Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Choose The Good and Right Things or The Bad and False Things? (Maleakhi 3:13-18)

Deflit Dujerslaim Lilo's picture

Oleh: Deflit Dujerslaim Lilo, S.Th.

 Pendahuluan

 

Manusia adalah “Imago Dei” – begitulah teori yang kita dapatkan berdasarkan apa yang kita temukan melalui penyataan Allah dalam Alkitab. Dari sumber tersebut, kita juga menemukan bahwa manusia dipandang sebagai ciptaan yang lebih baik dan bermutu dibanding dengan semua ciptaan yang pernah diciptakan. Hal ini tentu dipengaruhi oleh pemahaman bahwa tidak ada satu pun dari ciptaan yang ada di kolong langit ini yang mampu melakukan apa pun seperti yang dilakukan manusia. Hingga pada akhirnya manusia dijadikan dan menjadikan dirinya sebagai sumber ilmu pengetahuan yang pada satu sisi mampu menghasilkan sebuah karya yang mengesankan tetapi di sisi lain dapat menjadi petaka bagi dunia ini.

Namun apakah manusia telah memiliki pengetahuan yang memadai untuk memahami setiap fenomena yang terjadi dalam dunia ini bahkan yang menyangkut dirinya? Apakah manusia dapat selalu menggunakan rasionya untuk mengupas secara detail akan setiap peristiwa yang dialami? Atau, justru pengetahuan itu telah membuat manusia semakin terperosot ke dalam jurang ketidaktahuan dan kesesatan? Apakah ada hal-hal yang tak dapat dipahami oleh manusia dengan pasti? Mungkinkah hikmat manusia terpatahkan oleh hikmat dari sebuah eksistensi yang absolut dan tak terpahami? Seorang penulis bernama D. C. Mulder pernah mengemukakan sebuah pemahaman yang sangat menarik tentang persoalan pokok yang dialami oleh manusia ketika ia mempergunakan pengetahuannya. Menurut Mulder, setiap kali manusia mulai memikirkan dirinya sendiri, manusia akan selalu menghadapi persoalan-persoalan seputar keberadaan Allah, manusia dan hubungannya dengan alam semesta. Untuk sebuah kepuasan akan jawaban, manusia berupaya menggunakan ilmu pengetahuan dan rasionya. Meskipun demikian, kemampuan berpikir dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia ternyata belum mampu untuk menjawab persoalan-persoalan itu. Akhirnya, manusia mencoba mencari jawaban melalui agama dan keyakinannya bahkan menempuhnya dengan pendekatan filosofis (yang pada dasarnya) semu.[1] Karena itu tidaklah mengherankan jika kita temukan manusia yang sekalipun telah memiliki keyakinan dalam agamanya namun masih saja terjerat dalam pemahaman yang dangkal akan keyakinannya.

Sungguh tragis! Jika manusia tak mampu memahami siapa dan apa itu Allah dan seluruh ciptaan yang ada dengan pendekatan ilmu pengetahuan, mengapa justru manusia semakin skeptis atau ragu-ragu ketika agama dipakai sebagai “jalan keluar” untuk memahami setiap peristiwa dalam hidupnya?

Sebagai manusia, kita tak dapat menghindar dari fenomena ini. Siapa pun dia, dimana pun berada dan bagaimana pun kondisinya, kita masih berhadapan dengan pengalaman seperti ini. Bahkan sebagai umat yang percaya dan berharap pada Allah, kita juga masih dapat merasakan keragu-raguan akan apa yang kita alami dan rasakan sendiri. Hal ini tentu mendorong kita untuk mengambil sebuah pilihan. Sebuah pilihan yang kita anggap dapat menolong kita untuk memahami setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Pertanyaannya, apakah kita telah memilih hal yang benar atau yang salah? Memilih hal yang baik atau jahat? Dengan demikian pertanyaan ini sekaligus menjadi tema pembahasan kita yaitu “Memilih hal-hal yang baik dan benar atau yang jahat dan salah?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita akan meneliti apa yang dinyatakan oleh Alkitab lalu melihat signifikansinya bagi kehidupan kita sebagai orang percaya pada masa kini. Dalam hal ini kita akan menelitinya berdasarkan Firman Tuhan yang terdapat dalam Maleakhi 3:13-18.

 

Pembahasan

 

Di awal pembahasan kita tadi, saya sempat menyatakan bahwa oleh karena manusia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan berdasarkan keterbatasan pengetahuan ketika mempelajari tentang Allah dan ciptaan yang ada, maka manusia kemudian masuk melalui jalur agama dan keyakinan pemikiran. Manusia yakin bahwa jika pengetahuan tidak mampu membimbing mereka ke dalam pemahaman yang benar, maka mungkin agama dan keyakinan dapat melakukannya. Hal ini tentu tak dapat terelakkan karena Firman Tuhan menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan memiliki sifat dasar yaitu sifat budaya dan sifat agama. Stephen Tong memberikan sebuah pernyataan yang tegas tentang hal ini. Menurutnya, “Ketika kedua sifat ini disingkirkan dari manusia, manusia tidak lagi menjadi manusia.”[2]

Di dalam Alkitab, kita temukan ada begitu banyak peristiwa yang menyatakan bahwa umat manusia membutuhkan sebuah agama atau keyakinan untuk membawa mereka lebih mengenal dan memahami siapa diri mereka. Tidak terkecuali umat Tuhan. Hal yang paling jelas tampak dalam sepanjang sejarah Israel baik sebagai pribadi-pribadi tertentu maupun sebagai sebuah bangsa.

Sebagai sebuah bangsa yang dipilih dan dipanggil menjadi umat Allah, mereka (pribadi lepas pribadi) diwajibkan untuk mendekatkan diri pada Allah dan hidup bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Bahkan hal ini tercatat secara jelas dalam perintah pertama yang diberikan oleh Allah kepada mereka (saat dimerdekakan dari perbudakan) adalah “Jangan ada pada mu allah lain di hadapan-Ku.” Konsep ini menegaskan bahwa bangsa Israel harus memandang Allah (Yahweh) sebagai satu-satunya Allah mereka dan bahwa hanya Allah yang sanggup melepaskan mereka dari tangan musuh serta memberikan berkat yang melimpah.

Dalam perjalanan waktu yang tidak terlalu lama justru kita temukan bahwa bangsa Israel dengan begitu cepatnya melupakan Allah dan berpaling pada ilah-ilah lain. Akibatnya, mereka mendapatkan hukuman yang hampir-hampir menyebabkan kepunahan secara total. Mereka sadar akan dampak itu dan berteriak minta tolong sehingga diselamatkan kembali. Perhatikan bahwa proses kehidupan seperti ini terus-menerus terulang sepanjang bangsa ini berada. Mereka berdosa kepada Allah lalu dihukum, setelah tidak mampu lagi menahan hukuman itu mereka berseru mohon ampun dan akhirnya dibebaskan. Begitu seterusnya, begitu seterusnya, hingga mereka akhirnya dibuang oleh Allah dalam perbudakan yang menyakitkan.

Dalam perbudakan dan penindasan itu, akhirnya mereka sadar dan mulai merestorasi seluruh tatanan kehidupan mereka. Allah mendengar mereka dan memberikan kesempatan untuk komitmen itu. Mereka sadar bahwa selama ini mereka telah memilih hal-hal yang jahat dan salah di mata Tuhan. Sebuah gebrakan dan semangat restorasi pun mulai berakar dan bertumbuh. Pergerakan ini ditandai dengan langkah-langkah yang ditempuh oleh mereka yang kembali dari pembuangan. Antara lain seperti Hagai, Zakharia, Zerubabel, Yesua, Ezra, dan Nehemia.

Selain tokoh-tokoh tadi, ada satu tokoh dalam Alkitab yang sebenarnya juga memiliki peranan yang sangat penting sehubungan dengan semangat restorasi yang dilakukan oleh bangsa Israel. Bahkan menurut beberapa ahli, tokoh tersebut telah melayani di Israel sebelum kedatangan Ezra dan Nehemia di Yerusalem. Siapakah dia?

Tokoh tersebut adalah Maleakhi. Dalam bahasa Ibrani, kata Maleakhi adalah sebuah kata benda yang berarti “Utusanku.” Dari informasi ini kita tidak tahu secara pasti apakah nama perantara seperti yang dimaksud dalam Pasal 1:1 adalah benar-benar bernama Maleakhi atau ini merupakan sebuah sebutan bagi seseorang yang menjadi “Utusan Tuhan” bagi bangsa Israel. Namun yang pasti adalah bahwa nabi tersebut diutus Allah untuk menyampaikan dua hal penting pada masa pelayanannya yaitu, 1) apa saja dosa-dosa bangsa Israel (Pasal 1 dan 2), dan 2) hukuman untuk orang fasik dan berkat bagi orang benar (Pasal 3 dan 4). Untuk bagian ini, kita akan lebih fokus pada hal kedua yaitu apa yang digumuli oleh Maleakhi dan bangsa Israel sehubungan dengan masalah hukumanlah yang seharusnya diterima oleh orang fasik dan berkatlah yang seharusnya diterima oleh orang benar.

Hal pertama yang harus kita perhatikan adalah dimana dan kapan Maleakhi menyampaikan seruan ini kepada bangsa Israel. Tadi telah dijelaskan bahwa Maleakhi memulai pelayanannya di Yerusalem pada saat bangsa Israel kembali dari pembuangan. Informasi ini dapat berarti bahwa bangsa Israel kini sedang menghadapi situasi yang senang sekaligus sulit. Mereka tentu senang karena dapat kembali ke kampung halaman, bebas dari perbudakan tetapi mereka tahu akan kesulitan yang akan mereka hadapi di Yerusalem. Namun, tindakan dan semangat mereka untuk kembali ke Yerusalem tentu mengindikasikan bahwa ada secercah harapan di balik awan kemelut yang selama ini dialami. James Adamson berpendapat bahwa orang-orang Yahudi itu kembali ke Yerusalem dengan harapan-harapan yang tinggi akan sebuah perubahan dan kemakmuran.[3] Orang-orang Yahudi itu tentu telah mengarahkan diri sepenuhnya untuk tidak mengandalkan ilmu pengetahuan tetapi Allah. Mereka yakin bahwa keputusan untuk mengandalkan Allah adalah pilihan yang tepat.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah mereka menghadapi dan menerima kenyataan yang sama seperti yang mereka impikan atau justru sebaliknya? Sebelum kita menelitinya lebih jauh, alangkah baiknya jika kita membagi pembahasan ini ke dalam 2 (dua) pertanyaan pokok yaitu: 1) Bagaimanakah keadaan orang Israel yang ada di Yerusalem setelah kembali dari pembuangan?, 2) Apa respons Tuhan terhadap kondisi mereka?

 

1.         Bagaimana keadaan orang Israel yang ada di Yerusalem setelah kembali dari pembuangan?

Pada pasal 3:13-14 kita menemukan informasi yang paling tidak menyatakan bahwa terjadi sebuah pergolakan di antara umat Tuhan yang telah kembali ke Yerusalem. Pergolakan tersebut dilatarbelakangi oleh apa yang dialami orang-orang Israel pada saat itu. Sekali lagi, dengan kembalinya mereka ke Yerusalem, mereka sangat mengharapkan ada perubahan yang baik dalam hidup mereka. Apalagi Hagai dan Zakharia telah memberikan semangat kepada mereka untuk membangun Bait Suci. Namun yang mereka terima justru penghidupan yanng sulit, kemakmuran yang ‘tak mereka rasakan, malahan mereka mendapatkan musuh-musuh yang terus menyusahkan, bahkan kemarau dan gagal panen (3:11).

Berdasarkan penjelasan ini, kita bisa memahami mengapa ada sebuah pernyataan dari Allah tentang kemunafikan orang Israel di hadapan Tuhan. Hal yang perlu dicermati adalah kepada siapakah Allah menyampaikan firman-Nya itu? Apakah kepada orang Israel atau kepada siapa? Dari ayat 13-15, paling tidak ada tiga kemungkinan kepada siapa Allah mengatakan hal tersebut. Pertama, kepada orang-orang fasik yang tidak mengenal Allah. Jika ini benar maka bangsa Israel sedang merasakan ketidakadilan Allah. Mengapa orang-orang yang tidak mengenal Tuhan justru hidup dengan layak dan berbahagia? Menjadi umat Tuhan justru lebih sengsara dari pada tidak menjadi umat-Nya. Kedua, kepada orang-orang Israel. Beberapa penafsir memaparkan bahwa kemungkinan ada kelompok-kelompok kecil dalam komunitas Israel yang tidak hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Mereka tidak hidup dengan benar di hadapan Tuhan tetapi merasa sombong karena tidak ada hukuman yang mereka terima tetapi kesenangan dan kenyamanan. Kemungkinan kelompok-kelompok ini melancarkan ejekan-ejekan kepada mereka yang hidupnya benar dihadapan Allah. Mungkin mereka juga berupaya untuk mempengaruhi orang-orang yang setia untuk tidak lagi beribadah dan menyesal di hadapan Tuhan.[4] Ketiga, kepada orang-orang Israel yang mulai berpikir dan bersikap skeptis terhadap penyertaan Allah. Mereka sekarang mulai merasa kuatir bahkan ragu-ragu akan penyertaan Tuhan karena mereka melihat bahwa tidak ada perbedaan antara orang yang tidak percaya dengan orang yang percaya. Justru mereka melihat bahwa ketika mereka serius untuk mengikuti dan melayani Allah, mereka malah mendapatkan banyak kesusahan. Mereka akhirnya menjadi kecewa dan berpaling dari-Nya.

 

2.         Apa respons Allah terhadap kondisi mereka?

Pada Pasal 3:16 – 18 bahkan 4:1-3 kita menemukan bahwa Allah tidak tinggal diam dengan masalah yang dialami oleh bangsa Israel.

Ada dua hal menarik dari poin ini. Pertama, ayat yang ke-16 secara langsung menunjuk kepada “orang-orang yang takut akan Tuhan.” Informasi ini sekaligus menyatakan bahwa Allah sedang menyatakan kehendak-Nya kepada orang-orang Israel yang hidup takut pada Tuhan. Hal ini juga berarti bahwa Allah menghendaki agar orang-orang Israel tidak ragu-ragu terhadap pemeliharaan dan penyertaan-Nya. Kekuatiran mereka telah menyebabkan mereka tidak dapat memahami maksud dan rencana Allah. Jikalau ini benar maka poin ini juga sekaligus menjawab pertanyaan “Kepada siapakah Allah menyampaikan firman-Nya?” yang baru kita bahas tadi, yaitu yang “ketiga”.

Kedua, pada ayat yang ke-18 Allah menyatakan bahwa akan ada perbedaan antara orang yang benar dan orang yang fasik. Perhatikan, Allah menghubungkan perbedaan tersebut dengan komitmen untuk “beribadah”. Dalam sepanjang penyataan Firman Tuhan, paling tidak ada 3 (tiga) hal yang dikaitkan dengan masalah beribadah, yaitu: a) Ibadah dalam pengertian melakukan pemujaan dan penyembahan kepada Allah di Bait Suci atau sinagoge atau tempat-tempat ibadah lainnya, b) Ibadah dalam arti kata “Abodah” atau “Abowdah” yang juga dapat menunjuk kepada pengertian “kerja” atau “bekerja” dan dengan demikian dapat berarti “kerja sebagai bentuk ibadah atau pelayanan,” dan c) mempersembahkan kehidupan sebagai bentuk ibadah yang sejati kepada Tuhan (Rm.12:1).

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan antara orang fasik dan benar tampak dalam tiga hal ini. Mereka yang sungguh-sungguh memuji dan menyembah-Nya, mereka yang melakukan segala pekerjaan sebagai bentuk ibadah –seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia– dan mereka yang menyerahkan hidupnya seutuhnya kepada-Nya pada akhirnya akan mengalami kemenangan (4:2-3). Dengan kata lain Allah hendak menyatakan kepada orang-orang Israel yang kembali dari pembuangan bahwa mereka tidak sedang memilih hal-hal yang buruk dan salah ketika mereka hidup taat dan takut pada Tuhan. Sebaliknya, mereka justru adalah orang-orang yang gegabah dan fasik jika menganggap bahwa mengikuti Tuhan adalah sebuah pilihan yang tidak baik dan salah.

 

Aplikasi

 

Bertolak dari apa yang kita bahas tadi, maka ada beberapa hal yang perlu disimak sebagai aplikasi bagi kita, yaitu:

1.               Ada banyak orang Kristen saat ini yang memiliki pergumulan yang sama dengan apa yang terjadi pada bangsa Israel. Meskipun telah hidup di dalam Tuhan, tetapi masih skeptis atau ragu-ragu. Keraguan terbesar ada pada rasa percaya kita akan penyertaan Tuhan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa, kita sering terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan logika seperti: Apa untungnya menjadi orang Kristen jika hidup lebih susah? Bukankah Allah adalah sumber berkat tapi mengapa hidup ini menjadi lebih sulit? Bukankah Allah telah menjanjikan berkat bagi barangsiapa yang hidupnya berkenan di hadapan-Nya tapi mengapa harus memikul salib dan menderita setiap hari? Mengapa orang-orang yang tidak mengenal Tuhan justru memiliki hidup dan kesempatan yang lebih baik dari pada orang Kristen? Bukankah kita justru dihina, disiksa, dianiaya, ditolak, bahkan dibunuh ketika percaya dan mempertahankan kepercayaan kita kepada Tuhan? Mengapa orang percaya harus menderita? Apakah Allah itu benar-benar ada atau hanya dongeng belaka dari bangsa Yahudi?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu terbesit dalam pikiran kita ketika apa yang kita dapatkan tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Siapa pun dia, apa pun pekerjaannya dan dimana pun dia berada.

Beberapa waktu yang lalu, salah satu rekan seprofesi dengan saya menelpon saya. Saya sangat senang ketika ditelepon. Hal ini terbukti ketika kami mulai berbicara satu dengan yang lain. Dia menceritakan pengalamannya ketika memulai pelayanannya dan hal-hal menarik yang terjadi padanya. Sementara kami berbicara via handphone, tiba-tiba teman saya menangis dengan pilunya. Situasi yang gembira dan menyenangkan itu seakan hilang begitu saja dalam perbincangan kami.

Dia merasa bahwa Allah tidak adil padanya. Dia sangat sedih karena berpikir bahwa Allah tidak memperhatikan dan memberkatinya di tempat pelayanannya. Untuk pemikiran tersebut, ia membandingkan apa yang dia alami dan dapatkan dengan teman-temannya yang lain. Dia bertanya-tanya, “Mengapa Allah justru memberikan berkat bagi teman-teman saya yang selalu menipu orangtua mereka hanya untuk mendapatkan uang ketika masih menjalani pendidikan?” “Mengapa saya yang tidak pernah membohongi orangtua justru tidak mendapatkan penghidupan yang lebih baik?” Dia benar-benar merasakan kekecewaan yang begitu mendalam. Saya hanya terdiam karena saya sadar bahwa saya dan semua orang juga pernah, sedang, dan akan mengalami hal seperti ini (meskipun akhirnya saya mencoba untuk memberikan pengertian kepadanya).  Perhatikan bahwa dia adalah seorang pelayan Tuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa siapa pun dia, pasti akan terus bergumul dalam hidupnya.

Hal ini juga yang disadari oleh Petrus ketika ia melihat bahwa orang-orang percaya yang ia layani mulai bimbang dengan pilihan mereka untuk hidup sebagai orang percaya. Petrus menyatakan bahwa adalah suatu kebahagiaan jika seseorang menderita sebagai orang Kristen. Janganlah ia malu tapi muliakanlah Allah. Dalam I Korintus 10:13 dikatakan, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

 

2.               Banyak dari orang percaya pada masa kini yang mulai berpikir beribadah dan berdoa tidaklah memberikan manfaat yang banyak sehingga tidak heran jika banyak tempat-tempat yang kosong pada saat ibadah. Bahkan ada banyak dari orang percaya yang meskipun datang beribadah tapi masih bersungut-sungut dalam hatinya.

Suatu kali ketika saya sedang ditugaskan untuk melayani di salah satu denominasi gereja di daerah Balandai, Palopo – Sulawesi Selatan, saya terkejut dengan apa yang dilakukan oleh salah seorang anggota jemaat yang hadir pada saat itu. Orang tersebut datang 1 (satu) jam lebih awal pada hari minggu itu. Sesampainya di dalam gedung gereja, anggota jemaat itu langsung mengambil jam dinding lalu memutar jarum panjangnya menjadi 20 (dua puluh) menit lebih cepat dari yang sebenarnya. Dia tidak melihat saya dan saya tidak langsung bertanya padanya. Akan tetapi, saya dapat menarik kesimpulan awal bahwa orang tersebut paling tidak memiliki sebuah tujuan. Dia ingin agar ibadah di gereja dimana ia beribadah cepat dimulai dan cepat selesai, bagi dirinya sendiri tentunya.

Sungguh tragis jika hal ini terus terjadi dalam sebuah jemaat. Banyak sekali orang Kristen telah meninggalkan kasihnya yang mula-mula. Saya pun punya pengalaman pribadi yang tidak jauh beda dengan hal ini. Sebelum saya mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar (SETIA), saya adalah seorang pemuda Kristen yang tidak rajin untuk berdoa bahkan kalau saya berdoa pun itu karena takut kepada ibu saya. Dalam benak ini, doa adalah sesuatu yang tidak terlalu penting untuk dilaksanakan. Bahkan ketika baru masuk di SETIA, saya merasa keheran-heranan pada saat semua orang berdoa. Bagi saya (pada waktu itu), doa-doa yang diucapkan secara bersama-sama dengan suara yang keras tersebut kedengaran seperti bunyi kumpulan lebah yang sedang terbang. Namun, setelah beberapa saat saya akhirnya sadar bahwa doa adalah sesuatu yang sangat penting. Akhirnya, saya menjadi sangat semangat untuk belajar dan berdoa. Saya selalu berdoa berulang-ulang kali dalam satu hari itu. Saya masuk ke ruang doa dan mendoakan hal yang sama. Kadang-kadang saya berpikir apakah doa saya tidak bertele-tele? Tetapi saya tetap berdoa.

Hal menyedihkan yang terjadi adalah setelah saya pulang dari praktek pelayanan selama 1 (satu) tahun. Saya berubah menjadi orang yang sangat malas untuk mulai kembali belajar, apalagi beribadah dan berdoa. Kebosanan timbul dalam diri saya. Saya sadar bahwa ini harus ditinggalkan tetapi saya menjadi tambah ‘keenakan’ dengan keadaan tersebut. Sungguh ironis bukan? Apa bedanya saya sebelum dibina di SETIA dengan setelah saya belajar tentang apa itu makna beribadah dan berdoa? Sama saja, bahkan lebih parah lagi.

Allah menghendaki agar ibadah kita lebih dari sekedar teori. Ketika kita beribadah, marilah kita lakukan itu dengan ketulusan hati bukan karena tradisi atau paksaan. Ketika kita melakukan sesuatu, marilah kita melakukannya sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Melakukannya seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Bahkan marilah kita menyerahkan seluruh kehidupan ini kapada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan di hadapan-Nya.

 

Dengan demikian, maka memilih yang baik dan benar di hadapan Tuhan jauh lebih berharga dari pada memilih yang jahat dan salah. Pertanyaannya, apakah kita telah memilih yang baik dan benar saat ini atau justru sebaliknya? Setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda akan pertanyaan tersebut sesuai dengan pendidikan yang diterimanya. Seorang Sarjana Fisika mempertanyakan, “Mengapa ini bisa terjadi?” Sarjana Teknik mencari tahu,”Bagaimana hal ini bisa terjadi?” Sarjana Sosiologi mengamati, “Apa dampaknya bagi masyarakat?” Sarjana Akuntansi menghitung, “Berapa biaya yang harus dikeluarkan?” Sarjana Kedokteran mempertanyakan,”Apakah ini sehat?” Sarjana Hukum melihat, “Adilkah hal ini?” Sarjana Komputer mempertanyakan, “Bisakah ini dipercepat pemrosesannya?” Sarjana Pemasaran mempertanyakan, “Bagaimana hal ini bisa disebarluaskan?” Sarjana Seni mempertanyakan, “Bagaimana ini bisa dibuat dengan lebih indah?” dan Sarjana Teologi bertanya, “APAKAH INI MEMULIAKAN NAMA TUHAN?”

Jawaban yang pasti seperti yang dinyatakan oleh Allah adalah “Kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya.” Apa yang juga disampaikan oleh Yosua kepada bangsa Israel merupakan sebuah gambaran dari komitmen yang tegas untuk memilih  apa yang berkenan di hadapan Tuhan.[5] Ingat! Pilihan kita menentukan apa yang akan kita dapatkan di masa yang akan datang.

 

“LAUS DEO”

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka:

1.                                        , Alkitab Terjemahan Baru, LAI, 2009.

2.        Adamson, James T. H., Maleakhi dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini 2 (Ayub-Maleakhi), Jakarta: YKBK/OMF, 2001

3.        Tong, Stephen, Dosa dan Kebudayaan, Jakarta: LRII, 2004

4.        Mulder, D. C., Pembimbing ke dalam Ilmu Filsafat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966



[1] D. C. Mulder, Pembimbing ke dalam Ilmu Filsafat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966, hlm. 12  
[2] Stephen Tong, Dosa dan Kebudayaan, Jakarta: LRII, 2004, hlm. 9
[3] Untuk penjelasan lebih lanjut lihat: James T. H. Adamson, Maleakhi dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini 2 (Ayub-Maleakhi), Jakarta: YKBK/OMF, 2001, hlm. 752-753
[4]Perhatikan bahwa kalimat “…berjalan dengan pakaian kabung di hadapan Tuhan...” biasa dipakai untuk menjelaskan tentang rasa penyesalan akan sesuatu termasuk penyesalan akan dosa yang telah dilakukan di hadapan Allah.
 [5] Lihat Yosua 24:14-15  
__________________

 

LaughingNever Give UpCool

rogermixtin09's picture

Abu-abu

Menentukan yang benar dan salah saat ini sudah terlalu sulit.Apalagi di SS ini sudah banyak orang pintar yang bisa membuat benar dan salah menjadi abu-abu.Yang benar bisa jadi salah,yang salah bisa jadi benar tergantung keadaan.

Geadley Lian's picture

pilihan

Blog ini memperingatkan saya tentang Ayub yg menderita sakit selama bertaun-taun,segala miliknya dirampas sehingga tiada yg tersisa,tapi Ayub lebih memilih utk setia kepada Tuhan,singkat crita,dia disembuhkan & diberkati lagi.

Tuhan mengijinkan penderitaan karena itu adalah ujian kesabaran & kalo lulus,berkat kesabaran bisa dinikmati.Berbeda dari orang fasik yg hidupnya senang tapi suatu saat akan menderita.

Membangun suatu umat bukanlah suatu tugas yg senang karena butuh waktu yg lama.Tuhan tau isi hati manusia.

Di abad ini manusia bisa saja mencipta sesuatu yg menyenangkan tugas tetapi ada juga yg menciptakan sesuatu yg bisa memusnahkan.Tidak heranlah jika manusia di abad ini dianggap maju tapi bisa tersalah guna kemajuan itu.

Tidak sedikit orang merasa capek berdoa termasuk saya juga tentunya tapi biarlah ia menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan kita sehari-hari.Ada doa yg bisa dijawab trus tapi ada juga doa yg bisa2 saja dijawab setelah sekian lama.

 

__________________

geadley

tonoutomo's picture

mana yang benar?

penulisnya yang salah atau yang memberi komentar yang benar? atau pemeberi komentar yang salah dan penulisnya yang benar? atau sama-sama salah? atau sama-sama benar? ataukah penulisnya yang benar namun tulisannya salah? atau pemberi komentar yang benar namun isi komentarnya yang benar? atau baik isi tulisan maupun komentar sama-sama salah? atau sama-sama benar? atau aku yang salah ketika nulis komentar atas komentar? jangan-jangan aku yang salah atas isi tulisan? gek-gek aku salah terhadap penulis maupun yang memberi komentar? mana yang benar? mana yang salah? bingung khan? aku saja bingung..apalagi anak SD!!!!! :)))))

__________________

apa hebatnya manusia!!!!!!

Geadley Lian's picture

ngga ngerti

Napa tono ? Kok bingung2 sgala sih.Ngga mngerti ya maksud tulisan itu ?

__________________

geadley

tonoutomo's picture

iya..nggak dong

sulit dan terlalu ilmiah. banyak catatan dengkulnya, bikin mikir sampai kepala berkeringat.:)))

__________________

apa hebatnya manusia!!!!!!

Geadley Lian's picture

:)

Gara2 kepanjangan kali.:))))

__________________

geadley

tonoutomo's picture

benar..kepanjangan kayak khotbah

cepet bikin ngantuk bagi orang sekualitas saya yang nggak demen mikir dalam dan luas....:)))) he.he.he

__________________

apa hebatnya manusia!!!!!!

Deflit Dujerslaim Lilo's picture

Memang bukan untuk Anda

Kalau kualitas berpikirnya belum bisa untuk materi seperti ini maka memang bukan untuk Anda. Tulisan ini memang ditujukan untuk mereka yang peduli pada pemikiran yang lebih dalam dan luas. Namun, sebenarnya mereka yang berpikir dangkal dan sempit justru harus belajar lebih kristis dan sistematis lagi agar tidak ketinggalan zaman atau justru terseret dalam arus zaman yang menyesatkan.

Kalau tulisan ini saudara mengeri maka Puji Tuhan, sebaliknya kalau tidak maka biarkan saja. GBU

Cool

__________________

 

LaughingNever Give UpCool

Miyabi's picture

Imago Dei

Saya lebih sepakat definisi fungsional dari Imago Dei, yaitu manusia diciptakan segambar dengan Allah supaya manusia menjadi "wakil Allah" mengelola bumi, seperti dalam Kej 1:26.

__________________

".... ...."