Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Bila Teroris Dihukum Mati
Katanya, begitu sudah ada tanggal pasti pelaksanaan sebuah hukuman mati, maka dalam tiga hari terpidana mati dan keluarganya mendapat sebuah pemberitahuan. Sulit membayangkan jika aku sendiri atau salah satu anggota keluarga harus berdiri di hadapan sebuah regu tembak dalam tiga hari lagi. Pasti sesuatu yang terasa sangat berat sehingga kalau boleh memilih, aku tidak akan seperti Amrozi dan kawan-kawan yang meminta dipancung saja atau paling tidak disuntik mati. Aku akan meminta jangan menunggu sampai tiga hari, bawa saat itu juga dan "dor!" semuanya selesai.
Peraturan ya tetap peraturan. Jadi, aku akan bingung apa yang akan kulakukan dengan waktu yang tersisa. Apa yang akan kulakukan untuk mengisi waktu yang pasti akan datang juga? Tidak tahu apakah tiga hari itu akan terasa sangat lambat atau sangat cepat. Selama ini, jika menantikan sesuatu yang sangat diharapkan, waktu terasa berjalan sangat lamban. Lalu ketika saat itu tiba, ia berlalu dengan sangat cepat. Namun dalam kasus kematian, aku tidak tahu apakah penantian itu akan terasa cepat atau lambat.
Bila malam itu akhirnya tiba, tidak tahu apakah bisa tidur atau tidak. Kalaupun bisa, pasti nanggung, karena sudah harus bangun beberapa menit sebelum tengah malam. Sepertinya tidak pernah ada cerita pelaksanaan hukuman mati 'resmi' menunggu ayam berkokok, menunggu si terhukum mendapat tidur yang cukup. Bukan hanya ia yang menginginkan semuanya selesai dengan cepat, petugasnyapun ingin itu segera berakhir.
Kalaupun memang bisa tidur, pasti tidak ada mimpi indah. Mimpinya pasti berhubungan dengan kematian. Mungkin bermimpi sudah di hadapan regu tembak, dan "dor!" ternyata regu tembak cuma memakai senapan mainan. Terbangun lalu menyadari panitia yang dibentuk untuk acara tembak mati juga tidak tidur. Mereka pasti tidak mau mengambil resiko ketiduran pada saat waktu itu tiba. Hanya satu hukuman bagi yang tidur sampai kebablasan saat bertugas sebagai regu tembak, tidak naik pangkat sampai mati. Mereka pasti sedang bertanya-tanya senapan siapakah yang nantinya berisi peluru? Bagaimana rasanya mengambil nyawa orang? Lalu orang yang belum pernah melihat manusia ditembak akhirnya melihat orang yang berdiri tegak tiba-tiba tumbang. Ya, sebuah kesempatan yang jarang, karena sepanjang sejarah pelaksanaan hukuman mati di depan umum, berduyun-duyun orang datang menyaksikannya.
Aku pasti memikirkan orang-orang yang menyayangiku. Mereka pasti sedih, bukan hanya sekedar sedih, tetapi akan ada sebuah luka. Tidak bisa membayangkan rasanya melihat tatapan mereka. Mereka juga tidak akan pernah bisa melupakan tatapanku ketika memandang mereka untuk terakhir kalinya. Mata kami sama-sama berkata, "Kita tidak akan bertemu lagi." Mungkin tidak adil karena aku segera melupakan tatapan-tatapan itu, tetapi mereka tidak pernah bisa melupakan tatapan pasrah yang berkata, "Selamat tinggal, jaga diri baik-baik."
Beberapa saat sebelum tengah malam itu, aku akan mendengar bunyi pintu besi di lorong. Waktukupun akhirnya tiba, aku tidak akan meronta, sudah tidak ada gunanya. Belum pernah kudengar orang yang dihukum mati meronta ketika dibawa keluar sel. Ia sudah tahu semua usaha sudah sia-sia. Mau melihat kepasrahan sejati? Lihatlah mata orang yang digiring ke tempat pelaksanaan hukuman. Orang-orang yang menggiringku pun hanyalah orang-orang yang sedang menjalankan tugas, mereka begitu manusiawi sehingga kalaupun aku sakit flu, hukuman itu pasti ditunda. Karenanya aku akan menjaga kesehatan, supaya semuanya segera selesai.
Begitu sampai di sebuah tempat terbuka, mereka akan menutup mataku dengan sebuah kain hitam, supaya tidak bisa melihat semua persiapan itu. Supaya tidak melihat sekelompok pria berseragam mengangkat senapan dan membidik jantungku. Mereka bukan sembarang orang, tembakan itu tidak akan meleset dari jarak 5 sampai 10 meter.
Membayangkan dalam keadaan mata tertutup, menanti sesuatu menghantam dada lalu semuanya berhenti, benar-benar membuat bulu tengkuk bergetar. Tidak akan terdengar aba-aba "Satu, dua, tiga. Tembak!" Tidak akan pernah tahu kapan pelatuk itu ditarik. Salah satu alasan adanya penutup mata itu, supaya tidak melihat komandan regu mengangkat sebuah pedang sebagai isyarat.
Selama ini aku mengira begitu sebutir timah panah menembus jantung, semuanya langsung gelap, rasa sakit tidak akan sempat terasa. Ternyata aku salah. Katanya sakit itu akan sempat terasa, butuh paling tidak satu menit untuk benar-benar meninggal. Akan ada kerusakan jaringan yang tidak kumengerti, lalu ada shock dan kehilangan darah, kemudian baru setelah itu mati, itu kata dokter.
Mereka lalu membuat sebuah berita acara.
***
Itulah reaksiku bila dihukum mati karena mengedar obat bius atau membunuh beberapa orang secara terencana. Tetapi jika dihukum mati karena sebuah keyakinan, reaksiku pasti lain. Aku akan menghibur mereka yang sedih karena kematian itu dan berteriak "Hidup sebuah keyakinan!"
Sekarang aku baru mengerti mengapa para pelaku bom Bali itu masih bisa mengumbar senyum. Mereka bangga mati karena merasa menjadi pahlawan. Mereka hanya pernah minta jangan ditembak, tetapi dipancung, supaya matinya benar-benar seperti pahlawan.
Hukuman mati, memang kejam, tetapi tidak terlalu kejam bagi orang yang menghadapinya karena sebuah keyakinan. Kalau mau tetap kejam, patahkan dulu keyakinan itu lalu bangunkan di tengah malam. Pasti tidak akan ada lagi sebuah senyum kemenangan.
- anakpatirsa's blog
- 5419 reads
Adil gak ya?
Hukum Mati Tidak Membuat Takut
BUKAN MASALAH KAPOK...
Mati demi keyakinan?
Debu tanah
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
Tidak Tahu Jawabannya
Dicari Sebabnya Dulu
Kalau jawabannya "IYA", barangkali sudah pantas dan selayaknya mereka binasa karena keyakinannya yang salah itu.
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Cuci Otak Lagi
AP menulis,
Hukuman mati, memang kejam, tetapi tidak terlalu kejam bagi orang yang menghadapinya karena sebuah keyakinan. Kalau mau tetap kejam, patahkan dulu keyakinan itu lalu bangunkan di tengah malam. Pasti tidak akan ada lagi sebuah senyum kemenangan.
Mm.. sebelum eksekusi. mending otak dicuci ulang lagi dengan sabun yang beda, paling tidak untuk mematahkan keyakinan dan senyuman kemenangan yang semu dan palsu itu.
*yuk comment jangan hanya ngeblog*
*yuk ngeblog jangan hanya comment*
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
Kita Semua Antri Dihukum Mati
Sebenarnya kita semua juga sedang menunggu dihukum mati, karena suatu saat semua orang pasti mati. Cuma karena belum tahu pasti saja matinya 1 menit lagi, 1 jam lagi, 1 hari lagi, 1 bulan lagi, 1 tahun lagi, atau 30 tahun lagi, jadi belum merasa takut atau gamang seperti yang Anak Patirsa uraikan. Coba bayangkan kalau kita divonis dokter mengidap kanker liver dan menurut statistik hidup kita tidak akan lebih dari 6 bulan lagi, kemungkinan besar akan merasa seperti yang digambarkan Anak Patirsa. Dari buku yang pernah saya baca, dikatakan bahkan ketika melakukan hubungan sexual dengan pasangan pun rasanya sudah tak jelas lagi (setelah tahu bahwa dirinya mengidap kanker ganas yang mematikan).
Oleh karena itu, orang bijak berkata : "Bekerjalah seolah-olah kita masih akan hidup 1000 tahun lagi, namun beribadahlah seolah-olah besok pagi kita mati".
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
orng-orang "keren"..
setuju sekali
kalau saudaraku joli bilang seperti stefanus..saya setuju sekali..karena keyakinannya tidak memakan korban,lha kalau seperti blognya saudara AP ini yang dicontohkan adalah amrozi cs yang jelas jelas keyakinannya untuk membunuhi umat umat selain keyakinan dia,apakah itu keren juga???hwarakadah
Shaloom Bapa mengasihi kita semua..
To Puput: Apa sebabnya pengaruh?
Debu tanah
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
DeTa, Tolong Contohnya..
Halo DeTa, Iya nih, kemarin-kemarin aku lagi unpluged dan lebih banyak menikmati hidup sosialisasi di dunia nyata. Asyik juga..
Tentang pertanyaanmu di atas, tolong dong kasih contohnya dulu : orang yang hatinya lembut, dan rendah hati, mudah diajar, cinta Tuhan, mengenal betul Yang Maha Kuasa dan firman-Nya, tapi punya keyakinan yang salah dan melakukan hal yang salah sampai-sampai oleh pengadilan harus dihukum mati. Misalnya siapa, gitu?
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Intinya pada Kebenaran
Harusnya Puput yang kasih contoh..
Debu tanah
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
@DeTa : Memang Ga Ada
Iya Det, aku nyari-nyari 'lom ktemu tuh yang seperti itu. Orang yang rendah hati, lembut hati dan mau diajar kebenaran, sungguh-sungguh kenal dan cinta Tuhan, tulus dan hidup kudus, masak iya sih sampai-sampai berkeyakinan salah dan melakukan sesuatu yang membuat dia harus dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Mustahil 'kan? Jadi menurutku mereka yang berkeyakinan salah ya bakalan binasa, karena dasar berkeyakinan salah itu adalah dosa kesombongan. Kalau keyakinannya salah, trus masuk surga, justru Tuhan yang ga adil dong...
Gitu Det, aku cuma mau coba jawab pertanyaanmu yang Anak Patirsa bilang ga tahu jawabannya itu.
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Hukuman mati berarti tidak memaafkan dan memberi pelajaran