Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Apostasy dalam Surat-surat Paulus (1)

Mirandola's picture

 

Deky Hidnas Yan Nggadas


Pendahuluan: Ruang Lingkup dan Tujuan Penulisan

Di antara sekian banyak topik yang menjadi polemik berkepanjangan dalam Alkitab, topik tentang apostasi yang juga terkait dengan topik ketekunan dan jaminan keselamatan, merupakan “the most hotly debated topic”.

[1]

Diskusi ini dipicu oleh data-data Alkitab (khususnya PB) yang di satu sisi memberikan jaminan yang kuat mengenai kepastian keselamatan orang percaya namun di sisi lain tampaknya membuka peluang bahwa seorang percaya dapat gagal mencapai penggenapan jaminan tersebut. Sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini terdapat empat label teologis (Calvinis Klasik, Calvinis Moderat, Reformed Arminian, dan Wesleyan Arminian) yang menganggap pandangan teologis mereka berbeda (bahkan bertolak belakang) satu sama lain – salah satunya – karena padangan mereka tentang isu tersebut.

[2]

Makalah ini ditulis hanya untuk membahas bagian-bagian dalam surat-surat Paulus yang memberikan indikasi bahwa seorang percaya dapat gagal mencapai penggenapan pengharapan eskatologisnya. Indikasi yang dimaksud terkait dengan peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat yang tampaknya tidak mudah “didamaikan” dengan keyakinan akan kepastian keselamatan yang juga terdapat secara berlimpah dalam surat-surat Paulus.

[3]

Untuk itu, melalui makalah ini penulis akan membahas beberapa hal, yaitu:

Ø     

Pengertian terminologi apostasi untuk memberikan gambaran awal mengenai topik ini;

Ø     

Bagian-bagian yang berbicara mengenai jaminan keselamatan dalam surat-surat Paulus dan tuntutan-tuntutan etis (peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat)  dalam surat-surat Paulus yang mengindikasikan adanya apostasi yang dapat membahayakan keselamatan orang percaya.

Ø     

Sebuah survai singkat mengenai bagaimana para teolog memahami “tempat” nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan tersebut dalam kaitan dengan jaminan keselamatan dalam surat-surat Paulus.

Dengan demikian, makalah ini tidak akan mengulas bagian-bagian dalam surat-surat Paulus mengenai topik di atas secara eksegetis. Lebih tepat, makalah ini adalah sebuah survai singkat mengenai bagaimana para teolog memahami topik tersebut. Di akhir dari makalah ini, penulis akan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang telah ditekankan dan yang masih harus dikaji lebih lanjut berdasarkan pandangan dari para teolog tersebut.

 

Pengertian Terminologis

Kata bahasa Yunani apostasia yang darinya kita mendapat istlilah apostasy (Inggris), hanya digunakan sebanyak dua kali dalam PB (Kis. 21:21 dan 2 Tes. 2:3).

[4]

Kata ini merupakan kata rangkap (compound word) yang dibentuk dari kata depan apo (dari) dan stasis (berdiri; standing), yang memiliki pengertian “menjauhi” (to stand away) atau “menentang” (to stand against). Meskipun demikian, kandungan pengertian yang lebih representatif dari kata ini adalah “pemberontakan/pendurhakaan” (rebellion).

[5]

Sampai pada masa PB, kita mendapati bahwa kata  apostasia paling tidak digunakan dalam dua konteks. Pertama, dalam konteks politik (1 Mak. 11:14; 13:14); dan kedua, dalam konteks religious, yakni untuk menunjukkan suatu pemberontakan terhadap Allah dan Hukum Taurat, atau pembelotan terhadap iman kepada Yahweh (Bil. 14: 9; Yos. 22:19, 22; 2 Taw. 28:19,33:19; Yes. 30:1; 1 Raj. 21:13; Hak. 19:22; 1 Sam. 25:17; 1 Mak. 2:15; 2 Mak. 5:8; Ayb. 26: 13; 24:13; 2 Tes. 2:3; dan Why. 14:6).

Selanjutnya, Perjanjian Baru juga menggunakan beberapa istilah lain yang memiliki pengertian yang asosiatif dengan istilah apostasia. Sebagai contoh, dalam Markus 13:5, Yesus memperingatkan para murid tentang ancaman penyesatan (planao). Roma 16:17 berisi peringatan mengenai ajaran yang dapat menimbulkan pertikaian atau perselisihan (dichostasia) dan sandungan (skandalon) dalam jemaat. Paulus memberitahukan dalam Kolose 1:23 agar jemaat tidak bergeser (metakineo) dari pengharapan Injil. Di dalam Surat-surat Pastoral, Paulus menasihati Timotius, Titus, dan jemaat yang mereka layani untuk bertekun (hupomeno – 2Tim. 2:12; bnd. 2:15) harus dipahami dalam pengertian tetap berpegang kepada doktrin yang sehat. Sebagai kontrasnya, Paulus berbicara mengenai orang-orang yang akan murtad (aphistemi – 1 Tim. 4:1), menyangkali iman (ten pistin ernetai – 1 Tim. 5:8), menyimpang dari iman (apeplanethesan apo tes pisteos – 1 Tim. 6:10), menyimpang dari kebenaran (hitines peri ten aletheian estochesan – 2 Tim. 2:18), menentang kebenaran (anthistantai te aletheia - 2 Tim. 3:8), keji dan tidak taat (bdeluktoi ontes kai apeitheis – Tit. 1:16). Selain itu, Ibrani 3:12 berisi peringatan mengenai mereka yang menjauh (apistemi) dari Allah yang hidup, dsb.  

Jadi secara terminologis, apostasi dan juga istilah-istilah lainnya, terkait dengan beberapa istilah kunci, yaitu: memberontak, mengundurkan diri (kemudian menjadi oposisi/melawan), mendurhaka, menyangkali, murtad, menentang, menimbulkan perpecahan, dsb. Dengan kata lain, apostasi dan istilah-istilah yang terkait dengannya lebih mengarah kepada suatu tindakan yang secara sengaja dilakukan (termasuk melibatkan atau mengajak orang lain) untuk melawan atau untuk memisahkan diri dari Allah, jemaat, serta ajaran resmi yang dianut oleh mereka.

[6]

 

Jaminan Keselamatan dan Tuntutan Etis dalam Surat-surat Paulus

Pembahasan mengenai jaminan keselamatan dan tuntutan etis dalam surat-surat Paulus, terkait erat dengan tiga wilayah studi, antara lain: soteriologi, eskaotologi, dan etika. Ketiga wilayah studi ini akan dipaparkan secara singkat untuk memberikan gambaran mengenai realitas yang kita hadapi dalam surat-surat Paulus.

Beberapa Ahli yang pandangannya menjadi referensi utama dalam bagian ini, antara lain: Gundry-Volf,

[7]

Marvin Pate,

[8]

dan Herman Ridderbos,

[9]

di samping pendapat dari beberapa ahli lain. Untuk itu, dalam ulasan ringkas berikut ketika penulis mengutip dari ketiga ahli ini penulis tidak lagi memberikan catatan kaki.

 

1. Soteriologi Paulus: Kepastian Keselamatan

Paulus, dalam surat-suratnya, tidak pernah mengajarkan bahwa keselamatan itu diperoleh sebagai upah atas hasil pekerjaan manusia. Sebaliknya, dalam Efesus 2:8, misalnya, Paulus menegaskan bahwa keselamatan itu semata-mata pekerjaan Allah yang  diperoleh karena kasih karunia melalui iman (te gar chariti este sesosmenoi dia pisteos kai touto ouk eks humon theou to doron).

[10]

Seseorang dapat menerima anugerah tersebut pada satu waktu, karena Allah telah terlebih dahulu memilih dia untuk diselamatkan di dalam dan melalui Kristus saja (Rm. 8:29; Ef. 1:4; 1 Tes. 5:9; 2 Tes. 2:13). Dengan meletakkan prinsip pemilihan dan anugerah dari Allah sebagai landasan keselamatan, Paulus memberikan penekanan yang kuat mengenai kepastian keselamatan orang-orang percaya. Selain itu surat-surat Paulus juga menyatakan bahwa  salah satu jaminan keselamatan orang percaya terletak atas peran dari Roh Kudus (Rm. 5:5; 8:2, 11, 23; 2 Kor. 1:21-22; 5:5; Ef. 1:13-14; 4:30; Tit. 3:5).

[11]

Itulah sebabnya, Frank Thielman – dalam kesimpulannya mengenai penekanan-penekanan dan keyakinan sentral dalam surat-surat Paulus – menyatakan bahwa di balik respons Paulus terhadap situasi yang beragam dalam surat-suratnya, sesungguhnya konsep keselamatan sebagai anugerah semata merupakan “the main theological conviction”.

[12]

Gundry-Volf menyebutnya sebagai “golden chain” (rantai emas). Komentar Thielman dan Gudndry-Volf tidak berlebihan, karena Paulus sendiri menegaskan jaminan tersebut dalam salah satu suratnya,

 

Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka?  Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?  Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?  Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan."  Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.  Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang,  atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm. 8:33 -39)

[13]

 

 

2. Eskatologi Paulus: Already but Not Yet

Di dalam bukunya: Eskatologi Paulus, Marvin Pate mengkhususkan satu bab untuk berbicara mengenai konsep soteriologis Paulus yang tidak dapat dipisahkan dari konsep tentang ketegangan eskatologis yang dimulai sejak inkarnasi Kristus (already but not yet). Banyak bagian dalam surat-surat Paulus yang mendukung ide tersebut. Di satu sisi, Paulus menyatakan bahwa keselamatan bagi manusia yang berdosa merupakan realitas kekinian (Rm. 11:14; 1 Kor. 1:18, 21; 7:16; 9:22; 10:33; 15:2; 2 Kor. 2:15; 6:2; Ef. 1:13; 2:8; 1 Tes. 2:16; 2 Tes. 2:13; 1 Tim. 1:15; 2:5; 2 Tim. 3:14; dan Tit. 3:5). Di sisi lain, Paulus juga berulang kali mengingatkan bahwa keselamatan adalah sesuatu yang sedang menuju penggenapannya di masa depan; sesuatu yang belum secara sepenuhnya menjadi milik orang Kristen (Rm. 5:9; 11:25; 1 Kor. 3:15; 5:5; 1 Tes. 5:8; 1 Tim. 2:15; 4:16; 2 Tim. 2:10; 4:18). Bukan hanya itu, Paulus sering menyejajarkan kedua gagasan tersebut dalam surat-suratnya (Rm. 6:1-14; 7:14-25; 8:17-30; 13:11-14 [bnd. 1 Tes. 5:-9]; 1 Kor. 10:11-13; Gal. 5:16-18; Ef. 2:1-10; Flp. 1:6; 3:1-14; 3:20-21).

Selain itu, Ridderbos juga menjelaskan mengenai salah satu aspek eskatologi Paulus, yaitu penghakiman. Inti dari ulasan Ridderbos mengenai penghakiman menurut Paulus terkait erat dengan keyakinannya akan jaminan keselamatan yang didapati secara berlimpah dalam surat-surat Paulus. Bagi Ridderbos, penghakiman Allah akan berlaku bagi semua orang (orang Kristen dan non-Kristen) menurut perbuatan mereka. Namun bukan hanya itu, karena Paulus juga membuat jurang pemisah antara hari penghakiman bagi orang-orang yang tidak percaya sebagai hari kebinasaan, sementara bagi orang-orang percaya sebagai hari sukacita kekal bersama Tuhan Yesus. Terkadang Tuhan juga menyatakan penghakimannya secara keras terhadap umat-nya (mis, 1 Kor. 11:30-31). Namun itu bukanlah penghakiman yang membinasakan (secara kekal), melainkan penghakiman yang menyelamatkan.

[14]

 

3. Etika Paulus: Indikatif-Imperatif

Oleh karena orang Kristen hidup di dalam realitas dua zaman yang sedang berlangsung, maka tidak mengherankan bahwa Paulus juga sering menyajikan tulisannya dalam formulasi yang biasanya dikenal dengan istilah “Indikatif – Imperatif”.

[15]

Relasi Indikatif – Imperatif ini dijelaskan oleh Riderboss sebagai berikut: “Paulus melihat manifestasi moral dari hidup baru sebagai buah karya penebusan Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus – indikatif – tetapi juga sebagai suatu tuntutan atau keharusan – imperatif. Paulus menekankan keduanya, sehingga sebagian orang menyebutnya ‘paradoks dialektikal’ dan ‘antinomi’”. Selanjutnya Riderboss memberikan beberapa contoh dari surat-surat Paulus yang menunjang ide di atas. Salah satunya adalah argumen Paulus mengenai kematian dan kebangkitan Kristus (Rm. 6:2) dilihat sebagai indikatifnya, sedangkan stimulasi Paulus terhadap tanggung jawab jemaat untuk berjuang melawan kuasa dan pengaruh dosa (ay. 12-13), merupakan imperatifnya (bnd. Kol. 3:3, 5; Rm. 8:2, 9, 12-13; 13:14;  Gal. 3:28; 4:6-7, 28-29; 5:16,18, 25; 6:7-8; Ef. 2:15; 4:21,24).

Ridderbos kemudian berkesimpulan bahwa ordo indikatif-imperatif tidak boleh dibalik. Indikatif dan Imperatif juga tidak boleh dipahami secara terpisah. Indikatif tanpa Imperatif akan menghasilkan kekristenan yang Antinomian. Imperatif tanpa dikaitkan dengan Indikatif akan mendorong timbulnya Legalisme. Selanjutnya relasi Indikatif dan Imperatif harus dilihat dalam perspektif realitas sejarah penebusan. Indikatif pada saat yang sama mengandung “sudah” dan “belum” demikian pula Imperatif mengandung “sudah” dan “belum”.

 

Anugerah – Selamat – Perbuatan Baik (Monergisme)

bukan

Anugerah + Perbuatan Baik = Selamat (Synergisme)

 

Dengan kata lain, proklamasi tentang keselamatan yang telah menjadi bagian dari kehidupan para jemaat sekaligus mengandung tuntutan etis yang harus diperhatikan secara serius oleh mereka. Dan dalam kaitan dengan realitas sejarah penebusan, kita dapat memahami mengapa paraenesis Paulus bukan hanya bersifat positif melainkan juga negatif: melarang, memperingati, dan bahkan mengancam (Gal. 6:7dst) supaya jemaat dapat bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Kristus.

[16]

Meskipun demikian, di dalam memberikan nasihat-nasihat maupun larangan-larangan etisnya (imperatifnya), Paulus tampaknya membuka peluang bahwa kegagalan untuk menerapkan nasihat-nasihat ataupun larangan-larangan tersebut dapat membuahkan bahaya eskatologis bagi orang percaya. G. E. Ladd mendaftarkan beberapa bagian dalam surat-surat Paulus yang menurutnya membicarakan hal ini (Gal. 6:8; 1 Kor. 3:17; 9:27; 10:6dst; Ef. 5:5). Itulah sebabnya Ladd kemudian menyimpulkan bagian-bagian tersebut sebagai sebuah ketegangan yang secara sengaja ditempatkan Paulus di dalam surat-suratnya sebagai motivasi yang mendorong orang-orang percaya untuk hidup taat kepada Tuhan.

[17]

Dengan kata lain, Ladd percaya bahwa bagian-bagian tersebut membicarakan kemungkinan kegagalan pencapaian keselamatan di masa mendatang. Bagian-bagian lain yang juga membicarakan hal ini, misalnya 1 Korintus 8:11 (bnd. Rm. 14:15).

[18]

Begitu kuatnya penekanan Paulus dalam kedua ayat ini (Paulus menggunakan kata apollumi), sehingga membuat Thielman yang begitu yakin akan konsep anugerah sebagai “the main theological conviction” Paulus, juga menyimpulkan bahwa kedua ayat ini membicarakan bahaya eskatologis orang percaya.

[19]

Selain itu, beberapa bagian seperti: Kolose 1:21-23; 1 Korintus 15:2; Roma 2:7, 10, 13; 1 Timotius 4:1; 5:8; dsb., terlepas dari berbagai komentar mengenai pengertian ayat-ayat ini – juga pada umumnya dianggap sebagai “the problem passages” dalam surat-surat Paulus.

[20]

Jika demikian, bagaimana kita harus memahami hubungan antara jaminan keselamatan dan tuntutan-tuntutan etis tersebut secara tepat? Apakah konsekuensi yang akan diterima oleh orang percaya jika gagal menerapkan tuntutan etis tersebut adalah kehilangan keselamatannya? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan dilematis. Jika iya, bagaimana menjelaskan bagian-bagian yang secara ketat memberikan jaminan keselamatan dalam surat-surat Paulus? Jika tidak, bagaimana menjelaskan tuntutan etis yang begitu serius dikemukan Paulus dalam surat-suratnya? Atau sebagaimana yang ditanyakan Marshall, “Does the verdict that we have been justified by grace trough faith mean that we are certain to be justified on the day of judgment or must there remain an element of doubt until the final sentence of acquittal or of guilt is passed?”

[21]

Berikut ini, penulis akan mengulas beberapa pandangan teologis yang mencoba memberikan respons terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas.

 




[1]

Demikian pernyataan J. Matthew Pinson ketika memberikan kata pengantar dalam buku yang memuat diskusi hangat di antara empat label teologis Kristen mengenai jaminan hidup kekal (4 Views on Eternal Security, eds. J. Matthew Pinson & Stan N. Gundry [Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2002], 7) 

[2]

Lih. diskusi hangat keempat label teologis tersebut dalam: Ibid.

[3]

Paul Barnett menulis sebuah survai singkat mengenai konsep Apostasi dalam dalam cakupan yang lebih luas, kecuali surat-surat Paulus, karena ia tidak ingin mengulas kembali apa yang telah dilakukan Gundry-Volf (lih. “Apostasy,” dalam Dictionary of the Later New Testament & Its Developments, eds. Ralph P. Martin & Peter H. Davids [Downers Grove, Illionis: InterVarsity Press,  2000]).

[4]

Khususnya, 2 Tesalonika 2:3 memunculkan berbagai pandangan mengenai dua hal, yaitu: siapakah yang akan terlibat dalam apostasi tersebut dan apakah yang dimaksud dengan apostasi di sini. Jawaban yang beragam tersebut tidak penulis sertakan di sini, selain pendapat dari para ahli yang penulis setujui penafsiran mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 a) Yang terlibat dalam apostasi tersebut adalah “orang-orang yang harus binasa karena mereka tidak menerima dan mengasihi kebenaran yang dapat menyelamatkan mereka” – ay. 10, yakni: orang-orang Yahudi non-Kristen atau orang Gentiles. Beberapa ahli yang berpendapat demikian, antara lain: Charles A. Wanameker, The Epistles to the Thessalonians (NIGTC; Grand Rapids: Eerdmans, 1990), 244; James E. Frame, A Critical and Exegetical Commentary on the Epistles of St. Paul to the Thessalonians (ICC; Edinburgh: T. & T. Clark, 1912), 251; Ian Howard Marshall, 1 and 2 Thessalonians (New Century Bible Commentary; Grand Rapids: Eerdmans, 1983), 189.

b) Yang dimaksud dengan apostasi dalam ayat ini adalah pemberontakan yang bersifat religius bukan politis. Beberapa penafsir yang membela pandangan ini, antara lain: G. K. Beale, 1-2 Thessalonians, ed. Grant Osborne (The IVP NT Commentary Series; Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2003), 29-30; D. A. Carson, 2 Thessalonians (NBC; Downers Grove, Illinois: Inter-Varsity Press, 1994); Craig S. Keener, IVP Bible Background Commentary: New Testament (Downer’s Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1997).

[5]

“αποστασ?α,” dalam Walter Bauer, William F. Arndt, F. Wilbur Gingrich, and Frederick W. Danker, A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature, 3rd ed., rev. and aug. (Chicago: University of Chicago, 2000), 98. Lihat juga Stephen Robinson, “Early Christianity and 1 Nephi 13–14,” dalam The Book of Mormon: First Nephi: The Doctrinal Foundation, ed. Monte S. Nyman and Charles D. Tate Jr. (Provo, UT: BYU Religious Studies Center, 1988), 177–192.

[6]

Lih. R. K. McGregor Wright, “Is Eternal Security Compatible With The Fact of Apostasy?,” dalam http://jcsm.org/EternalSecurity/RKMcGregorWright.htm, diakses tanggal 2 Desember 2008

[7]

“Apostasy, Falling Away, Perseverance” dalam Dictionary of Paul and His Letters, eds. Gerald F. Howthorne & Ralph P. Marthin (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1993)

[8]

Eskatologi Paulus (Malang: Gandum Mas, 1995), 111-137

[9]

Paulus, Pemikiran Utama Theologinya (Surabaya: Momentum, 2008), 265-266

[10]

Pada masa Reformasi, dapat dikatakan bahwa ayat ini merupakan basis yang di atasnya para reformator meletakkan teologi hidup kekal (Sola Gratia).

[11]

bnd. I. Howard Marshall, Kept by the Power of God: A Study of Perseverance and Falling Away (Minneapolis: Bethany, 1975), 100-103

[12]

Theology of the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2005), 449

[13]

bnd. Perkataan Yesus dalam Yohanes 10:28. Perhatikan penekanan Yesus dengan penggunaan double negation: ouv mh dalam ayat ini (LAI menekankan hal ini dengan menerjemahkannya menjadi “pasti tidak”).

[14]

bnd. S. H. Travis, “Judgment,” DPL

[15]

Gagasan ini “dimasyarakatkan” oleh Rudolf Bultmann lebih dari satu generasi yang lalu (lih. The Theology of the New Testament [New York: Charles Scribner’s, 1951], 1.332)

[16]

Dalam bab bertajuk “Paul The Ethicist and Theologian”, Ben Witherington juga memberikan ulasan panjang lebar mengenai hal ini (The Paul Quest, The Renewed Search for the Jew of Tarsus [Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1998], 263-298)

[17]

G. E. Ladd, Teologi PB2 (Bandung: Kalam Hidup, 2002), 305-306

[18]

Kedua ayat ini, oleh mayoritas penafsir dilihat sebagai rujukkan bahwa Paulus sedang membicarakan bahaya eskatologis bagi orang percaya. Mereka melihat frekwensi penggunaan kata ini yang lebih banyak mengekspresikan nuansa eskatologis, walaupun tidak selalu demikian. Bebeberapa penafsir tersebut, antara lain: C. A. B. Cranfield, A Critcal and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans, Vols. 2 (ICC; Edinburgh: T. & T. Clark, 1979); James G. D. Dunn, Romans 9-16 (WBC 38b; Waco, Texas: Word, 1988); Douglas J. Moo, The Epistle to the Romans (NICNT; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1996), 826-827; Thomas R. Schreiner, Romans (BECNT; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1998), 734-735; David E. Garland, 1 Corinthians (BECNT; Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 2003), 389-390; Grant Osborne, Romans (The IVP NT Commentary Series; Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2004), 368-369; Alan F. Johnson, 1 Corinthians, ed. Grant Osborne (The IVP NTC Series; Downer’s Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2004), 141-142; Gordon Fee, The First Epistle to the Corinthians (NICNT; Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1987), 387-388.

[19]

Thielman menulis mengenai gagasan di balik kata apollumi dalam kedua ayat ini sebagai berikut: “This destruction is not a psychological concept but an eschatological idea, and Paul does not want the weak to experience destruction on the final Day because they have failed to persevere in their faith” (Theology of the New Testament, 450)

[20]

bnd. Zane C. Hodges, “The Problem Passages in Paul,” dalam http://www.biblestudymanuals.net/ problem_passages_in_Paul.htm, diakses tanggal 26 November 2006

[21]

Marshall, Kept by the Power of God, 100

 

__________________

<td <