Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Apostasy dalam Surat-surat Paulus (2)
Sambungan (Bag. 2….Apostasi dalam Surat-surat Paulus)
Memahami Locus (Tempat) Tuntutan-tuntutan Etis dalam Surat-surat Paulus: Sebuah Survai Historis
Sampai saat ini, para ahli telah berusaha memberikan jawaban terbaik mereka berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Perlu diakui bahwa penulis mendapatkan informasi mengenai pandangan-pandangan ini, terutama dari artikel Schreiner yang berjudul: Perseverance and Assurance: A Survay and a Proposal.
[1]
Dalam artikel tersebut, Schreiner mengulas lima pandangan yang pernah dikemukakan para ahli berkenaan dengan topik ini. Schreiner kemudian mengemukakan pandangannya sendiri yang menurutnya lebih representatif untuk menjelaskan nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan dalam Alkitab secara umum, dan surat-surat Paulus secara khusus. Pandangan tersebut kemudian dikembangkan Schreiner bersama Ardel B. Caneday dalam buku berjudul: The Race Set Before Us: A Bibilical Theology of Perseverance and Assurance.
[2]
Jadi, padangan Schreiner dan Caneday membentuk framework dalam ulasan ini. Meskipun demikian, penulis juga akan menyertakan rujukan dari beberapa ahli lain berkenaan dengan setiap pandangan yang dikemukan dalam bagian ini.
[3]
1. Pandangan bahwa Keselamatan Bisa Hilang (Lost of Salvation)
Pandangan ini pada umumnya dianut oleh para teolog Reformed Arminian dan Wesleyan Arminian.
[4]
Reformed Arminian dan Wesleyan Arminian dibedakan karena pandangan mereka tentang apakah seseorang yang telah murtad dapat dibarui kembali? Reformed Arminian menjawab tidak, sedangkan Wesleyan Arminian mengiyakannya. Meskipun demikian, kedua pandangan teologis ini sepakat bahwa peringatan-peringatan dan larangan-larangan (khususnya) dalam surat-surat Paulus yang sering kali disertai “ancaman”, membuktikan bahwa kita harus memahami keselamatan itu secara kondisional (Rm. 1:28; 1 Kor. 9:27; 2 Kor. 13:5; 2 Tim. 3:8; Tit. 1:16). Natur kondisional inilah yang memberikan nilai kepada nasihat-nasihat dan larangan-larangan tersebut. Jika tidak demikian, maka tentu kita harus berkesimpulan bahwa Paulus tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang ditulisnya. Oleh karena keselamatan itu bersifat kondisional, maka mereka menarik kesimpulan bahwa seorang percaya dapat terhilang dari jangkauan penebusan Kristus (baik melalui apostasi – Reformed Arminian, maupun melalui tindakan berdosa yang terus-menerus dan tidak yang pernah diakui – Wesleyan Arminian).
[5]
Kesimpulan ini juga dikemukan oleh Marshall setelah menganalisis nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan dalam beberapa surat Paulus, “the need for exhortation shows that there is a possibility of failure to work out salvation.”
[6]
Mereka percaya bahwa Allah memang berdaulat mutlak, namun Allah tidak menerapkan kedaulatan-Nya dengan cara yang deternimistik. Allah di dalam kedaulatannya memilih untuk menganugerahkan keselamatan yang bersifat kondisional: mengizinkan orang-orang berdosa untuk menolak atau menerima tawaran keselamatan tersebut. Mengapa demikian? Jakobus Arminius menyatakan,
…beside his own omnipotent and internal action, God is both able and willing to employ the following argument: ‘God justifies no persons except such asbelieve: Believe therefore, that thou mayest be justified.’ With respect, then, to this argument, faith will arise from suasion…. In his omnipotent act God employs [or uses] this argument;and by this argument, when rightly understood, He efficaciously produces [operates] faith. If it were otherwise, the operation would be expended on a stone or a lifeless body, and not upon the intellect of a man.
[7]
Tidak heran, beberapa bagian dalam surat-surat Paulus yang sering kali dikutip untuk mendukung ide tentang jaminan Allah bagi keselamatan manusia, kemudian dijelaskan secara konsisten dengan pandangan di atas. Misalnya, 2 Timotius 2:12-13 yang dijelaskan Charles Stanley sebagai salah satu proof text bagi jaminan keselamatan,
[8]
justru dipahami oleh F. Leroy Forlines secara berbeda. Forlines yang menganut pandangan tentang keselamatan yang bersifat kondisional memberikan komentar sebagai berikut:
Stanley is saying that a person who is a Christian could deny Him, and He will not deny that person. With regard to the last part of verse 13, ‘If we are faithless, He remains faithful, for he cannot deny Himself,’ I would give the following explanation: If we become faithless, Christ will remain faithful to His character and will deny us.
[9]
Jadi, mereka memahami peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat dalam surat-surat Paulus sebagai indikasi bahwa keselamatan itu bersifat kondisional. Nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan tersebut mengandung suatu konsekuensi yang membahayakan nasib eskatologis orang percaya jika mereka murtad atau melakukan dosa terus-menerus tanpa mengakuinya kepada Tuhan.
2. Pandangan bahwa Keselamatan Tidak Bisa Hilang
Pandangan ini dianut oleh kaum Calvinis. Meskipun demikian, dalam kaitan dengan fungsi peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat dalam surat-surat Paulus, pandangan ini terbagi menjadi tiga variasi utama, yaitu:
a. Kehilangan Hadiah/Penghargaan (Lost of Reward)
Salah seorang pembela pandangan ini, adalah Norman L. Geisler. Dalam bukunya yang berjudul: Chosen but Free, Geisler mengemukakan perbedaan posisi teologisnya (Moderat Calvinisme) dengan beberapa pandangan teologis lainnya, termasuk menganalisis ayat-ayat yang berbicara mengenai jaminan keselamatan dan yang dianggap “bermasalah”.
[10]
Pandangannya dalam buku ini kemudian diringkas dalam artikelnya yang berjudul: A Moderat Calvinist View.
[11]
Keyakinan Geisler akan janji keselamatan yang berlimpah dalam Alkitab (Ayb. 19:25-26; Pkh. 3:14; Yoh. 3:18; 5:28; 6:37-40; 10:27-29; 17:9-24; Rm. 4:5-6; 8:29-30, 33, 35, 37-39; 11:29; 1 Kor. 12:13; 2 Kor. 5:17, 21; Ef. 1:4-5, 13b-14; 2:5-6; Flp. 1:6; 4:3; 2 Tim. 1:12; 4:18; Ibr. 10:14; 12:2; 1 Pet. 1:5; 1 Yoh. 3:9; dan Yud. 24-25), membuatnya berpegang teguh bahwa seorang percaya tidak dapat kehilangan keselamatannya. Bagian-bagian Alkitab yang berbicara mengenai perintah, larangan, dan ancaman-ancaman ditujukan kepada dua macam orang Kristen. Pertama, orang Kristen nominal yang mungkin juga terlibat dalam pelayanan dan hidup di tengah-tengah jemaat namun sebenarnya bukan true believers (Mat. 7:22-23; 10:1, 5-8; 24:13; Luk. 8:13-15; 2 Tes. 2:3; 1 Tim. 4:1-2; Ibr. 12:14; dan 2 Pet. 2:1-12). Kedua, orang-orang Kristen sejati yang hidup tidak bertanggung jawab sehingga mereka akan kehilangan reward (Mzm. 51:1-12; 69:27-28; Mat. 10:33; 12:31-32; 1 Kor. 3:11-15; 1 Kor. 9:27; Gal. 5:4; 1 Tim. 5:15; 2 Tim. 2:12, 17-18; 4:7; Ibr. 2:1; 10:26-29; 2 Pet. 3:17; 2 Yoh. 1:8; Why. 3:5; 22:19).
Mengenai hubungan antara iman dan perbuatan, Geisler percaya bahwa perbuatan baik itu merupakan manifestasi dari iman yang sejati. Manifestasi tersebut terjadi tidak secara otomatis tetapi secara natural.
[12]
Beberapa surat Paulus yang dikutip Geisler untuk mendukung pandangan ini, antara lain: 2 Korintus 5:17; Kolose 1:23; Efesus 2:8-10; Filipi 2:12-13; Titus 2:11-13; 3:5-8. Meskipun demikian, Geisler mengakui bahwa orang Kristen sejati dapat jatuh ke dalam dosa. Ketika mereka jatuh ke dalam dosa, mereka akan didisiplin oleh Tuhan atau akan kehilangan reward, namun bukan keselamatan mereka.
Jadi, nasihat-nasihat dan larangan-larangan dalam Alkitab (termasuk surat-surat Paulus) mengandung dua fungsi, yaitu: menunjukkan ketidaksejatian iman seseorang dan menunjukkan konsekuensi terhadap kehidupan yang tidak bertanggung jawab dari orang percaya. Untuk yang terakhir ini, konsekuensinya terkait dengan reward dan bukan keselamatan mereka.
[13]
b. Ujian bagi Kesejatian Iman (Test of Genuiness)
Pandangan ini merupakan salah satu variasi yang dianut oleh para teolog Calvinis Klasik. Mereka yang memegang pandangan ini, memahami perintah-perintah dan nasihat-nasihat dalam surat-surat Paulus (secara khusus) berdasarkan 2 Korintus 13:5, “Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Apakah kamu tidak yakin akan dirimu, bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu? Sebab jika tidak demikian, kamu tidak tahan uji” (bnd. 1 Yoh. 2:19). Mengenai pandangan ini, Screiner menjelaskan, “Those defending this view of biblical warnings argue that perseverance in loyalty to Christ and in holiness is essential for salvation, because perseverance in loyalty to Christ and in holiness is essential for salvation, because perseverance is the necessary evidence that belief is genuine.”
[14]
Pandangan ini diletakkan di atas basis pemahaman bahwa iman yang otentik secara otomatis menghasilkan perbuatan baik (Ef. 2:10). Artinya mereka tidak membedakan membedakan antara pembenaran yang didasarkan atas iman dan pembenaran yang diperoleh karena perbuatan baik. Sebaliknya, bagi mereka perbuatan baik itu dihasilkan oleh iman yang sejati. Argumen inilah yang mewarnai beberapa tulisan yang ditulis oleh, misalnya: Judith Gundry-Volf,
[15]
[16]
[17]
[18]
Dengan demikian, jelas bahwa yang membedakan pandangan ini dengan pandangan-pandangan di atas adalah objek yang kepadanya peringatan-peringatan yang mengandung ancaman eskatologis tersebut diberikan. Pandangan-pandangan di atas menganggap bahwa peringatan-peringatan tersebut ditujukan kepada orang-orang percaya maupun mereka yang tergolong orang Kristen nominal, sedangkan pandangan ini membatasinya hanya kepada mereka yang mengaku diri Kristen padahal bukan orang Kristen sejati. Misalnya, mereka menganggap Paulus membicarakan tentang Demas (2 Tim. 4:10), Himeneus dan Aleksander (1 Tim. 1:18-20) sebagai orang-orang yang telah membuktikan diri mereka bukan orang-orang Kristen yang sejati.
[19]
Sementara itu, peringatan-peringatan tajam yang jelas ditujukan kepada orang percaya (mis. 1 Kor. 8:11 dan Rm. 14:15), dipahami sebagai bahaya yang hanya terkait dengan proses sanktifikasi (pengudusan) dan bukan bahaya eskatologis.
[20]
Jadi, peringatan-peringatan yang mengandung ancaman eskatologis hanya dipahami dalam fungsi retrospektif untuk mengetahui kesejatian iman seseorang. Orang-orang Kristen (nominal) dapat menjadi murtad atau berbalik dari Kristus sehingga mereka tidak mendapatkan penggenapan manfaat karya penebusan Kristus, karena sesungguhnya mereka bukanlah milik Kristus sejak awalnya.
c. Janji dan Peringatan sebagai Sarana Penyelamatan (Promises and Warnings: God’s Means of Saving His People)
Sekali lagi perlu diakui bahwa penulis (sejauh yang penulis ketahui) hanya mendapatkan informasi mengenai pandangan ini dari bukunya Schreiner dan Caneday, di mana menurut mereka pandangan ini lebih representatif untuk menjelaskan natur dari janji-janji dan peringatan-peringatan yang ada dalam Alkitab.
[21]
Di dalam evaluasi mereka, Schreiner dan Caneday menganggap bahwa pandangan-pandangan di atas telah mengacaukan fungsi dari janji-janji maupun peringatan-peringatan dalam Alkitab. Kaum Arminian cenderung membaca bagian-bagian yang mengandung janji berdasarkan bagian-bagian yang mengandung nuansa kondisional. Mereka menolak penegasan Alkitab berkenaan dengan kepastian keselamatan karena terlalu dikuasai oleh bagian-bagian yang mengandung konsekuensi eskatologis. Kaum Calvinis melakukan sebaliknya. Mereka mengabaikan (atau “melembutkan”) konsekuensi dari bagian-bagian yang mengandung peringatan-peringatan, karena disetir oleh bagian-bagian yang berbicara mengenai janji keselamatan bagi orang percaya. Dengan kata lain, pandangan-pandangan di atas menafsirkan bagian-bagian tersebut berdasarkan komitmen teologis atau presuposisi teologis mereka.
[22]
Itulah sebabnya, mereka yakin bahwa hal penting yang perlu dilakukan sebelum mengajukan pertanyaan apakah seorang percaya dapat murtad atau tidak, adalah dengan menyelidiki fungsi dari kedua jenis bagian Alkitab di atas.
[23]
Bagian-bagian yang mengandung janji berfungsi “to establish belief in the God who keeps his promises and to assure us that he is faithful to his people.
[24]
Bagian-bagian yang mengandung peringatan dan nasihat-nasihat memiliki fungsi yang berbeda, yaitu untuk “elicit belief that perseveres in faithfulness to God’s heavenly call on us.”
[25]
Kedua jenis teks ini tidak harus dilihat sebagai kontradiksi, tetapi harus dilihat sebagai cara Allah untuk memelihara umat-Nya untuk menikmati kehidupan kekal di kemudian hari.
[26]
Dengan cara pandang di atas, Schreiner dan Caneday menganalisis surat-surat Paulus baik bagian-bagian yang mengandung janji keselamatan maupun bagian-bagian yang mengandung peringatan-peringatan. Terlihat dalam analisis mereka mengenai bagian-bagian yang mengandung janji bahwa hasilnya tidak kurang dari keyakinan kaum Calvinis.
[27]
Selanjutnya bagian-bagian yang mengandung peringatan (dalam surat Roma, 1 & 2 Korintus, Filipi, Kolose, dan Galatia) merupakan cara Allah untuk mendorong orang percaya setia di dalam iman sampai mereka mendapatkan keselamatan mereka di akhir zaman.
[28]
Schreiner dan Caneday tidak ragu untuk mengakui bahwa peringatan-peringatan tersebut sering kali mengandung ancaman tentang konsekuensi eskatologis orang percaya. Hal ini untuk menunjukkan kepada orang percaya mengenai betapa seriusnya panggilan Allah untuk hidup taat dan setia kepada-Nya (bab 2). Perjalanan menuju penggenapan keselamatan di masa depan, akan ditandai dengan “kejatuhan” beberapa orang Kristen yang bahkan mengakibatkan mereka kehilangan keselamatan mereka. Meskipun demikian, yang dimaksud dengan orang-orang yang kehilangan keselamatan itu adalah mereka yang sebenarnya bukan orang Kristen sejati (bab 5).
[29]
Konklusi: Rangkuman dan Komentar
Setelah memberikan penjelasan mengenai teks-teks yang berbicara tentang jaminan keselamatan dan tuntutan etis dalam surat-surat Paulus, termasuk menyajikan pandangan-pandangan yang beragam mengenai hubungan antara kedua jenis teks ini, maka dalam bagian ini penulis akan merangkum dan memberikan komentar berkenaan dengan penjelasan di atas.
Pertama, pengajaran tentang jaminan keselamatan yang terdapat secara berlimpah dalam surat-surat Paulus tidak boleh disepelekan dengan bagian-bagian yang mengandung ancaman eskatologis bagi orang percaya (Arminianisme). Sebaliknya, peringatan-peringatan yang mengandung konsekuensi eskatologis juga tidak boleh diabaikan kepentingannya demi mempertahankan teks-teks tentang jaminan hidup kekal (Calvinisme). Hal inilah yang sering kali memicu perbedaan pendapat bahkan polemik yang berkepanjangan dalam diskusi mengenai apakah seorang percaya dapat kehilangan keselamatannya atau tidak. Itulah sebabnya, evaluasi Schreiner dan Caneday di atas mungkin sangat menolong untuk menghindarkan kita dari kecenderungan di atas.
Kedua, kita sadar bahwa tidak seorang pun yang membaca Alkitab tanpa presuposisi. Meskipun demikian, presuposisi teologis kita harus berani kita uji berdasarkan apa yang kita baca dalam Alkitab, bukan membiarkan presuposisi teologis kita menyetir pembacaan kita terhadap Alkitab. Hal ini tampaknya merupakan argumen yang sirkular,
[30]
namun sebenarnya poin penulis adalah bahwa presuposisi itu tidak boleh menjadikan kita orang-orang yang berpandangan sempit lalu mengabaikan aspek dinamis dalam pembelajaran.
Ketiga, menurut penulis pandangan Schreiner dan Caneday tampaknya merupakan upaya menengahi ketegangan di antara Calvinisme dan Arminianisme.
[31]
Di dalam bagan yang digambarkan Schreiner dan Caneday untuk memperlihatkan “tempat” dari posisi mereka, jelas bahwa pandangan mereka menjembatani kedua kubu teologis tersebut. Di satu sisi, Schreiner dan Caneday setuju bahwa peringatan-peringatan tersebut dapat mengandung konsekuensi eskatologis (Arminianisme). Di pihak lain, mereka yakin bahwa orang-orang yang gagal mencapai keselamatan di dalam Kristus adalah orang-orang yang tidak sungguh-sungguh milik Kristus (Calvinisme).
[32]
Dan keempat, penulis sadar bahwa topik mengenai apostasi dalam surat-surat Paulus berhubungan dengan aspek-aspek yang belum dipahami secara sepakat di antara para ahli. Bahkan Schreiner dan Caneday pun membuka diri untuk dievaluasi. Artinya mereka sadar bahwa mungkin ada hal-hal yang belum terakomodasi dalam pandangan mereka. Jika demikian, apakah ini merupakan open ending? Tidak! Yang ingin penulis tekankan adalah bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa Paulus tidak memikirkan mengenai bahaya eskatologis dalam peringatan-peringatannya. Orang-orang percaya harus sadar akan bahaya eskatologis bagi mereka yang hidup di luar Kristus. Mereka membutuhkan peringatan-peringatan tersebut. Meskipun demikian, terdapat begitu banyak bagian yang menenangkan mereka yang terhitung sebagai anggota kerajaan Allah (Flp. 3:20) bahwa mereka akan menikmati sukacita kekal bersama dengan Kristus.
[1]
Thomas R. Schreiner, “Perseverance and Assurance: A Survay and a Proposal,” dalam http://www.sbts. edu docs/tschreiner/2.1_article.pdf. diakses tanggal 24 November 2008
[2]
Thomas R. Schreiner & Ardel B. Caneday, The Race Set Before Us: A Biblical Theology of Perseverance & Assurance (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2001)
[3]
Penulis mengelompokkan pandangan-pandangan yang terdapat dalam artikel dan buku yang ditulis Schreiner (dan Caneday) ke dalam dua kategori pemahaman, yaitu: pemahaman bahwa keselamatan bisa hilang dan pandangan bahwa keselamatan tidak bisa hilang.
[4]
Istilah “Reformed Arminian” merupakan istilah yang digunakan Stephen M. Ashby sebagai label bagi para penganut Arminianisme Klasik. Asbhy menggunakan istilah “Reformed” untuk membuat pembedaan antara pandangan Arminianisme dengan Pelagianisme atau Semi-Pelagianisme. Selanjutnya, istilah “Wesleyan Arminianisme” menunjuk kepada perpaduan antara pandangan Arminius dengan padangan John Wesley (lih. 4 Views on Eternal Security)
[5]
Untuk uraian detail mengenai posisi teologis ini, lih. Stephen M. Ashby, “A Reformed Arminian View” dan J. Stephen Harper, “A Wesleyan Arminian View,” dalam 4 View on Eternal Security
[7]
“On the Free Will of Man and its Powers,” dalam The Works of James Arminius, trans. James Nichols dan William Nichols (reprint edition; Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1996), 1:746-747
[8]
Lih. Charles Stanley, Eternal Security: Can You be Sure? (Nashville: Thomas Nelson, 1990), 92-93
[9]
F. Leroy Forlines, The Quest for Truth: Answering Life’s Inescapble Questions (Nashville: Randall House, 2001), 272
[12]
Geisler memberikan contoh: Seorang ibu secara natural akan mengasihi anaknya. Hal ini tidak dapat disebut otomatis karena tidak semua ibu mengasihi anaknya (“A Moderat View,” 103)
[13]
Di dalam bukunya yang berjudul: The Gospel Under Siege (Bab 7), Zane C. Hodges menganalisis bagian-bagian dalam surat-surat Paulus yang dianggap kaum Arminian sebagai bukti bahwa orang percaya dapat kehilangan keselamatannya. Di akhir dari analisis tersebut Hodges menandaskan bahwa jika kita membiarkan mereka berpandangan demikian, maka “The evangelical church will have no message for the world” (lih. “Problem Passages in Paul,” dalam http://www.biblestudymanuals.net/problem_passages_in_Paul.htm, diakses tanggal 1 Desember 2008); Beberapa teolog lain yang juga berpandangan serupa, misalnya: Charles Stanley, Eternal Security; Gregory P. Sapaugh, “Apostasy and Eternal Security,” dalam http://jcsm.org/EternalSecurity/GregorySapaugh.htm, diakses tanggal 1 Desember 2008; R. K. McGregor Wright, “Apostasy and Security,” dalam http://jcsm.org/EternalSecurity/ RKMcGregorWright.htm, diakses tanggal 1 Desember 2008; Richard H. Bell, “Pauline Epistles: Salvation from the Wrath to Come (Romans 5:9; 1 Thessalonians 1:10; 5:9),” dalam http://jcsm.org/EternalSecurity/RichardBell.htm, diakses tanggal 1 Desember 2008.
[16]
“Perseverance of the Saints: A Case Study of Hebrews 6:4-6 and the OtherWarning Passages in Hebrews,” dalam Still Sovereign Contemporary Perspectives on Election, Foreknowledge, and Grace, ed. Thomas R. Schreiner and Bruce A. Ware (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 2000)
[17]
The Epistles to the Colossians, toPhilemon, and to the Ephesians (NICNT; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1984)
[20]
bnd. Craig L. Blomberg, 1 Corinthians (NIVAC; Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1994), 163; John Murray, The Epistle to the Romans (NICNT; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1987), 190; Gundry-Volf, “Apostasy, Falling Away, Perseverance,” dalam DPL.
[21]
Meskipun demikian, penulis akan lebih memusatkan perhatian kepada penjelasan mereka mengenai pandangan ini dalam kaitan dengan surat-surat Paulus sesuai dengan lingkup pembahasan makalah ini (The Race Set Before Us, 160-193)
[29]
Pandangan ini terkait erat dengan pandangan mengenai keselamatan yang sekaligus mengandung unsur present – future.
[30]
Usulan pemahaman dari Schreiner dan Caneday di atas juga akhirnya menjadi presuposisi yang mereka pakai untuk membicarakan topik ini. Meskipun demikian, kita melihat ada upaya yang secara sadar dilakukan oleh mereka untuk tidak terlalu kaku menundukkan diri terhadap tradisi teologis di sekeliling mereka.
[31]
Schreiner dan Caneday mengakui bahwa pandagan mereka “irenic in spirit…” (The Race Set Before Us, 10)
- Mirandola's blog
- Login to post comments
- 9410 reads