Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Cerita Nostalgia

anakpatirsa's picture

KARENA TERLALU PINTAR?

Ia muncul entah darimana. Mungkin dulu bumi menelannya dan sekarang ia memuntahkannya -- seperti kata ungkapan, Lenyap bagai ditelan bumi; muncul bagai dimuntahkan bumi. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba saja ia muncul di depan rumah anaknya. Membuat heboh bukan saja anak istri, tetapi juga orang sekampung.

anakpatirsa's picture

Saat Musim Durian Tiba

Bunga durian yang setiap pagi bertebaran di jalan setapak yang menghubungkan rumah dengan sungai menandai datangnya musim durian. Sekaligus menandai kemungkinan segera berakhirnya kemarau panjang. Hanya "kemungkinan", ada kalanya bunga-bunga itu tidak menjadi buah karena hujan tidak kunjung turun. Setiap pagi, saat mandi ke sungai, kami berhenti di bawah pohon durian yang hanya beberapa meter dari jalan setapak. Memunguti bunga-bunga putih kecoklatan yang masih diselimuti embun pagi, membukanya sehingga bagian dalamnya yang berair kelihatan, lalu menjilati airnya yang terasa manis.

king heart's picture

Cerita tentang Sahabatku

Aku mempunyai seorang teman sedari masa SD di kota kelahiranku, namun sekarang kami jarang bertemu dan berhubungan karena aku tinggal jauh dari kota kelahiranku kecuali jika mudik liburan. Karena telah berteman sangat lama kami sama sama tahu kelebihan, kekurangan, kejelekan dan tingkah laku masing masing. Kami bergereja berlainan, kadang ini juga menjadi topik seru perdebatan kami untuk menyatakan bahwa gereja kamilah dan ajarannyalah yang terbaik, meskipun ironisnya kami bergereja hanya Natal dan Paskah ( kalau tidak malas ), dan parahnya lagi belum tentu ke gereja kami sendiri.
anakpatirsa's picture

Kisah di Atas Sungai (2)

Sudah beberapa kali melewati kampung ayah, berhenti hanya jika kapal yang kutumpangi menjemput atau menurunkan penumpang. Sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di sana, tetapi kali ini benar-benar berhenti di dermaga kampungnya.

anakpatirsa's picture

Kisah di Atas Sungai

Sudah ada yang tidak beres dengan perjalanan ini sejak awal. Jam delapan pagi aku sudah tiba di dermaga dan langsung masuk ke kapal kecil yang disebut klotok. Bila saja tidak ada jam karet, jam sembilan seharusnya sudah lepas tambatan. Hampir setengah sepuluh, namun penjual tiket masih berteriak-teriak "Tehaw... Tehaw...!" Meneriakkan tujuan akhir perjalanan, kampungku. Padahal di dalam kapal sudah hampir seperti kaleng sarden, hanya di bagian atapnya ada beberapa tempat di antara tumpukan barang yang masih belum terisi.