Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

4 Mitos Cinta yang Membuai

arie_saptaji's picture
 
Tuhan menyediakan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pasangan yang tepat, dan Anda sendirilah yang bertanggung jawab untuk memilih atau menemukannya. Pemilihan ini semestinya dilakukan secara cerdas dan bijaksana, dengan pertimbangan akal sehat dan obyektivitas yang jernih. Untuk itu, kita akan memerlukan pertolongan Tuhan. Seperti dinasihatkan Yakobus, kita perlu meminta hikmat kepada-Nya. Kita dapat menemukan petunjuk dan hikmat Tuhan tersebut di dalam firman-Nya.

Alkitab memang tidak memberikan tuntunan yang jelas dan detail tentang berpacaran. Bisa dimaklumi, karena pacaran memang tidak dikenal dalam budaya dan zaman ketika Alkitab ditulis. Meskipun demikian, firman Tuhan mengandung prinsip-prinsip membangun hubungan yang tetap relevan untuk diterapkan dalam menjalani masa berpacaran.

Masalahnya, alih-alih belajar menemukan dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, tidak sedikit orang yang malah terhanyut oleh berbagai mitos cinta. Mitos-mitos ini menawarkan khayalan yang melambung, namun diterima orang begitu saja sebagai kebenaran, tanpa diuji secara sungguh-sungguh. Untuk dapat membangun hubungan cinta secara sehat, kita perlu terlebih dulu mengenali dan menelanjangi mitos-mitos itu serta menepiskannya.

Berikut ini kita akan membahas empat mitos cinta membuai yang semestinya kita waspadai.

MITOS #1: JODOH ADA DI TANGAN TUHAN

 
 
Jodoh kita ada di tangan Tuhan. Tuhan sudah menyiapkan seseorang yang istimewa untuk kaunikahi. Kau sudah ditakdirkan untuk menjadi pendampingnya, dan Tuhan pasti akan menuntunmu untuk bertemu dengannya. Apa pun rintangan yang menghadang. (Diiringi lagu Munajat Cinta: ”Tuhan, kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati, yang mencintai aku apa adanya...”).

Orang, yang berpandangan bahwa jodoh itu ada di tangan Tuhan, kelak setelah menikah juga akan menganggap perceraian pun ada di tangan Tuhan. Sekuat-kuatnya kita berusaha, kalau memang tidak jodoh, perceraian pasti akan terjadi, tak terelakkan. Sebaliknya, kalau sudah jodoh, sekalipun sempat bercerai pasti suatu saat akan bersatu lagi. Wah, ternyata bukan hanya Iblis yang sering dipersalahkan atas masalah yang menimpa manusia akibat kebebalannya sendiri. Tuhan pun tidak luput dari tudingan! Tuhan bisa mengelus dada dipersalahkan seperti itu. Bagaimana pandangan ini akan didampingkan dengan penegasan sikap Tuhan terhadap perceraian dalam Maleakhi 2:16? Apakah Yesus keliru ketika Dia menyatakan bahwa orang bercerai akibat kekerasan hatinya? Mengapa pula Tuhan mesti repot-repot menjodohkan pada awalnya kalau pada akhirnya Dia bermaksud menceraikan? Bercerai dengan alasan ternyata tidak jodoh lagi dan memang sudah takdir Tuhan sama saja dengan lempar batu sembunyi tangan.

Jodoh di tangan Tuhan mestinya dimaknai secara luas: bahwa seluruh proses proses perjodohan kita berada dalam tangan pemeliharaan dan bimbingan Tuhan. Tuhan tidak menyediakan jodoh khusus bagi kita, tetapi Dia memaparkan bimbingan dan nilai-nilai yang kita perlukan untuk mencari jodoh. Kenapa? Lebih dari sekadar untuk kebahagiaan kita, pernikahan dirancang oleh Tuhan sebagai sarana untuk memuliakan Dia. Melalui petunjuk-Nya, Tuhan akan menuntun kita untuk membangun bersama dengan pasangan kita suatu hubungan yang menjadikan kita semakin efektif dalam melayani Dia.

MITOS #2: CINTA MAMPU MENGATASI SEGALANYA

 
GettyImages.com
 
Kita menghela napas lega saat dongeng-dongeng atau kisah cinta berujung dengan “and they lived happily ever after.” Kita percaya, dan diam-diam mendambakan fantasi itu: cinta mendatangkan kebahagiaan abadi. Dengan cinta, segala masalah akan teratasi. Namun, pernahkah kita bertanya: apa sebenarnya yang terjadi sesudah itu? Bagaimana si Cinderella, yang biasa berkutat di dapur, menyesuaikan diri dengan protokol istana setelah dipersunting Pangeran Tampan? Apakah benar cinta mereka bertahan selama-lamanya? Kalau saja ada dongeng yang menggambarkan situasi ini!

Benarkah cinta mampu mengatasi segalanya? Jawabannya antara lain terpampang di acara-acara infotainment. Bertubi-tubi muncul kabar tentang pasangan selebritas yang semula tampak mesra, namun akhirnya angkat tangan, merasa tidak menemukan titik temu satu sama lain lagi, dan memilih memutuskan hubungan pernikahan mereka. Bukan hanya di kalangan selebritas, keluarga-keluarga pada umumnya juga tidak sedikit yang berantakan akibat perceraian. Ambil contoh di daerah saya sendiri. Menurut catatan Kedaulatan Rakyat, kasus perceraian di Pengadilan Agama Sleman, Yogyakarta, pada 2003 sebanyak 696 perkara, pada 2004 sebanyak 722 perkara, dan pada 2005 sebanyak 803 perkara. Jumlahnya meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Alasan yang banyak dikemukan adalah tidak adanya lagi kecocokan.

Kalau benar cinta itu mengalahkan segalanya, kenapa terjadi banyak perceraian? Kenapa cinta tidak mampu menahan terpaan badai masalah---entah itu bernama ketidakcocokan, entah kesulitan ekonomi, entah perselingkuhan?

MITOS #3: CINTA SEJATI DAPAT DIKENALI DARI PANDANGAN PERTAMA

Jatuh cinta pada pandangan pertama memang pengalaman yang indah. Berjuta rasanya, kata Eyang Titiek Puspa. Namun, bila gelora perasaan yang kuat dan memabukkan itu dijadikan landasan dalam menentukan pasangan hidup, ya nanti dulu.

Cinta pada pandangan pertama itu barangkali mirip dengan iklan suatu-produk. Yang tampak menonjol hanya sisi yang indah-indah, kehebatan dan keunggulan produk bersangkutan. Kalau kita tidak teliti sebelum membeli, bisa-bisa kita mendapatkan produk yang ternyata tidak sebagus yang kita harapkan. Kita jadi kecewa dan jengkel.

Karena itu, cinta pada pandangan pertama masih perlu diteliti kualitasnya. Masih perlu diuji daya tahannya, apakah mampu menghadapi rintangan dan tantangan. Cinta yang otentik, dengan begitu, perlu waktu untuk bertumbuh dan berkembang.

Kalau kecewa terhadap suatu produk yang telanjur kita beli, dengan mudah kita dapat berpaling ke produk lain yang lebih baik. Namun, kalau kita nekad berpacaran sampai melanggar batas, kita bisa dirundung penyesalan seumur hidup. Atau, kalau kita sudah memasuki bahtera pernikahan, dan baru menemukan bahwa pasangan kita ternyata mengecewakan hati, kita mesti menanggung konflik berkepanjangan atau bahkan memutuskan untuk bercerai. Menyakitkan, bukan?

MITOS #4: PASANGAN HIDUP AKAN MEMENUHI KEBUTUHAN SAYA SEUTUHNYA

 
GettyImages.com
 
Aku merasa kesepian. Rasanya kosong. Hidupku rasanya kurang lengkap. Kurang sempurna. Ah, kalau saja aku menemukan soulmate, belahan jiwa yang akan melengkapi hidupku. Menyempurnakan kekuranganku. Kebutuhanku akan terpenuhi. Oh, hidupku akan benar-benar bahagia!

Salah besar! Mitos ketiga ini menyesatkan dan mengandung sejumlah kerapuhan yang dapat menjerumuskan kita.

Tidak ada seorang pun yang begitu hebatnya sehingga ia dapat menyempurnakan kekurangan orang lain. Kita masing-masing manusia yang terbatas dan tidak sempurna. Kita memang bisa bekerja sama, saling mendukung, dan saling menolong, namun kita tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan satu sama lain secara utuh, lengkap, dan sempurna. Sampai ke ujung bumi pun, mustahil kita menemukan pasangan hidup yang tanpa cela.

Kalau kita kesepian sebelum menikah, kita akan tetap---bahkan bisa jadi bertambah---kesepian setelah menikah. Kita memang kurang lengkap dan kurang sempurna. Namun, bila kekurangan itu sampai sedemikian mencekam kita, berarti ada yang tidak beres dengan gambar diri kita. Kita mengidap sindroma kroco jiwa alias minder. Sikap rendah diri ini mencuatkan perasaan sepi dan kosong. Kehadiran pasangan hidup bisa jadi bukan memperbaiki kondisi tersebut, namun malah memperparah keadaan.

Cinta sejati bukan bertabiat menuntut dan mengambil, tapi memberi dan membagi. Kita hanya bisa memberikan dan membagikan apa yang kita miliki. Kalau kita kekurangan, kita akan menyedot, bukannya memberi. Karenanya, untuk siap membangun hubungan cinta yang kokoh, kita harus terlebih dahulu menjadi pribadi yang utuh dan memiliki gambar diri yang sehat. Seperti dikatakan Anthony de Mello, ”Di mana ada cinta, di situ tidak ada permintaan, pengharapan, dan ketergantungan. Saya tidak meminta orang untuk membuat saya bahagia; kebahagiaan saya ada di dalam diri saya sendiri. Kalau orang itu meninggalkan saya, saya tidak akan menyesali diri; saya sangat senang berada di dekat orang itu, tapi saya tidak terikat dengannya.” ***

Artikel ini adalah kutipan buku Arie Saptaji, “Pacaran Asyik & Cerdas”, Yogyakarta: Gloria Graffa, 2009.

 

 

__________________