Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pemimpin itu Gedibal

Purnawan Kristanto's picture

Siapa bilang Amerika itu negara makmur? Tahun ini, utang negeri paman Sam ini mencapai 14,3 triliun dollar AS.  Utang itu sudah setara dengan 100 persen dari produksi domestik bruto (PDB) AS selama setahun. Supaya lebih mudah membayangkannya ilustrasinya begini: utang Amerika itu baru bisa dilunasi jika selama setahun rakyat Amerika tidak melakukan konsumsi (termasuk makan dan minum), tidak berinvestasi, para pegawai tidak digaji dan belanja pemerintah distop. Semua uangnya dikumpulkan untuk membayar utang. Barulah utang mereka lunas.

Memang tidak ada salahnya berhutang. Sebagian besar negara di dunia ini juga punya hutang.  Yang menjadi masalah apakah penggunaan dana hutangan itu cukup tepat? Utang dibenarkan jika digunakan untuk investasi. Misalnya untuk membangun infrastruktur sehingga perekonomian di negara itu terdongkrak. Pada akhirnya, negara mendapatkan pengembalian modal berupa pajak untuk mengembalikan utang. Namun yang terjadi di Amerika, anggaran belanja mereka sarat dengan beban anggaran militer. Mereka mengeluarkan mega dana untuk biaya perang di Afganistan dan Irak.  Dibungkus dengan dalih suci apa pun, perang di dua negara itu telah menyedot banyak biaya sehingga menjadikan melarat negara Amerika.

Kalau tahu begitu mengapa mereka tidak mundur saja? Rasa gengsilah yang menghalangi jalan pulang. Meninggalkan Afganistan dan Irak dalam kondisi karut-marut begitu sama saja mengakui kalau mereka kalah berperang. Orang Jawa mengistilahkannya sebagai "tinggal glanggang, colong playu" (kabur dari medan perang).  Dalam falsafah ksatriya, mereka lebih memilih mati di medan perang daripada menanggung malu seumur hidup. Itu sebabnya pemerintah AS mencari-cari berbagai alasan untuk membenarkan kehadiran tentara mereka di negeri asing. Pemimpin Amerika enggan mengakui bahwa intevensi ke kedua negara itu adalah kebijakan yang blunde.. Sekali lagi orang Jawa punya istilah "mbarang wirang" atau pantang diperlamalukan. Bangsa Amerika masih trauma dipermalukan karena kalah perang di Vietnam.

***

Dalam skala yang lebih kecil, ada pejabat publik di negeri ini yang juga tidak mau malu. Pejabat ini pernah mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Dia bahkan memberikan sambutan tertulis saat peresmian gedung ibadah itu. Namun ketika ada sekelompok orang, --yang diduga berasal dari konstituennya--, mengusik keberadaan rumah ibadah ini, maka pejabat ini serta merta mencabut izin yang sudah dikeluarkannya sendiri. Setelah itu menyegel rumah ibadah itu. Selama setahun, warga yang biasa beribadah di gedung itu harus beribadah di trotoar depan gedung ibadah.

Tindakan pejabat ini mendapat perlawanan dari kelompok masyarakat yang biasa beribadah di situ. Mereka mengajukan gugatan ke pengadilan. Hasilnya, sampai tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan warga. MA juga memerintahkan pejabat publik ini agar membuka segel sehingga gedung itu bisa digunakan. Akan tetapi pejabat itu tetap mbeguguk ngutowaton alias berkepala batu. Sekalipun sudah ada desakan dari Amnesti Internasional,  rekomendasi dari Lembaga Ombudsman Indonesia dan tekanan dari berbagai LSM, namun sampai tulisan ini dibuat, tetap tidak ada niat untuk patuh pada putusan hukum.

Mengapa pejabat publik itu tetap mengeraskan hati? Karena dia menganut prinsip "mbarang wirang." Dia masih memposisikan diri sebagai penguasa. Dalam budaya paternalistik, penguasa itu pantang dipermalukan di depan publik. Seperti yang digambarkan dalam humor populer ini:

Penguasa: "Hanya ada dua hukum yang berlaku di wilayah kekuasaanku. Hukum pertama, penguasa tidak pernah salah. Hukum kedua, jika penguasa berbuat salah, maka diberlakukan hukum pertama."

Pada zaman Orde Baru, para birokrat itu disebut "Pangreh Projo" atau pejabat kerajaan yang berwenang 'ngereh' atau memerintah rakyat jelata sesuai keinginan mereka. Istilah ini menggambarkan paradigma dalam kekuasaan yang otoritarian. Namun pada zaman, -yang katanya-,  reformasi ini apakah paradigma ini masih relevan? Pangreh Projo digunakan untuk menggambarkan bahwa kekuasaan itu didapatkan melalui penaklukan. Sementara itu, pada saat ini jabatan itu diberikan melalui pemilihan. Itu artinya pemegang kekuasaan berada di tangan rakyat. Sedangkan pejabat adalah orang yang diberi mandat untuk mengelola negara dalam kurun waktu tertentu. Mereka digaji menggunakan pajak yang dibayarkan oleh rakyat.

Istilah "abdi negara" menggambarkan situasi ini dengan tepat.  Para pejabat dan pegawai pemerintah itu sebenarnya hanyalah abdi, alias hamba, alias pelayan, alias gedibal rakyat. Maka tidak ada hak bagi mereka untuk bersikap semena-mena dan bertindak sekehendak hatinya sendiri. Sebagai gedibal, apa mereka tidak malu jika minta fasilitas mobil mewah dan menuntut dikawal konvoi jika dia beringsut ke tempat lain? Bahkan yang lebih parah lagi ada konvoi pejabat yang  diistimewakan untuk menentang arus lalu lintas. Alasannya sudah diizinkan oleh polisi. Pertanyaannya saat polisi memberikan izin itu apakah karena mereka melihat mobil pejabat atau tidak? Apakah jika yang ada di depan mereka itu angkot butut yang membawa korban kecelakaan, apakah polisi akan memberikan hal istimewa serupa?

***

Duaribu tahun yang lalu, seorang guru di Palestina memberikan nasihat bijak: "Orang yang paling banyak melayani, dialah pemimpin kalian.”  Pemimpin adalah pelayan. Kepemimpinan itu bukan posisi melainkan mandat yang diserahkan oleh banyak orang. Mandat itu adalah tugas untuk mengelola dan menyejahterakan hidup bersama. Dan orang yang biasa diberi tugas itu biasa disebut apa? Pelayan! Ya, pemimpin adalah pelayan orang banyak.

Jika setiap pejabat publik menyadari bahwa dirinya hanya pelayan, maka dia merasa tidak gengsi untuk mengakui kesalahan. Dia juga akan patuh pada aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh wakil rakyat, yang dalam notabene adalah tuannya. Jika hukum telah membatalkan keputusan yang dibuatnya, maka pemimpin itu akan menaatinya. Itulah pemimpin sejati!

__________________

------------

Communicating good news in good ways

ebed_adonai's picture

@PK: Sudah lama ....

Sebenarnya sebelum sampai pada fase seperti yang sekarang ini, dari sisi militer sudah kelihatan kalau Uncle Sam sudah mulai goyah dalam hal anggaran mas. Program pesawat tempur F-22 (yang awalnya jumlahnya fantastis banget) disunat habis-habisan sama Kongres. Terpaksa deh pesawat-pesawat tua kayak F-15, yang sedianya diniatkan untuk pensiun total, direfurbish dan dipakai lagi. Bomber "Celana Dalam Terbang", alias B-2 juga combat effectivenessnya berkurang drastis, karena biaya perawatan de el el. Program Helikopter RAH-66 (sempat nongol di film Hulk) juga dibatalkan. Ngeri kadang membayangkannya ya? Demi gengsi perang, sudah kelimpungan begitu saja masih tetap bertahan.

"...Jika setiap pejabat publik menyadari bahwa dirinya hanya pelayan, maka dia merasa tidak gengsi untuk mengakui kesalahan..."

Lha kepriben mas?

Pucuk pimpinannya saja (maaf beribu maaf) berlagak layaknya seorang Resi yang tinggal di puncak gunung dan hanya sesekali turun ngecek ini itu, menyarankan, menganjurkan, dst. Baru "bernyanyi" kalau yang kena pencitraan dirinya. Always play safe, nggak mau berkotor-kotor tangan dan kakinya, nggak mau ambil resiko dibenci/dihina demi rakyatnya. Sekali lagi maaf berjuta maaf, kalau saya diijinkan untuk bebas berekspresi, segeli-gelinya para pemimpin kita terdahulu, pemimpin yang sekarang inilah yang paling menggelikan bagi saya. Memberi pidato cantik tentang kepemimpinan, korupsi, de el el, eh tikus-tikusnya bikin ulah di kolong meja kerjanya sendiri diam-diam saja. Bicara indah-indah di forum internasional tentang tenaga kerja, beberapa saat kemudian rakyatnya dipancung di negeri orang... Cry

__________________

(...shema'an qoli, adonai...)