Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Ayah yang Tidak Sempurna
Untuk kesekian kalinya aku melihat pasar malam kampung, pasar malam yang diadakan setiap bulan Agustus, tentu saja dalam rangka 17-an. Orang-orang kampung yang sederhana membutuhkan hiburan, maklum tidak ada bioskop atau mal. Yang ada hanyalah sebuah pasar kampung yang sedikit kumuh, sehingga bukan tempat yang menyenangkan untuk jalan-jalan melepas kejenuhan.
Jadi tidaklah mengherankan jika akhirnya pasar malam merupakan acara yang selalu kami tunggu setiap tahun. Sebuah kesempatan untuk keluar di malam hari, sebuah kesempatan melihat lempar gelang, sebuah kesempatan melihat orang-orang kampung menyanyikan lagu dangdut sekeras-kerasnya, sebuah kesempatan melihat orang-orang kampung yang sederhana mempertontonkan kebolehannya yang sederhana.
Banyak acara yang bisa diikuti setiap malam, ada lomba cerdas cermat, lomba menari, lomba joget, lomba membaca puisi dan segala macam lomba. Setiap lomba diselingi dengan unjuk kebolehan. Siapapun yang merasa punya kelebihan dan kepercayaan diri boleh mendaftarkan diri, gratis dan tanpa tes.
Jadinya bukan hanya sekali kami melihat seseorang melompat dari atas panggung karena lupa bait sebuah puisi. Atau melihat seseorang menjadi bahan tertawaan di atas panggung tanpa mengetahui apa yang menyebabkan semua orang tertawa. Ya, kami pernah menertawai seseorang yang sedang menyanyi, padahal kami tidak tahu apa yang lucu. Setelah pulang kami baru tahu, seseorang berkata si penyanyi langsung menyanyi sekeras-kerasnya begitu alat musik dimainkan tanpa menunggu musik intro. Sebuah istilah yang tidak kami mengerti.
Kami juga bisa tertawa sekeras-kerasnya ketika dalam acara cerdas cermat, seorang pembawa acara merogoh kantongnya dengan kebingungan. Akhirnya seorang anak yang ketiduran dibawah panggung naik ke atas, mengantar secarik kertas. Ternyata kertas itu merupakan daftar pertanyaan yang terjatuh dari kantong celana yang sobek.
Aku ingat, ada salah satu acara tujuhbelasan yang tidak pernah kulupakan. Acara ketika seorang anak berumur tiga tahun tampil ke atas panggung. Anak bernama Iyan ini mampu menjawab semua pertanyaan seputar nama-nama menteri, dan nama-nama ibukota di seluruh dunia. Semua orang berdecak kagum, bahkan mungkin ada orang tua yang dalam hati kecilnya berharap anaknya juga bisa punya kemampuan seperti itu.
Dalam perjalanan pulang aku mendengar orang-orang membicarakan anak ini.
"Anak kecil seperti itu isi otaknya masih sedikit, sehingga dengan mudah apapun masuk ke dalamnya," kata seorang bapak-bapak, "kalau kita ini, maklum saja. Otak kita sudah penuh dengan segala macam masalah."
"Setiap hari ibunya mengajarkan nama-nama menteri dan nama ibukota, dan banyak lagi yang lain, bahkan si Iyan juga diajarkan kata-kata bahasa Inggris," timpal seorang bapak yang berjalan di belakang. Jalanan begitu gelap dan hanya beberapa orang yang membawa lampu senter, sehingga orang-orang harus berjalan berombongan.
"Bisa-bisa anak itu menjadi rusak kalau sudah dewasa," kata ayah waktu aku menceritakan kehebatan si Iyan kepadanya. Malam itu ia tidak ikut menonton pasar malam.
Aku masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Tidak mengerti kenapa ayah tidak ikut memuji Iyan, bahkan ia menyalahkan kedua orang tuanya.
***
Ayahku bukanlah seorang ayah yang sempurna. Ia hanyalah seorang guru biasa, berasal dari kampung biasa, dan hidup sebagai ayah biasa, tidak ada yang istimewa.
Ia hanyalah seorang ayah yang tidak pernah berbohong. Kami yakin ia tidak akan berbohong dalam keadaan terdesak sekalipun. Sebagai anak-anaknya, kami tahu kami tidak boleh berbohong, walaupun ayah tidak pernah berkata "jangan berbohong."
Ia telah mengajarkan kami arti kerendahan hati dengan tidak pernah menyombongkan diri atau mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kelebihannya. Orang tahu kami keluarga miskin dan ayah tidak pernah pura-pura menjadi orang kaya, ataupun berkata kalau ia mempunyai sesuatu yang berharga.
Ia merupakan ayah yang selalu berbicara apa adanya. Aku ingat ketika seeorang pernah membanggakan perahu-perahunya, ayah hanya berkata, "Sampai sekarang saya masih menumpang di rumah mertua, tidak memiliki rumah sendiri."
Ia tidak pernah memaksa kami belajar, atau mengatur jadwal belajar kami. Bahkan ketika kami menyibukkan diri belajar karena besok akan ulangan, ia hanya berkata, "Waktu aku sekolah, aku tidak pernah belajar seperti kalian. Aku hanya selalu memperhatikan apa yang dikatakan oleh guru di kelas. Kalau musim durian, aku membawa buku catatan kebawah pohon durian."
Ketika kelas 3 SMP, dalam persiapan EBTANAS, aku melihat teman-teman menggunting kertas lalu menulis arti istilah-istilah di lembaran-lembaran seukuran uang kertas. Aku juga mengikutinya, bahkan punya satu koper kecil berisi kartu-kartu ringkasan semua pelajaran.
"Jangan menulis dan menghafal seperti itu," kata ayah, melihat aku dengan rajin membuka koper berisi kumpulan kerta-kertas kecil yang kususun seperti orang menyusun uang di film-film, "baca bukunya dan tangkap pengertiannya."
Ayah telah mengajarkanku cara belajar.
Sepulang sekolah, ayah tidak memaksa kami untuk tidur siang. Kami lebih senang bermain bersama teman-teman di luar rumah. Bagi anak-anak seperti kami, berenang di sungai atau kejar-kejaran di bawah pohon durian lebih menyenangkan daripada tidur siang.
Begitu sore tiba, kami harus ke kebun. Ada yang berkata menyuruh anak bekerja merupakan pelanggaran hak anak untuk belajar. Tetapi bagi kami bekerja di kebun merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Sangat menyenangkan melihat anak-anak kucing peliharaan kami main kejar-kejaran di kebun, bahkan anak-anak kucing ini kadang-kadang menginjak bibit yang telah kami tanam. Anak-anak ayam juga boleh ikut mencari cacing di tanah yang barusan kami cangkul, bahkan kalau sedang malas, mereka hanya mematuk bibit yang barusan kami tabur.
Ya, ayah kami bukan ayah yang sempurna, tetapi kami beryukur punya ayah yang tidak mendidik kami menjadi sosok anak ideal yang diinginkannya. Ia menjalankan tugasnya sebagai ayah hanya dengan tidak pernah berbohong, tidak pernah membual, tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar, serta tidak pernah melakukan sesuatu dengan kasar.
Kadang-kadang ia melakukan tugasnya sebagai ayah hanya dengan membuatkan layang-layang, gasing, atau enggrang. Sebagai ayah, ia membuatkan kami mainan sampai kami bisa membuatnya sendiri.
Di kampung tidak ada perpustakaan, dan ayah terlalu miskin untuk membeli buku tentang cara mendidik anak. Akhirnya ia hanyalah seorang ayah yang mendidik anak-anaknya melalui kehidupannya sendiri. Termasuk memberi kami rasa aman dengan suasana hatinya yang tidak naik turun. Sikapnya terhadap kami selalu sama, baik pada waktu hatinya senang maupun ketika hatinya sedang mengalami kegundahan. Kami tahu kami boleh datang kepada ayah kapan saja. Tidak perlu menunggu hatinya senang setelah mendapat uang.
***
Sekarang, setelah semua anak-anaknya dewasa dan meninggalkannya, ia hanyalah seorang ayah yang tubuhnya makin hari makin lemah karena diabetes. Ia hanyalah seorang ayah yang separuh bagian tubuhnya mati terserang stroke. Seorang ayah dengan hampir semua ingatannya hilang, bahkan nama-nama anaknyapun tidak bisa diingatnya. Tetapi bagi kami ia tetap seorang ayah yang baik, walaupun bukan ayah yang sempurna.
Adik bungsuku pernah bercerita. Suatu hari, karena liburan kami habis, kami kembali ke kota, adikku yang masih SD merasa kesepian karena tiba-tiba rumah yang selama sebulan ini ramai tiba-tiba menjadi sepi. Ia masuk ke kamar ayah sambil menangis, ayah hanya memeluknya sampai pagi.
Ketika menceritakan cerita ini, adikku tidak bisa menahan air matanya, Sebuah cerita yang tidak pernah diceritakannya selama hampir 20 tahun. Mungkin ia menangis karena sekarang melihat ayah sedang terbaring tidak berdaya.
Melihat ayah sekarang dan mengingat apa yang dilakukannya untuk kami, aku merasa betapa menyedihkannya kehidupan anak yang memiliki ayah sempurna. Kasihan karena memiliki ayah yang mendidik anaknya menjadi sosok anak yang diinginkannya. Anak yang tidak pernah merasakan indahnya punya kebun sendiri, anak yang tidak pernah melihat tanaman yang akhirnya selamat dari kaki-kaki mungil anak kucing yang berlarian atau patukan anak ayam.
Betapa menyedihkan menjadi anak yang tidak pernah merasakan senangnya main kejar-kejaran di bawah pohon durian. Betapa tidak menyenangkan harus tidur siang hanya supaya bisa segar mengikuti segala macam les yang ketat setiap sore.
Betapa menyedihkan nasih Iyan, pada masa kecilnya, ia sudah harus menghafal nama-nama yang sebagian ternyata menghancurkan negerinya sendiri. Kasihan Iyan karena ia harus menghafal nama-nama ibukota yang sekarang sebagian sudah tidak ada.
Sekarang setelah puluhan tahun, aku mengerti mengapa ayah tidak ikut memuji kedua orang tua Iyan.
Terima kasih ayah, karena tidak pernah mengisi otak kami dengan segala macam teori. Dan terima kasih karena kebersamaan kita di kebun belakang rumah.
- anakpatirsa's blog
- 5861 reads
i wish....
*terharu*
i wish i can be like ur father. salam buat dia yah.
Kiranya...
Ternyata Ayahku Hanya Lelaki Biasa Sepertiku
Saya menikah ketika berumur 33 tahun, namun mulai mempersiapkan diri menjadi seorang ayah ketika berumur 23 tahun, pada saat itu saya berpacaran dengan seseorang dan berharap kami akan menikah ketika saya lulus kuliah, bekerja dan memiliki uang cukup untuk merayakan pernikahan kami dan menyewa sebuah rumah untuk tempat tinggal kami membesarkan anak-anak kami.
Saya bergaul dengan anak-anak kecil, memperhatikan cara orang tua mendidik anaknya, membaca buku-buku tentang pendidikan anak dan hubungan anak dengan orang tuanya. Mungkin anda pikir saya gila? Tidak, saya tidak gila, tetapi saya takut anak-anak saya membenci saya, seperti saya membenci papa saya. Waktu kecil, saya takut padanya, namun setelah lulus SMA, saya yakin dapat menghajarnya dengan mudah. Beberapa kali terpikir untuk menantangnya duel, namun tidak kulakukan karena saya tahu mama tidak akan mentolerir hal itu.
Setelah lulus kuliah, di belakangnya, saya menyebut ayah saya "si tua bodoh." Ketika berhadapan, saya tetap menyebutnya papa, bukan karena saya meghormatinya, tetapi untuk menunjukkan kepadanya bahwa saya masih tahu tatakrama.
Suatu siang, saya ingat waktu itu saya berumur 28 tahun, saya menumpang bis Jakarta Sukabumi, saya duduk di samping jendela kanan. Bis yang kutumpangi melaju di jalan tol Jagorawi di siang terik. Sebuah mobil box merek Mitsubishi Cold berusaha menyusul bis yang kutumpangi, namun supir bis memberikan perlawanan. Aku memandangi mobil tersebut, di bangku depan, ayahku duduk di samping supirnya, dia sedang dalam perjalanan pulang dari berdagang. Dia duduk tenang, pandangannya menerawang. Aku terus memandangi ayahku, aku tidak tahu berapa lama aku memanndanginya, namun, hingga hari ini, peristiwa itu terus kukenang. Aku, dari ketinggian bis, memandanginya di kerendahan Cold Mitshubisi dan terus memandanginya, hingga tiba-tiba muncul sebuah kesadaran di dalam hatiku, AYAHKU HANYA SEORANG LAKI-LAKI BIASA.
Ketika mobilnya melaju di depan bis yang kutumpangi, pikiran itu terus berkecamuk di dalam hatiku, ayahku hanya seorang lelaki, dia bukan dewa, dia hanya seorang lelaki biasa sepertiku. Aku memujanya sebagai dewa, namun prilakunya adalah prilaku seorang lelaki biasa, itu sebabnya aku membencinya, dan menyalahkannya. Aku menghormatinya sebagai raja dan berharap dia mendidikku untuk jadi pangeran, namun dia hanya seorang lelaki biasa yang berprilaku sebagai lelaki biasa, itu sebabnya aku memusuhinya dan menyebutnya si tua bodoh.
Sejak hari itu, aku menerima kenyataan, bahwa ayahku hanya seorang lelaki biasa, sama seperti aku, seorang lelaki biasa.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Pendidikan yang Terpenting
anakpatirsa menulis:
"Terima kasih ayah, karena tidak pernah mengisi otak kami dengan segala macam teori. Dan terima kasih karena kebersamaan kita di kebun belakang rumah"
Amin amin... pengetahuan akan lenyap ditelan waktu, tetapi pendidikan untuk mengasihi Tuhan dan sesama-lah yang mempersiapkan kita untuk kehidupan kekal!
Ayah ku????
Lord, when I have a hammer like YOU, every problem becomes a nail. =)
Untuk Hari Bapak
Ayah tercinta..
Kemana akan kucari
aku menangis seorang diri
hatiku slalu ingin bertemu
untukmu aku bernyani
Untuk ayah tercinta
aku ingin bernyanyi
walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
walau hanya dalam mimpi
Lagu ayah.. sering dinyanyikan di tahun 80 an..
entah mengapa hari ini aku merindukannya.. sangat merindukannya.. sehingga teringat lagu lawas yang dulu sering kunyanyikan ketika rindu padanya..
Ayah. sosok yang sangat kubanggakan dan kusayangi melebihi ku menyayangi diriku sendiri..
Ayahku bukanlah ayah yang sempurna.. tetapi aku sangat mencintainya.. kurindu tetap bisa bersamanya baik di dunia maupun di sorga..
Kurindu.. untuk mengenalkannya kepada Sang Penciptaku.. dan Sang Putra yang memberi keslamatan.. dan Sang Pembimbingku..
Ku ingin memohon belas kasihan kepadaNYA.. untuk memilih dan memberi anugerah keslamatan kepada papaku tersayang..
Untuk ayah tercinta
aku ingin bernyanyi
walau air mata di pipiku