Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

“Bapak Pimpinan Perusahaan

Inge Triastuti's picture

yang terhormat, saya memohon kebesaran hati Bapak untuk menerima saya bekerja. Saya bersedia bekerja apa saja,” begitulah penutup sepucuk surat lamaran kerja. Kalau proses seleksi surat lamaran memakai cara Idola Cilik, surat ini pasti lolos karena memancing banyak simpati sementara skilnya tidak perlu lagi dicermati. Surat itu aku singkirkan agar aku tak kena marah atasanku. Satu lagi aku singkirkan karena dalam fotokopi ijasah nilainya dirubah. Masih ada 88 surat yang darinya harus kuambil 40 nama saja untuk diundang menghadiri psikotest pendahuluan.

Departemen HRD menerima 300-an surat lamaran dari Jakarta dan sekitarnya sebagai respon iklan lowongan kerja untuk marketing yang dimuat di surat kabar dan yang memenuhi kriteria ada 90 lembar. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, orang HRD hanya sanggup menangani proses seleksi untuk 40 orang saja. Dan pemilihan itu menjadi tugasku. Aku orang marketing yang mengajukan diri untuk membantu pekerjaan rekrutmen ini karena aku ingin mempelajari prosesnya. Sebetulnya seh pinginnya bisa keluar kantor, mengurus ruang wawancara di hotel, membelikan makan siang buat peserta testing. Tetapi aku tidak menyangka pekerjaan pertama adalah membantai harapan 50 pelamar yang memenuhi kriteria hanya karena keterbatasan perusahaan. Help me please, aku tidak tahu caranya. Atasanku berkata, “Tutup mata, berdoalah, lalu tanpa membuka mata kamu comot 40 nama.” Mia yang mejanya berseberangan dengan aku malah menakuti aku, “Apa kamu ga merasa berdosa kalo ada orang yang lompat dari pucuk Monas gara-gara lamarannya kamu singkirkan?”

Semua penulis surat ini adalah cowok. Memang itu termasuk kriteria karena mereka akan memimpin unit pemasaran tingkat kabupaten. Yang tulisan tangannya rapi aku ambil dulu. Lalu aku meneliti yang ditulis dengan komputer. Ya ampun. Apa mereka ini “copy paste” dari sebuah milis kok seragam sekali. Yang beginian aku singkirkan. Tetapi jumlahnya masih 60-an. Lalu aku mulai menelusuri kalimat-kalimat yang tertera. Ada yang menarik. Sebuah surat diakhiri dengan kalimat, “Saya tidak mempunyai pengalaman kerja yang resmi. Walaupun saat ini saya membantu usaha paman saya sebagai sopir mobil antar-jemput anak-anak sekolah, bila saya diberi kesempatan untuk sebuah wawancara, Bapak akan mengetahui saya adalah orang yang Bapak perlukan.” That’s it!


Di dalam mencari pekerjaan, persaingan telah dimulai pada saat sebuah surat lamaran dilayangkan.
Suratmu harus tampak menarik di antara ratusan surat lainnya bila tak ingin masuk keranjang sampah sebelum selesai dibaca. Tentunya ini bukan berarti kamu harus melampirkan seluruh piagam yang kamu miliki termasuk piagam kenaikan tingat karate bila yang kamu inginkan adalah jabatan pramuniaga supermarket. Atau menghiasi tepi surat dengan gambar bunga-bunga kecil. Apalagi menempelinya dengan selembar uang seratus ribu rupiah. Surat macam ini memang menarik. Menarik untuk dijadikan bahan tertawaan.

Hindarilah kalimat yang merendahkan diri seperti “saya mohon diterima bekerja karena saya telah menganggur 2 tahun” atau “apabila saya diterima bekerja berarti Bapak/Ibu telah berjasa menyelamatkan hidup saya sekeluarga.” Hindari kalimat-kalimat menjilat, seperti “Perlu Bapak ketahui bahwa produk-produk perusahaan ini sudah dipakai keluarga saya sejak kakek-nenek saya karena mutunya memang prima.” Hindari kalimat-kalimat sombong, misalnya “Apabila saya diterima bekerja di perusahaan Bapak, saya yakin bisa membuat perusahaan Bapak makin maju dengan menghilangkan biaya-biaya yang tidak produktif.” Hindari kalimat-kalimat klise, seperti “saya akan mengabdikan hidup saya untuk perusahaan ini.” Apalagi, “saya akan bekerja di perusahaan ini dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi saya.” Yeeee, kalimat Alkitab jangan dibawa-bawa dong. Enggak konek, bro.

Berilah sentuhan pribadi pada surat lamaranmu. Tulislah suratmu dalam bahasa sehari-hari dengan tulisan tangan, dalam bahasa yang sopan, singkat, tidak lebih 1 halaman folio HVS tanpa garis. Jika tulisan tanganmu jelek, pergunakan komputer dengan 1 jenis font saja agar tidak dikira sedang membuat majalah dinding. Sisipkan dalam kalimat singkat hal-hal yang menunjukkan kamu punya jiwa bisnis atau wirausaha. Misalnya, “Saya diwisuda akhir tahun lalu dengan nilai biasa-biasa saja, 2.98. Tetapi saya bangga sekali karena seluruh biaya kuliah bisa saya tanggung sendiri dengan membuat roti yang saya titipkan ke warung-warung yang ada di sekitar kampus.” Apa yang akan terpikir oleh pembacanya? “Anak ini memang nekad. Nilainya masih kurang, ikutan melamar. Tapi dia punya jiwa entrepreneur (person who starts a business). Ia tidak malu ketahuan teman-teman kuliahnya cari duit dengan berjualan roti. Menurut kamu bagaimana?” Apa salahnya dia dipanggil agar kita tahu seperti apa seh tongkrongan (bentuk tubuh) orang nekad yang berjiwa pionir itu. Lagipula kalo kita butuh roti ‘kan ga repot kesana kemari. “Okey, masukkan namanya ke daftar panggilan.” Cihuiii.

Jangan menyangka aku bisa mempengaruhi orang HRD itu. Aku pernah kena marah dia gara-gara menyingkirkan seorang pelamar karena nilai IPKnya kurang sedikit. “Jangan menilai manusia dari nilai IPKnya saja. Lihat yang lain. Kalau kamu belum pernah kuliah, aku beritahu nilai jelek di universitas bisa diperbaiki lewat remidi. Itu kalau ia punya uang untuk mengulang. Boro-boro remidi, untuk membiayai kuliahnya saja mungkin bapaknya sudah menggadaikan kepalanya.” Aduh, mukaku panas sekali kayak habis digaploki. Marah ya marah, tapi jangan keterlaluan dong. Memangnya adik kembarku yang ujian, gue yang diwisuda?

Satu lagi tip buat kamu yang sampai sekarang masih terpaksa memelihara hobi menulis surat lamaran kerja. Jangan berdusta! Jika pengalaman kerjamu sekedar sopir taksi, pegawai ketering, penjaga warung atau loper koran, tulis saja! Dalam menghadiri acara wawancara, aku baru tahu keberanian berlaku jujur juga diperhatikan. Banyak yang terjebak dalam pertanyaan silang sewaktu wawancara sehingga ketahuan mereka sebetulnya mempunyai pengalaman kerja “rendahan” seperti itu tetapi tidak mereka tulis di suratnya hanya karena malu. Mereka harus digugurkan karena “mereka tidak bisa menghargai apa yang mereka kerjakan” kata seniorku. Memang, pada umumnya perusahaan menyukai karyawan yang bangga akan pekerjaannya. Mereka punya self-motivation. Ketika aku berhadapan dengan mereka yang berani menulis pengalaman “rendahan” ini, aku tercengang. Mereka penuh percaya diri, keuletan dan kreativitas tinggi. Ada yang pagi-pagi buta jadi kuli di pasar beras, baru kemudian berangkat kuliah, lantas sorenya jadi pembina pramuka dan malamnya memberi privat les. Ia menceritakan pengalamannya tidak untuk memancing belas kasihan pendengarnya. Walaupun ia dilecehkan habis-habisan kebanggaannya tak goyah, karena dalam ketatnya persaingan memperebutkan lahan nafkah di kota metropolitan ini mereka berhasil survive.

 

Dan sekarang aku beritahu mengapa aku pernah menganjurkan kamu punya side job sementara mencari pekerjaan tetap. Orang-orang yang sudah punya side job, sewaktu wawancara lebih punya percaya diri, tetap tenang dan tidak terpancing emosinya sewaktu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menusuk perasaan, karena bagi mereka “nothing to lose” bila mereka tersisihkan dalam kompetisi ini. “Ga lulus ga masalah. Gw masih punya kerjaan,” begitulah yang mereka pikirkan.

Ketika aku bertanya kepada para pewawancara apakah nada dan kalimat tanya mereka yang seperti interogasi itu bisa diperhalus sedikit, apa jawab mereka? “Ketika seseorang marah dan tidak bisa mengendalikan marahnya, ia lepas kontrol sehingga ia akan memuntahkan semua yang dipikirkannya dan lupa untuk menutupi kebohongannya yang mungkin sebelumnya ia lakukan. Wawancara yang kita lakukan bukan lagi untuk mengukur ketrampilan, tetapi sampai di mana ketahanannya menghadapi tekanan pekerjaan nanti. Kita tidak perlu lagi mengukur skill-nya, tapi mengukur karakternya yang kalau jelek cuma akan bikin susah perusahaan saja.”

Jika kamu belum punya pengalaman kerja, pertanyaan yang paling sering diajukan adalah apa hobimu atau apa yang selama ini kamu lakukan sehari-hari. Di sini juga, jangan berdusta! Pernah seorang pelamar mengatakan punya hobi voli. Celakanya seorang dari antara pewawancara punya hobi yang sama. Ia dicecer dengan istilah-istilah yang dipergunakan dalam olahraga itu dan ketahuan hobinya adalah menonton pertandingan voli, bukan pemain. Jika kamu tidak punya hobi apa-apa, katakanlah. Biasanya pertanyaannya berubah menjadi “mata kuliah apa yang paling kamu sukai, and why.” Tujuan pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk mengukur ketrampilan kamu mengungkapkan pikiran atau ide kamu.

Seorang teman segereja bercerita, setelah menjawab ‘saya mengajar Sekolah Minggu’ atas pertanyaan ‘apa yang kamu lakukan pada hari Minggu?’ seorang pewawancara meminta ia memperagakan sebuah cerita Alkitab. “Ya ampun, gue ga nyangka ada orang Kristen di situ. Mintanya Tembok Yerikho Roboh lagi dan kelasnya kelas balita. Ya aku lakukan. Waktu harus tereak, gue tereak juga, ampe mereka kaget.” Lowongan apa yang kamu lamar, tanyaku. “Sales promotion girl,” jawabnya. Pantes!

Pertanyaan-pertanyaan itu tujuannya memancing kamu bercerita untuk dilihat ketrampilan komunikasi kamu. Itu saja! Apakah kamu bicara runtut, tidak kesana kemari, punya body language (terutama ekspresi wajah), dan tahu kapan harus berhenti omong. Walaupun lowongan yang kamu lamar adalah operator data, kemampuan komunikasi tetap diperlukan untuk menghindari ‘salah omong salah maksud’ dengan rekan sekerjamu. Apalagi bila lowongan itu sangat membutuhkan kemampuan berkomunikasi, misalnya customer service di bank.

Pengalaman membantu acara wawancara membuat aku berkesimpulan bahwa kemampuan berkomunikasi bukan masalah bagi mereka yang pernah atau masih terlibat dalam kegiatan berorganisasi (Karang Taruna, organisasi keagamaan/sekolah), kegiatan olah raga kelompok (sepak bola, voli, basket) dan pedagang (salesman, spg, penjaga warung).

Sebulan kemudian aku dipanggil ke kantor pusat. Ternyata mereka yang telah lulus ini dikumpulkan dengan para finalis lain dari semua kantor cabang di seluruh Indonesia untuk diadu kembali dalam kecepatan menyerap pengetahuan dasar bisnis. Aku ditugaskan membantu tim pengajar dan meng”update” personal record mereka setiap hari. Lima puluh lima finalis, yang semuanya pria, dari seluruh Indonesia ini selama 2 minggu diberi pengetahuan pekerjaan sekaligus diuji kemampuannya. Hanya 30 orang yang akan diambil.

Pada hari terakhir, ketika nama-nama para juara diumumkan emosi mereka seperti yang terjadi dalam acara Indonesian Idol. Bagaimana tidak? Mereka akan mendapatkan gaji paling sedikit 2 sampai 3 kali lipat daripada yang mereka terima di tempat kerja sebelumnya yang membuat mereka tidak berkeberatan ditempatkan di kota-kota terpencil. Sorak kegembiraan bagi yang menang, wajah kuyu bagi yang tersingkir. Para pemenang langsung dikumpulkan untuk medical test. Tetapi kami tak bisa segera berangkat ke rumah sakit karena ada satu juara yang hilang. Namanya diteriakkan rekanku berulang kali, namun tak juga ia muncul. Sementara rombongan menunggu, aku mencuri waktu ke toilet. Pintu gudang di sebelah toilet agak terbuka. Aku tertegun melihat juara yang hilang itu ada dalam gudang duduk bersimpuh di lantai. Pemuda itu sedang bersembahyang. Ia sering diejek teman-temannya karena sembahyang tahajud setiap tengah malam. Ah, betapa mengharukan pemandangan ini. Ketika para juara lain berlompat-lompat meneriakkan kegembiraannya, ia mencari tempat sunyi untuk bersimpuh membisikkan syukurnya kepada Allah tanpa mempedulikan namanya dipanggil. Ketika ia keluar aku melihatnya matanya merah. Aku menyalaminya. “Saudara ditunggu di luar. Selamat, dan semoga berhasil melalui 6 bulan masa percobaan mendatang.” Aku segera meninggalkannya. Aku tak mau ia sempat melihat mataku berkaca. Kelak kemudian hari ia meniti karirnya dengan baik.

Setiap orang Kristen yang baru mendapat pekerjaan pasti mengucap syukur. Teman-teman satu vocal groupnya ditraktir makan donat. Tuhan juga ditraktir. Seluruh gaji bulan pertamanya diberikan kepada gereja. Persembahan buah sulung. Puji Tuhan! Sayangnya yang namanya acara nraktir ini cuma sekali saja. No, no, temanmu tidak perlu kamu traktir lagi bila itu cuma sepiring batagor di warung tenda seberang gereja. Persembahan persepuluhan? Aha, pasti bisa kamu lakukan. Tetapi ada sesuatu yang jauh lebih penting, yang tidak berupa uang.

Ketika aku memberikan pujian kepada seorang dari mereka yang telah lulus masa percobaan, apa katanya? “Setiap orang akan selalu berusaha semaksimal mungkin agar lulus. Ia akan bekerja mati-matian. Tetapi apakah ini merupakan jaminan bahwa ia akan tetap menjaga prestasinya untuk tahun-tahun berikutnya?” Ini orang yang selalu minta waktu untuk sembahyang tengah hari apa tidak salah omong? Seharusnya atasannya yang berpidato seperti itu. Tetapi karena ia bertanya dengan tulus, aku beri ia nasihat, “Bekerjalah seolah-olah kamu masih dalam masa percobaan dan dapat dipecat kapan saja. Tanpa pesangon lagi!” Tiga tahun kemudian prestasinya belum juga menurun.

Seandainya dua orang yang aku ceritakan itu adalah orang Kristen, wow betapa indahnya! Kita orang Kristen sering menempatkan Tuhan sebagai calo tenaga kerja. Ketika kamu belum mendapat kerja, setiap hari kamu menyambangiNya, memohon-mohon, membawa sogokan, bahkan menjanjikan komisi. Begitu kamu dapat kerjaan, kamu bayar Dia. Selesai, putus hubungan. Bila masih ada kontak itu pun hanya pada hari Minggu just to say hallo. Mungkin kamu tidak tahu nasib calo tenaga kerja bila orang yang direkomendasikan ternyata mutunya payah. Ibu-ibu rumah tangga sering melabrak calo PRT bila karyawannya ini punya hobi molor, korup dan penggerutu. Dan Tuhan pun dipermalukan setiap ada orang yang mengeluh “payah deh punya karyawan Kristen.

Pernahkah pada malam hari setiap setelah menerima gaji kamu mengenang kembali bagaimana sulitnya dulu menemukan lowongan pekerjaan; ujung bajumu yang kusut basah teremas-remas ketika diwawancarai; luapan kesukaan dalam sedumu ketika berhasil mengalahkan puluhan bahkan ratusan pesaing; puji syukurmu kepada Tuhan ketika lulus masa percobaan? Jika kamu belum pernah, lakukanlah sekarang juga! Kenanglah kembali saat-saat itu ketika kamu menggenggam erat jemari Tuhan dalam perjuangan ini. Kemudian periksalah apakah tanganmu masih berada dalam telapak tanganNya saat ini. Kamu masih membutuhkanNya, bahkan sangat memerlukanNya. ***

y-control's picture

org HRD...

saya suka tulisan ini.. kalau bukan orang hrd sendiri yang ngomong blak2an gini, banyak pelamar kerja yg sbnrnya potensial tapi kurang pintar bikin surat akan tetap jadi pengangguran.. terima kasih banyak inge... saya yakin mestinya org hrd di sabdaspace bukan cuma anda hehehe, tapi faktanya andalah yg rela menulis sedemikian jelas utk kita2.. kalo boleh sharing, saya sendiri selalu ingat masa-masa hampir setahun setelah lulus kuliah yang lalu (atau setahun lebih, kalau dihitung sejak pertama mulai lamar2 kerja). saya adalah pengangguran, mengirim ratusan lamaran lewat email dan pos, beli koran tiap sabtu-minggu, ikut milis dan membership di situs2 pencari kerja, beberapa kali dipanggil atau diwawancarai, ke kota yang jauh, habis banyak transport& tenaga, merepotkan cukup banyak orang yg telah membantu saya, tapi tetap tidak ada yg gol.. aduh.. semua karena saya membayangkan apa yang dinamakan 'pekerjaan ideal', sesuai minat dan bidang, gaji besar, bisa dibanggakan... sebelum kemudian pekerjaan pertama saya justru saya dapat karena sistem getok tular... meski sampai saat ini paling tidak saya sudah pernah bekerja di 3 tempat, saya masih merasa belum menemukan pekerjaan yg saya inginkan... tulisan ini membuat saya sekali lagi (selalu) merasakan solidaritas dng para pelamar kerja.. komentar spt ini tentu saja bukan hal yang ingin didengar hrd ya? hehe.. untung saja ini bukan wawancara, tapi memang mencari kerja adalah masa2 yg menghantui dan tidak bisa saya lupakan.. oh ya, lain kali mgkn saya juga akan ceritakan org2 hrd di kantor saya yg sekarang, kinerja mereka konyol2 sekali..
Inge Triastuti's picture

Tape Ayu Pasar Legi

Jika saya bercerita tentang kegiatan bisnis malam hari di sepanjang Jl.Pasar Legi Solo, dari tembok Mangkunegaran di selatan sampai di proliman (simpang lima) di utara, jangan langsung menebak saya jualan tape di sana. Mungkin saja saya penduduk Tambak Segaran yang kerja di apotik Nusukan sehingga setiap malam melintasi Pasar Legi.


Bukan karena Anda tidak menyukai orang HRD, maka saya bilang saya bukan orang HRD. Saya tahu proses rekrutmen karena saya hobi mencatat informasi yang saya dapat. Saya bertanya kepada rekan-rekan kerja “dulu waktu kamu melamar di sini apa testingnya, kamu ditanyai apa saja.” Waktu saya makan siang di kantin pinggir jalan dekat kantor, saya juga mencari informasi dari karyawan kantor lain bagaimana proses rekrutmen mereka dan berapa gaji perdana mereka. Siapa tahu saya bisa pindah pekerjaan yang lebih baik. Jangankan gaji karyawan, gaji pendeta pun saya ingin tahu. Kalau lumayan apa salahnya kita ambil S2 di teologia, bukan? Tetapi walaupun tahu, tidak etis kan memasang poster taripnya di Pasar Klewer. Apa kata tetangga dekat kita dari Pasar Kliwon dan Pasar Gede nanti. Nah, sampai di sini jangan-jangan Anda kembali tergoda untuk berpikir, “Jangan-jangan orang ini pernah buka lapak di Gladak.” Padahal pengetahuan ini juga bersumber dari kesukaan saya mencatat informasi-informasi yang saya dapat, juga apa yang saya lihat, untuk kemudian memanfaatkannya pada waktu yang tepat.


Kalau wajah orang-orang HRD lebih sering tidak hepi, percayalah itu bukan karena mereka tahu mereka dibenci banyak karyawan. Tetapi karena merekalah yang paling ditekan oleh pemilik perusahaan. Di tempat kerja saya, yang paling besar “turnover”nya (angka keluar masuknya karyawan) adalah departemen HRD. Jarang ada yang bisa bertahan lebih dari 3 tahun. Makan ati.

Karena itu, lebih baik jangan bekerja di bagian HRD. Be happy dan sukses selalu di jalan Tuhan. GBU. ***

hai hai's picture

Cari Yang Lebih Jelek Dari Istri Bos

Sebagai seorang yang pernah bertahun-tahun telibat dengan masalah rekrutmen dan penilaian karyawan, saya mengkonfirmasikan bahwa apa yang ditulis oleh mbak Inge itu benar. Saya sering bilang, ketika melakukan rekrutment dan penilaian karyawan, kita seding lupa dan berprilaku seolah kita adalah Tuhan.

Satu hal yang belum ditulis oleh mbak Inge namun adalah hal yang sangat penting adalah, bila istri bos terlibat dalam perusahaan, maka ketika hendak merekrut karawati, plihlah yang lebih jelek dari istri bos. Yang kedua, ketika merekrut karyawan, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah siapa yang akan menggunakan karyawan tersebut. Yang terbaik sering ditolak, karena tidak sesuai dengan pemakainya.  

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak