Submitted by Purnawan Kristanto on

Hari ini saya bertemu teman yang sebenarnya lebih pantas menjadi nenek saya. Sebut saja namanya bu Murni. Dia menceritakan pengalaman rohaninya yang menggetarkan. Hampur 20 tahun yang lalu ia mendampingi seorang perempuan yang diculik dan disekap selama berbulan-bulan.

Ketika ditemukan, perempuan ini dalam keadaan linglung dan hamil. Diduga karena diperkosa.
Ketika diantarkan ke rumah orangtuanya, orangtuanya tidak mau menerima karena anak perempuannya mengandung bayi haram. Maka, perempuan ini menumpang tinggal di rumah bu Murni. Selama mendampingi perempuan ini, bu Murni mengalami pergumulan yang luar biasa. Dia hampir-hampir tidak mampu melakukan panggilan mulia. Bagaimana tidak, perempuan ini menginginkan supaya bayi yang ada di kandungannya itu digugurkan saja. Hal ini jelas bertentangan iman kristiani yang diyakini bu Murni. Dia mengalami pertentangan batin yang hebat.

Hingga akhirnya bu Murni hanya bisa menangis tersedu-sedu di depan altar gereja. Seluruh isi hatinya ditumpahkan di hadapan Allah. Cukup lama dia berada gereja itu, hingga seluruh pintu gereja ditutup dan hanya disisakan satu pintu untuknya. Ketika tangisannya mulai reda, bu Murni mendengar suara batinnya berkata,"Jika kamu dipanggil Allah, masa' sih Allah tidak memberikan kekuatan dan sarana kepadamu untuk melaksanakan panggilan itu."

Suara itu kembali menguatkan semangat untuk menjalankan tugas pelayanannya.
Meski begitu, persoalan aborsi masih menjadi pergumulan batinnya. Suatu ketika, dia diundang untuk mengikuti sebuah konferensi di Beijing. Dalam suatu kesempatan, ada sekelompok orang yang berdemonstrasi di forum ini. Para demonstran ini kebanyakan adalah korban kekerasan seksual di sebuah negara Afrika. Mereka menuntut legalisasi pengguguran kandungan atau aborsi, khususnya untuk kehamilan yang tidak diinginkan. Misalnya karena korban perkosaan atau dipaksa menjadi pekerja seks komersial. Bu Murni pun mengikuti perjalanan demonstrasi ini dari belakang. Tapi hati nuraninya membuatnya merasa tidak nyaman di tengah kerumunan.

Maka dia pun keluar dari kelompok demonstran tersebut dan duduk di bawah pohon. Hatinya berkecamuk, "Di manakah posisiku? Apakah aku akan menyetujui pembunuhan ciptaan Tuhan yang ada di dalam kandungan? Tapi bagaimana dengan korban yang harus menderita trauma selama berbulan-bulan karena mengandung janin dari pemerkosanya?"

Cukup lama dia merenung, hingga akhirnya sampai pada sebuah pencerahan, "Tugasmu adalah mendampingi dan menguatkan korban kekerasan. Perkara apakah bayi itu akan dikandung sampai lahir atau tidak, itu adalah keputusan si korban tersebut. Yang penting kamu sudah memberikan segala pertimbangan menurut keyakinanmu." Suara hatinya itu memberi kekuatan baru kepadanya untuk mendampingi perempuan-perempuan korban kekerasan sampai saat ini.

Submitted by jesusfreaks on Tue, 2008-01-22 12:37
Permalink

Dear Pur,

Kisah berikut ini dikutip dari buku "Gifts From The Heart for Women"
karangan Karen Kingsbury. Buku ini dapat Anda peroleh di toko buku Gramedia,
maupun toko buku lainnya.

Inti ceritanya kira-kira sbb :

Adapasangan suami isteri yang sudah hidup beberapa lama tetapi belum
mempunyai keturunan. Sejak 10 tahun yang lalu, sang istri terlibat aktif
dalam kegiatan untuk menentang ABORSI,karena menurut pandangannya, aborsi
berarti membunuh seorang bayi.

Setelah bertahun-tahun berumah-tangga, akhirnya sang istri hamil, sehingga
pasangan tersebut sangat bahagia. Mereka menyebarkan kabar baik ini kepada
famili, teman2 dan sahabat2, dan lingkungan sekitarnya.
Semua orang ikut bersukacita dengan mereka. Dokter menemukan bayi kembar
dalam perutnya, seorang bayi laki2 dan perempuan.Tetapi setelah beberapa
bulan, sesuatu yang buruk terjadi. Tetapi bayi perempuan mengalami kelainan,
dan ia mungkin tidak bisa hidup sampai masa kelahiran tiba. Dan kondisinya
juga dapat mempengaruhi kondisi bayi laki2. Jadi dokter menyarankan untuk
dilakukan aborsi, demi untuk sang ibu dan bayi laki2 nya.

Fakta ini membuat keadaan menjadi terbalik. Baik sang suami maupun sang
istri mengalami depressi. Pasangan ini bersikeras untuk tidak menggugurkan
bayi perempuannya (membunuh bayi tsb), tetapi juga kuatir terhadap kesehatan
bayi laki2nya. "Saya bisa merasakan keberadaannya, dia sedang tidur
nyenyak", kata sang ibu di sela tangisannya. Lingkungan sekitarnya
memberikan dukungan moral kepada pasangan tersebut,dengan mengatakan bahwa
ini adalah kehendak Tuhan.

Ketika sang istri semakin mendekatkan diri dengan Tuhan, tiba-tiba dia
tersadar bahwa Tuhan pasti memiliki rencanaNya dibalik semua ini. Hal ini
membuatnya lebih tabah.Pasangan ini berusaha keras untuk menerima fakta ini.
Mereka mencari informasi di internet, pergi ke perpustakaan, bertemu dengan
banyak dokter, untuk mempelajari lebih banyak tentang masalah bayi mereka.
Satu hal yang mereka temukan adalah bahwa mereka tidak sendirian.
Banyak pasangan lainnya yang juga mengalami situasi yang sama, dimana bayi
mereka tidak dapat hidup lama. Mereka juga menemukan bahwa beberapa bayi
akan mampu bertahan hidup, bila mereka mampu memperoleh donor organ dari
bayi lainnya. Sebuah peluang yang sangat langka. Siapa yang mau mendonorkan
organ bayinya ke orang lain ? Jauh sebelum bayi mereka lahir, pasangan ini
menamakan bayinya, Jeffrey dan Anne. Mereka terus bersujud kepada Tuhan.
Pada mulanya,mereka memohon keajaiban supaya bayinya sembuh. Kemudian mereka
tahu, bahwa mereka seharusnya memohon agar diberikan kekuatan untuk
menghadapi apapun yang terjadi, karena mereka yakin Tuhan punya rencanaNya
sendiri.

Keajaiban terjadi, dokter mengatakan bahwa Anne cukup sehat untuk
dilahirkan, tetapi ia tidak akan bertahan hidup lebih dari 2 jam. Sang istri
kemudian berdiskusi dengan suaminya, bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi
pada Anne, mereka akan mendonorkan organnya. Ada dua bayi yang sedang
berjuang hidup dan sekarat, yang sedang menunggu donor organ bayi.
Sekali lagi, pasangan ini berlinangan air mata. Mereka menangis dalam posisi
sebagai orang tua, dimana mereka bahkan tidak mampu menyelamatkan Anne.
Pasangan ini bertekad untuk tabah menghadapi kenyataan yg akan terjadi.

Hari kelahiran tiba. Sang istri berhasil melahirkan kedua bayinya dengan
selamat. Pada momen yang sangat berharga tersebut, sang suami menggendong
Anne dengan sangat hati-hati, Anne menatap ayahnya, dan tersenyum dengan
manis. Senyuman Anne yang imut tak akan pernah terlupakan dalam hidupnya.
Tidak ada kata2 di dunia ini yang mampu menggambarkan perasaan pasangan
tersebut pada saat itu. Mereka sangat bangga bahwa mereka sudah melakukan
pilihan yang tepat (dengan tidak mengaborsi Anne),mereka sangat bahagia
melihat Anne yang begitu mungil tersenyum pada mereka, mereka sangat sedih
karena kebahagiaan ini akan berakhir dalam beberapa jam saja.

Sungguh tidak ada kata2 yang dapat mewakili perasaan pasangan tersebut.
Mungkin hanya dengan air mata yang terus jatuh mengalir, air mata yang
berasal dari jiwa mereka yang terluka..

Baik sang kakek, nenek, maupun kerabat famili memiliki kesempatan untuk
melihat Anne. Keajaiban terjadi lagi, Anne tetap bertahan hidup setelah
lewat 2 jam. Memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi keluarga tersebut
untuk saling berbagi kebahagiaan. Tetapi Anne tidak mampu bertahan setelah
enam jam.....

Paradokter bekerja cepat untuk melakukan prosedur pendonoran organ.
Setelah beberapa minggu, dokter menghubungi pasangan tsb bahwa donor tsb
berhasil. Dua bayi berhasil diselamatkan dari kematian. Pasangan tersebut
sekarang sadar akan kehendak Tuhan. Walaupun Anne hanya hidup selama 6 jam,
tetapi dia berhasil menyelamatkan dua nyawa. Bagi pasangan tersebut, Anne
adalah pahlawan mereka, dan sang Anne yang mungil akan hidup dalam hati
mereka selamanya...

Jesus Freaks,
"Live X4J, die as a martyr"

Submitted by Purnawan Kristanto on Wed, 2008-01-23 01:12
Permalink

Dear Jesusfreaks,
Kalau saya mencoba "read between the lines" dalam kutipan cerita Anda, dan juga membaca judul opini, saya menduga bahwa Anda hendak menyampaikan pesan bahwa Anda MENENTANG ABORSI. Saya setuju dengan sikap Anda ini. Saya juga tidak setuju dengan pengguguran kandungan, khususnya hanya karena alasan yang egoistis.
Meski begitu, saya menyampaikan kisah pergumulan bu Murni ini untuk memberikan gambaran bahwa dalam realitas keseharian, kita kadang harus menghadapi wilayah abu-abu yang sangat sulit disikapi.
Contohnya ketika kerusuhan Mei 1998, banyak perempuan yang diperkosa dan hamil. Para konselor mau tak mau harus menghadapi dilema ini. Banyak korban kekerasan seksual yang tidak menghendaki untuk meneruskan kehamilan ini, karena jika harus mengandung selama sembilan bulan lebih, berarti dia akan terus-menerus mengingat pengalaman traumatik ini selama hidupnya.
Dalam perbincangan dengan saya, meski sebagai aktivis perempuan, tapi bu Murni bersikap Pro Life. Dia menentang aborsi. Meski begitu, jika konselee memutuskan untuk menggugurkan janin itu, maka dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dia sudah sedapat mungkin memberi pengertian tentang perlunya mempertahankan kehamilan tersebut, tapi jika sang konselee memutuskan hal yang lain, dia harus bagaimana lagi?
Di berbagai wilayah konflik, pemerkosaan ini menjadi sarana teror untuk menjatuhkan moral lawan dan dilakukan secara sistematis. Peristiwa ini nyata terjadi di Aceh pada masa DOM dan Timor-Timur.