depan SMP. Bila di sepanjang sungai binatang membuat sedikit keributan, danau ini terasa sangat tenang. Senang dengan ketenangan dan kesunyiannya. Airnya juga tenang. Damai. Tiba-tiba terdengar suara kecil seperti air tersibak. “Itu ikan besar sedang menyambar ikan kecil.” kata Ico, seolah-olah mengerti kekagetanku. Juga terdengar sesuatu terjatuh dari atas pohon, menimbulkan suara lembut saat menyentuh air di bawahnya. Aku tidak kaget, malah menyukai suara itu.

Suka cerita petualangan alam terbuka, menyukai gambaran alamnya. Sekarang aku melihat dan mengalami sendiri.

"Kita pasang jaring dulu," kata Ico sambil membawa perahu ke pinggir danau. Aku mengikat ujung jaring pada akar sebatang pohon. Ujung satunya dibawa dengan perahu menyisiri pinggir danau sampai menemukan akar lain yang cukup kuat untuk mengikatnya.

“Kita tambat perahu di sini saja,” kata Ico setelah membawa perahu ke pinggir danau yang sedikit lapang. Menyuruhku menambat perahu di sebatang pohon kecil. Ada tangga kayu untuk naik. Entah siapa yang membuatnya. Mengambil lontong masing-masing. Aku bangkit sambil mengikat sarung parang di pinggang. Lalu memasang sepatu boot.

Duduk lebih dari dua jam di atas perahu membuat badan penat. Tetapi ada yang harus kami lakukan sebelum hari gelap. Memasang tenda. Satu-dua hari lalu, ada orang mendirikan tenda di bawah sebatang pohon. Kami mendirikan tenda di situ. Bukan tenda pramuka. Hanya kain terpal biasa. Cukup kuat mencegah dedaunan jatuh menimpa kepala waktu tidur. Bukan tenda tahan hujan atau angin keras. Tidak terlalu masalah, tidak akan ada hujan gerimis nanti malam. Alam masih bersahabat sehingga tidak akan ada hujan badai.

Butuh satu jam menancapkan empat tiang yang ujungnya bercabang seperti katepel. Melintangkan kayu-kayu di atasnya, menjadikannya kerangka atap. Kami berdua akhirnya memandangi sesuatu yang lebih mendekati pondok darurat daripada tenda darurat. Dengan bangga kugantungkan lentera kakek di bagian depan tenda. Menyimpan barang-barang di dalamnya lalu kembali ke perahu. Mengangkat jaring yang terpasang satu jam lalu. Ikan sebesar telunjuk sudah sudah banyak yang terjerat di antara mata jaring. Sebagian akan menjadi umpan dan sisanya akan menjadi lauk malam nanti.

Kami berperahu ke seberang danau. Menancapkan pancing-pancing di pinggir danau yang sebagian tertutup tumbuhan air. Sekarang aku benar-benar memasang pancing dengan umpan sungguhan. Ikan hidup. Bukan lagi cacing, apalagi butir nasi ditusuk kawat bengkok. Hari sudah gelap ketika puluhan pancing terpasang. Saatnya kembali ke tenda. Menghidupkan lentera warisan kakek.

Makan di tengah hutan, dengan ikan bakar sisa umpan terasa sangat lezat. Masakan dua anak sekolah dasar. Senang karena tadi siang ibu menyuruh membawa banyak beras. Ia juga mengganti panci kecil dengan panci yang lebih besar. 

“Panci itu hanya bisa untuk memasak satu muk,” katanya sambil menyerahkan panci yang sedikit lebih besar, "di sana kalian pasti makan lebih banyak.”

Ia ternyata benar.

Sebelum tidur, kami menjenguk pancing. Beberapa pancing bergerak-gerak keras, pertanda ada ikan yang sudah tertangkap. Aku melepaskan dan memasukkannya ke kotak bambu yang terikat di samping perahu. Memasang umpan baru. Telah belajar melakukannya tanpa menghidupkan senter. Hanya menggunakan cahaya temaram lampu templok kecil di tengah perahu.

Tidak ada jam, tetapi sudah belajar memperkirakan jam. Saatnya kembali ke tenda.

Sebelum tidur, masih bisa kudengar suara binatang malam. Sempat takut karena teringat cerita hantu. Cerita yang dimulai dengan suara-suara seperti ini. Hangatnya selimut tebal membuatku tidak bisa menahan kantuk. Bisa kudengar lolongan di kejauhan, sambaran kecil di danau, serta buah yang terjatuh ke air. Ico juga membawa selimut tebal. Bedanya, selimut itu sudah sering keluar masuk hutan. Terlihat dari warna dan lubang-lubang kecilnya. Selimutku terbiasa dengan ranjang berkasur dan berkelambu.

"Itu bukan selimut untuk dibawa masuk ladang," komentar Ico setengah mengejek ketika melihatku mengeluarkan isi dasar lontong, "itu selimutnya pengantin."

Entah mengapa, kata yang berhubungan dengan pengantin kadang bermakna negatif. Orang berjalan lambat disebut, “berjalan kayak pengantin.” Orang berpakaian bagus disebut, “Berpakaian kayak pengantin.” Dan sekarang, anak berbekal selimut bagus di tengah hutan disebut, “Membawa selimut pengantin.”

Berharap ia tidak membocorkan rahasia kecil ini.

"Ayo bangun!" Ico inilah yang mengoncang-goncangkan tubuhku. Menyuruhku bangun karena harus memeriksa pancing dan jaring kami.

***

Benar-benar sangat malas bangun. Mungkin karena kelelahan atau malam yang sangat dingin membuat tubuh sangat berat. Akhirnya bisa memaksa tubuh ini bangun. Mengambil senter dan memakai kembali sepatu boot. Tidak lupa, sarung parang kembali terpasang di pinggang. Tidak tahu jam berapa. Juga tidak tahu sudah berapa jam tidur. Bahkan tidak tahu apakah sudah lewat tengah malam atau belum. Gelapnya hutan dan tidur yang nyenyak mematikan jam alami tubuh.

Harus memeriksa pancing dan mengambil jaring. Kata orang, jangan memasang jaring sampai semalam suntuk. Tengah malam merupakan malamnya ikan dan binatang air yang lebih besar. Jaring bisa sobek karena penyu atau kura-kura maupun ular air besar. Ikan tangkapan yang sedang berjuang melepaskan diri juga bisa menjadi sasaran ikan yang lebih besar. Pancing kami tidak cukup besar untuk ikan seperti ini. Jangan sampai terjadi, ikan sebesar pergelangan tangan menyambar umpan. Lalu sepuluh menit kemudian, ikan yang jauh lebih besar menyambar ikan yang seharusnya menjadi jatah kami. Memutuskan tali pancing.

Kamipun naik ke perahu. Menaikkan jaring, lalu mendayung ke seberang. Malam benar-benar gelap gulita tanpa sinar bulan. Ikan yang tertangkap berjuang melepaskan diri sehingga air terciprat membasahi muka. Membuang rasa kantuk.

“Kita cari keong, yuk.” usul Ico. Kuiyakan dengan penuh semangat.

Tidak perlu memakai alat apapun untuk menangkap keong di tengah malam. Mereka mengambang di pinggir danau; mengambang di bagian danau yang dangkal, mengambang di atas kayu-kayu mengapung.

Di kejauhan terdengar nyanyian kodok. Kembali tidur. Sepakat tidur sampai pagi. “Biarkan saja pancing-pancingnya,” kata Ico sebelum masuk ke dalam selimut baunya, “yang penting jaringnya sudah kita ambil.”

Terbangun di pagi hari. Hari tak terlupakan seumur hidup. Terbangun karena keributan yang dibuat binatang. Monyet-monyet membuat keributan di atas kami. Suaranya mengalahkan kicau burung di seberang danau. Dari kejauhan terdengar kokok ayam, tanda ada ladang dekat danau. Masih subuh, istilahnya terang-terang tanah. Bisa kucium bau alam yang tak terlupakan.

Orang berkata, “Bangunlah pagi-pagi supaya bisa merasakan udara segar. Bangunlah jam lima, lalu keluar rumah karena udaranya masih segar.” Benar! Tetapi tidak ada yang bisa mengalahkan udara pagi tengah hutan di pinggir sebuah danau yang tenang. Udara dan suara yang benar-benar tidak terlupakan.

Banyak hal yang harus kami lakukan pagi ini. Mengangkat pancing itu pasti. Dari tiga puluh pancing yang terpasang, hanya tujuh yang berisi ikan, sisanya putus semua. Bahkan ada yang tangkainya tercabut dan hilang entah kemana. Ikan yang sangat besar telah menyambar tangkapan kami. Tidak masalah. Sudah cukup ikan tadi malam. Kami mengganti kail yang putus. Memasang kembali jaring hanya membutuhkan setengah jam. Dari tengah danau, pohon-pohon sekeliling tampak berbentuk bayangan. Kabut masih menyelimutinya. Kabut tipis, kabut alam yang menjadi embun. Bukan kabut asap.

Saat hari terang, kembali merasakan makanan paling enak. Tadi malam makan ikan kecil hasil jaring. Sekarang makan ikan besar. Ikan pantik panggang dan sayur pakis hutan.

  Seperti rencana, kami masuk ke hutan pagi ini. Ke ladang pamannya Ico. Sekaligus mencari angrek hutan pesanan kakak. Selalu ada jalan setapak di hutan seperti ini. Hutan yang bukan hutan rimba. Hanya kawasan ladang. Selalu melewati ladang orang, bertemu orang yang menyapa dengan ramah, “Mau kemana?”

  “Anak guru kok ikut ke ladang?” kata teman ayah. Rumahnya dekat SMP tempat ayah mengajar. Dalam hati kecewa karena ia hanya mengatakan “ladang”. Bagi mereka, ini memang hanya ladang biasa. “Mau kemana?”

“Mencari anggrek,” jawabku cepat. Anggrek kedengarannya lebih menaikkan status.

“Di sebelah sana!” ia menunjuk ke arah yang sedikit menyimpang dari arah tujuan. "Nanti kalian menemukan pohon tumbang. Kemarin kulihat anggreknya masih hidup."

Ia benar. Ada anggrek di sana. Mengambil lalu membungkus akarnya dengan sabut kelapa. Tidak semuanya harus dibungkus. Anggrek yang tumbuh di dahan kecil langsung aku potong dahannya. Kata kakak, makin bagus bila akarnya tidak lepas dari dahan tempatnya tumbuh. Semut-semut sedikit mengganggu. Tidak bisa menghindarinya. Memang sulit mencari anggrek yang tidak bersemut.

Kembali ke ladang tadi, kami menitip anggrek hutan lalu melanjutkan perjalanan. “Mau ke ladang pamannya Ico,” kataku. Sebelum ia bertanya. Tadi katanya mencari anggrek, tetapi setelah mendapatkannya tetap melanjutkan perjalanan.

Di ladang tujuan, ladangnya pamannya Ico. Sang paman kaget melihat keponakannya muncul dari arah yang salah. Ladangnya terletak antara danau dan kampung, tetapi kami datang dari arah sebaliknya.

“Anaknya Pak Gin ini sudah mendapat ijin orang tuanya?” malah ini yang ia tanyakan pada keponakannya.

 Aku yang menjawab, "Ayah membolehkan karena  kakek yang menyuruh."

Ia menanggapinya dengan mengucapkan sesuatu yang tidak benar-benar kupahami. "Ya, begitu. Kakek kamu benar. Kamu tidak boleh hanya tinggal di rumah saja seperti anak perempuan."

Musim panen jagung. Kamipun duduk sambil membakar jagung. Paman Ico bercerita, tanah di seberang sungai besar itu dulu digarap oleh keluarga kami. Lalu bercerita tentang hutan. Aku mendengarnya sambil menikmati jagung bakar. Akhirnya menikmati makan siang di ladangnya.

Setelah makan, kembali ke danau untuk mencabut semua pancing. Tidak semua umpan dimakan ikan. Juga tidak ada pancing yang terputus. Siang hari ikan besar mungkin lebih suka bersembunyi. Saatnya mencabut pancing dan kembali ke rumah. Perjalanan pulang akan lebih berat. Karena setelah keluar dari sungai kecilnya, kami harus menyusuri sungai besar melawan arus.

***

Pengalaman yang tak terlupakan. Aku mengingat semuanya saat duduk tempat yang sama. Kembali ke tempat yang sama. Memandu tim WWF meneliti tingkat kerusakan alam daerah ini. Aku meminta mereka mendirikan tenda modern persis di tempat berdirinya pondok darurat kami dua belas tahun lalu. Tadi sempat kesulitan menemukan letak persisnya. Pohon besar itu sudah tidak ada. Peralatan canggih yang mereka bawa: telpon satelit, kompas, GPS maupun laptop sama sekali tidak membantuku menemukan bekas pondok itu. Tetapi akhirnya yakin, saat ini duduk persis di tempatku dulu pernah menggantungkan lentera.

Bersambung.

ely's picture

Ikan Naik Raja

Jadi ingat, Di tempatku, bilis murik biasa disebut ikan naik raja, Ikan-ikan yang berenang ke hulu sungai, Ikan-ikan ini mudah ditangkap karena mereka berenang berkelompok dan terkadang sering menepi dan naik sampai ke batu-batu kali yang berada dipinggir sungai. Tidak tau alasan kenapa ikan-ikan ini senang menggelepar-gelepar dipinggir sungai di batu-batu kali (kersik), yang jelas saat mereka sedang berpesta seperti itu, sangat mudah menangkapnya meski tanpa bantuan alat.
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...