Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Bocah di Balik Kaca Jendela
Ketika saya dan suami pulang dari rumah orang tua saya, ban motor yang
kami tumpangi bocor. Rasa kesal melanda karena hari sudah gelap dan
hampir hujan pula. Suami saya menuntun motor dengan sedikit
"ngedumel". Setengah berlari sambil menuntun motor, dia menoleh ke
kiri ke kanan mencari kios tambal ban. Puji Tuhan, tidak sampai harus
"ngos-ngosan" akhirnya ada juga sebuah kios kecil tambal ban yang
tampak dari kejauhan. Dengan semangat suami saya mempercepat
langkahnya. Namun, ternyata kios itu sudah tutup. Untung saja suami
saya tidak malu bertanya agar tidak sesat di jalan. Dia bertanya
kepada pemilik rumah di samping kios apakah bisa tambal ban di situ.
Sang pemilik rumah yang kelihatanya sedang bersantai di teras itu
lantas mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah bangunan yang berada
tepat di belakang rumahnya dan berkata, "Tukang tambal bannya ada di
rumah itu, Pak. Kelihatannya ada orangnya."
Kami segera menuju ke rumah yang ditunjuk. Ketika tiba, tampak seorang
ibu yang usianya sekitar hampir 40-an tahun. Meskipun digelung ke
atas, terlihat jelas rambut itu ikal. Dia berdiri di depan sebuah
rumah yang lebih besar dari rumah mungil saya. "Monggo-monggo Mas
....!" Sambut ibu itu ramah. Setelah bertanya apakah kami bisa
ditolong untuk menambalkan ban motor kami yang bocor, dengan semangat
ibu tersebut memanggil anak lelakinya untuk mempersiapkan peralatan
tambal ban.
"Monggo pinarak, Mbak," kata sang ibu dengan mata yang tersenyum
mengiringi sunggingan di bibirnya. Saya merasakan ketulusan di balik
senyum itu. Tidak ada pandangan mata yang bertanya-tanya. Dia
menawarkan untuk masuk ke rumahnya, tapi saya memilih untuk duduk di
teras saja.
Saya duduk di sebuah kursi kayu panjang tanpa sandaran. Sembari
melepas lelah, saya putuskan pula untuk berdoa -- doa yang egois dan
tanpa tunduk kepala serta lipat tangan, hanya memejamkan mata sejenak
saja --, memohon kepada Tuhan sekiranya tidak perlu turun hujan
terlebih dahulu karena kasihan jika tukang tambal bannya kehujanan,
dan susah pula jika saya harus pulang kehujanan. Tuhan menjawab doa
saya dengan cepat! Baru bilang, "Amin!" hujan pun turun dengan
lebatnya. Ya udah deh, berarti jawabannya, tidak.
Kejadian saat hujan sungguh tidak disangka-sangka. Saya pikir motor
akan ditinggalkan dulu di luar, tunggu hujan agak reda baru tambal ban
mulai lagi. Namun, suami sang ibu langsung memindahkan motor kami ke
dalam rumahnya. Padahal, saat itu motor kami tidak bisa dibilang
bersih. Ban motor kami mengotori lantai rumah mereka yang kelihatan
terawat meskipun lantainya tidak berkeramik atau bertegel. Saat saya
masih terheran, saya menyadari bahwa atap teras rumah itu tidak mampu
melindungan saya dari terpaan hujan. Kaki saya basah terkena cipratan
air hujan. Melihat saya yang berdiri dari tempat duduk dan agak menepi
lagi agar tidak kena air hujan, sang ibu langsung memindahkan kursi
tepat di depan pintu rumah mereka, yang tidak terlalu kena cipratan
air hujan. Saya pun duduk di situ sehingga dapat melihat dengan jelas
keadaan rumah tersebut.
Sembari memerhatikan sang bapak menambal ban motor kami, saya pun
asyik melempar senyum dengan seorang bocah yang sedari tadi mengintip
saya dari balik kaca jendela. Gerak tubuhnya seolah-olah mengatakan,
"Tante siapa, ya?" Saya pun mengayunkan tangan saya memanggil dia
untuk mendekati saya. Tapi dia hanya tersenyum saja, sambil
menundukkan kepala malu-malu.
"Namanya siapa, Pak anaknya?"
"Febrian, Mbak, umurnya 2 tahun, dia anak ketiga!" sang ibu yang
menjawab dengan senyuman di bibir dan mengelus kaki Febrian yang
sepertinya sadar sedang menjadi bahan pembicaraan.
"Wah, baru ulang tahun donk," jawab saya, ketika mendengar namanya.
Febrian langsung menegakkan kepalanya ketika mendengar kata ulang
tahun.
Dari itu pembicaraan kami tentang Febrian berlanjut. Ternyata Febrian
kecil ini bukan anak yang mereka rencanakan. Ibu dan bapak tukang
tambal ban ini sudah memiliki dua orang anak sebelumnya. Kedua anak
mereka sudah duduk di bangku SMA. Anak pertama seorang putri dan anak
kedua seorang putra. Mengingat kebutuhan hidup yang pasti tidak akan
semakin sedikit, setelah komplit punya anak lelaki dan perempuan,
mereka pun memutuskan untuk KB. Sudah bermacam-macam alat KB yang
digunakan, sampai akhirnya mereka diyakinkan oleh bidan bahwa dengan
KB suntik akan lebih aman. Jadilah mereka memakai KB suntik dan sang
istri rajin untuk disuntik setiap waktunya tiba. Selama hampir 15
tahun ber-KB semuanya lancar saja. Setiap datang ke bidan untuk
disuntik, bidan melakukan tugasnya pula. Sayangnya, menurut bapak
tersebut, bidan tidak pernah menanyakan keadaan istrinya. Datang, yang
langsung suntik. Selesai, pulang. Sampai pada suatu saat sang istri
mengeluh kepada bidannya, perutnya kerap terasa sakit. Dan setelah
dicek, ternyata ibu tersebut sudah mengandung selama 3 bulan! Jadi,
selama ini meskipun sudah hamil, ibu itu tetap mendapat suntikan KB.
Wow!
Aku masih dapat menangkap getaran emosi dari sang bapak ketika
menceritakan kejadian tersebut. Ada kerutan di dahinya dan matanya
mengecil ketika berkata, "Apa itu KB, bukan keluarga berencana, tapi
keluarga beranak!!"
Meski meredam emosi karena seolah-olah bekas luka itu sedang dikorek
kembali, bapak tersebut langsung menyambung, "Tapi ya, saya iklas kok,
Mbak. Lah, mau protes ya gimana. Malah jadi panjang nanti urusannya.
Saya terima saja."
"Iya, Pak. Anak itu berkat Tuhan, loh. Tuhan yang kasih," sambung saya
cepat.
"Anaknya cacat, loh Mbak! Waktu lahir bibirnya sumbing," sambung sang
ibu itu lagi.
"Wah, tapi gak terlalu kelihatan kok, Bu. Anaknya sehat, aktif, lincah
...." kata saya. Apa yang saya katakan bukan untuk menghibur, tetapi
memang itu kenyataannya. Anak itu sungguh menyenangkan dan manis pula.
"Alhamdulilah, Mbak! Dia sudah dua kali operasi, jadi bibirnya sudah
kelihatan tidak parah seperti dulu," ungkap sang ibu.
"Saya punya murid yang kelihatannya lebih parah dari Febrian. Waktu
lahir tidak ada langit-langit di mulutnya. Bahkan, sejak lahir orang
tuanya meninggalkan dia. Dia dirawat oleh keluarga angkatnya, sudah
operasi beberapa kali pula. Sekarang sudah duduk di bangku SMA, loh.
Waduh, dia itu lebih PD dari anak-anak normal lainnya. Pintar menari,
tidak malu bernyanyi sendiri di depan orang banyak walau suaranya
sengau ...." cerita saya ketika tiba-tiba teringat seorang murid saya.
"Wah, suaranya sengau ya, Mbak? Kalau Febrian gak, Mbak. Soalnya ada
langit-langit mulutnya," dengan riang ibu itu menjawab. Ada kelegaan
yang terlihat di wajah ibu dan bapak itu ketika aku bercerita lagi
tentang muridku itu, dan juga tentang seorang saudaraku yang terlahir
sumbing pula dan kini sudah jadi staf kantor di sebuah hotel
berbintang di Tana Toraja. Kerutan yang sering nampak di wajah mereka
ketika bercerita tentang Febrian yang bagi mereka tidak direncanakan
itu, sudah tidak nampak lagi sekarang.
Aku merasa dari tanggapan-tanggapan mereka mengenai ceritaku itu, ada
harapan untuk anak mereka, Febrian.
"Yang penting, Pak. Intinya dari dalam keluarga. Jika dalam keluarga
dia diperlakukan layaknya anak normal lainnya, diterima dengan penuh
kasih sayang, dan juga tidak dibeda-bedakan, maka Febrian akan lebih
kuat menghadapi hidupnya kelak di luar sana. Dia tahu ada keluarga
yang menyayangi dia," lanjut saya lagi.
Ban motor kami sudah hampir selesai proses "penyembuhannya" ketika
saya berkata lagi, "seandainya anak saya masih hidup, pasti seperti
Febrian besarnya. Umurnya persis dengan Febrian, Pak. Saya sudah 6
tahun menikah, belum diberi berkat anak, Pak."
"Loh belum punya putra to, Mbak?" tanya sang ibu dengan getaran suara
yang lembut.
"Belum, Bu. Harusnya sudah ada 2, tapi Tuhan memanggil mereka lebih
dahulu ke surga sebelum saya. Ya, tidak mengapa. Mereka milik Tuhan.
Tuhan yang memberi, ya Tuhan juga yang mengambil," jawabku dengan
suara yang sedikit bergetar.
"Iya Mbak. Anak itu itu punya Gusti kok. Dikasih anak ya rejeki. Ya
mungkin Mbak belum waktunya. Sabar ya. Saya doakan juga," kata sang
Bapak yang sudah rampung memasang kembali ban dalam motor kami yang
telah ditambal.
"Terima kasih, Pak," saya menjawab dengan senyum yang sangat lebar.
Senyum lebar itu untuk mencegah agar air mata yang sudah ada di sudut
mata saya itu tidak menetes karena haru yang tak tertahan.
"Sampun, Mas. Tapi ini masih hujan lebat, loh. Ngiyup dulu saja,"
bapak itu menawarkan rumahnya untuk tempat kami berteduh. "Wah,
kelihatanya hujannya akan lama, nih, Pak. Kami langsung pulang saja.
Ada mantel kok," jawab suami saya sambil membantu bapak itu
mengeluarkan motor dari dalam rumah.
Setelah membayar sejumlah uang, suami saya mengeluarkan mantel hujan.
Tapi saya masih sempat bertanya kepada sang ibu, "Febrian masih akan
operasi lagi?" Ketika bertanya, saya melihat wajah mungil Febrian
muncul dari belakang ibunya. Mungkin dia kembali sadar menjadi bahan
pembicaraan.
"Iya, Mbak. Masih perlu satu kali lagi operasi untuk menyatukan
gusinya," kata sang ibu.
"Ya, saya doakan, Bu. Operasinya akan lancar. Tuhan memberkati Bapak
dan Ibu, ya," jawab saya lagi sambil naik ke atas motor setelah
mengenakan mantel hujan.
"Nggih, matur nuwun Mbak. Semoga cepat dikaruniai putra lagi," jawab
sang bapak dan ibu hampir berbarengan.
Setelah melambaikan tangan kepada Febrian, suamiku pun melanjutkan
perjalanan kami menuju ke rumah mungil kami.
Sepanjang perjalanan hatiku penuh dengan ucapan syukur dan puji-pujian
kepada Dia yang tidak pernah memberikan "kebetulan" dalam hidup ini.
Semuanya selalu ada maksudnya.
Please pray for Febrian!
- Love's blog
- Login to post comments
- 4702 reads
Wah sharingnya bagus sekali,
Wah sharingnya bagus sekali, mbak :)
Lola doain supaya mbak dan suami dikaruniai keturunan dan dedek Febrian operasinya lancar ya.. amin..
@mbak evi
mohon maaf sebelumnya,...
apakah foto avatar mbak adalah anak yang telah berpulang ke rumah Bapa?
bisa saya di beri link blog mba evi yang bercerita ttg hal itu?
trimakasih, dan mohon maaf bila pertanyaan kurang berkenan.
GBU
"Belum, Bu. Harusnya sudah ada 2, tapi Tuhan memanggil mereka lebih
dahulu ke surga sebelum saya. Ya, tidak mengapa. Mereka milik Tuhan.
Tuhan yang memberi, ya Tuhan juga yang mengambil," jawabku dengan
suara yang sedikit bergetar.
"Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur,tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya."
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...
@love: thanks
Begitu lembut; memuaskan kerinduan saya akan sebuah cerita yang mampu menyentuh nurani.
"Belum, Bu. Harusnya sudah ada 2, tapi Tuhan memanggil mereka lebih
dahulu ke surga sebelum saya. Ya, tidak mengapa. Mereka milik Tuhan.
Tuhan yang memberi, ya Tuhan juga yang mengambil," jawabku dengan
suara yang sedikit bergetar.
Membacanya, saya menangkap ada kerinduan Mbak Love akan hadirnya seorang putra . Semoga TUHAN berkenan memuaskan kerinduan Mbak dan pasangan dengan cara-NYA.
... and yes, I will pray for little Febrian and for you too...
GBU
Satu rasa yang tercecer ....
Sampai hari ini, jika melewati jalan di depan lorong rumah Febrian, jantung saya sejenak berdegup lebih kencang. Ada rasa yang saya pikir belum terungkap dalam sharing di atas. Saat saya datang, mereka sedang bersiap makan malam. Duduk di atas lantai beralas tikar tipis. Keluarga lengkap. Ada ayah, ibu, dan tiga orang anak mereka. Ketika saya datang. Masih terlihat dari luar jendela piring, nasi, rambak, entah ada sayur dan lauk atau tidak. Jadi ingat sinetron Keluarga Cemara. Pemandangan yang sudah sangat sulit ditemui kala ini. Ada rasa hangat di hati melihat kebersamaan yang seindah itu.
Jadi agak menyesal mengganggu mereka.
Ketika motor dibawa ke dalam rumah, anak perempuan mereka membawa kembali makanan-makanan tersebut ke dapur. Mereka menunda makan untuk menolong kami. Padahal bisa saja mereka bilang, "Mpun tutup, Mas."
Borongan ....
@Lola: Thanks ya :) Wah, seneng banget nih, tambah banyak lagi saudara
seiman yang mendoakan kami :) Puji Tuhan.
@Billy: Foto avatar itu bukan anak saya. Itu foto keponakan saya yang
tercinta. Bisa bikin serem yang lain kalau pasang foto anak saya di
situ :) Yang pertama lahir umurnya baru 5 bulan di kandungan, walau
udah komplit semuanya, namun kecilll sekali :) Yang kedua apalagi,
baru 3 bulan, dia udah minta keluar :) Oh iya saya pernah sharing
tentang kelahiran anak pertama saya di sini.
@Clanit: Thanks ya, Bu Guru. Amin! Makasih dukungan doa untuk Febrian :)
Much more than money
Memberi empati jauh lebih bernilai daripada memberi uang. Tidak setiap orang bisa memberi empati karena sumber empati adalah kesamaan pengalaman.
Salam.
Seringkali....
Seringkali justru ketulusan kita jumpai dari mereka yang hidupnya justru jauh dari kenyamanan...
Seringkali keramahan justru kita dapatkan dari mereka yang justru menanggung beban hidup yang lebih berat...
yah..seringkali begitu...
Bu Broto, share-nya bagus. Waktu baca, langsung di benak saya memutar adegan itu, seperti sedang melihat langsung, hehe..
*imajinasitingkattinggimodeon*